gaulislam edisi 509/tahun ke-10 (30 Syawwal 1438 H/ 24 Juli 2017)
Sobat gaulislam, masih ingat sama Afi Nihaya, kan? Ini bukan maksud nginget-nginget lagi. Tetapi ini sekadar mencoba ikutan bahas walau udah lama telatnya. Hehehe… (eh, bukan soal basi atau nggak lho, tapi ini sekadar menambah perbendaharaan wawasan aja biar makin banyak yang mengingatkan dan ngasih ilmu).
Afi pernah menulis sebuah tema berjudul Warisan yang menjadi viral di dunia maya beberapa minggu lalu. Gara-gara tulisannya yang kontroversial itu, malah dirinya diundang ke universitas-universitas tertentu untuk menjadi pembicara dan bahkan bertemu dengan bupati dan presiden. Wah, hebat, ya. Hebat? Nggak juga sih!
Tapi ternyata, ada kisah suram di dalam kelanjutan cerita Afi ini. Kalau saya sih sebagai sesama remaja (sekadar tahu aja ya, saya masih kelas 3 SMA—eh, siapa yang nanya?), membaca tulisannya yang berjudul Warisan itu, ternyata isinya bertentangan dengan akidah Islam. Lho kok bisa? Karena isi tulisannya mengandung paham toleransi beragama. Toleransi beragama yang kayak gimana sih? Ini lho yang dimaksud dalam tulisan Warisan itu:
“Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan. Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan..”
Lebih lengkap tulisan Afi tersebut, silakan sobat gaulislam bisa mencari dan membacanya sendiri di internet. Intinya, tulisan berjudul warisan ini menjelaskan bahwa agama Islam dan agama-agama lainnya itu hanyalah warisan, dan bahwa kedudukan semua agama itu sama. Di dalam tulisan itu, dijelaskan bahwa agama Islam itu benar. Tetapi agama lainnya juga benar. Jika semua agama dibenarkan, lalu siapa yang benar? Berarti nggak ada yang salah? Nah, kan bingung!
Tulisan yang penuh ketidakpastian itu, karena benar dan salahnya yang nggak jelas, seperti biasa menuai banyak tanggapan. Mulai dari yang setuju, bingung, dan yang jelas-jelas menolak.
Dari plagiat sampe kepuasan
Nah, Bro en Sis, kemudian tulisannya ini (termasuk tulisan lainnya) banyak dibagikan di berbagai media sosial sehingga menjadi viral. Lalu yang semakin menghebohkan adalah, ternyata ada pembaca yang menemukan bahwa beberapa tulisan Afi ini adalah tulisan orang lain. Artinya, tulisannya itu terkategori plagiat dari tulisan orang lain. Biasalah, yang namanya kebohongan malah bikin penasaran. Jadi beberapa orang mencoba menelusuri lebih dalam, seperti apa sih tulisan-tulisan yang lain. Beberapa postingan Afi yang lain, ditemukan netizen bahwa bukanlah asli karya Afi.
Hasilnya? Karuan aja Afi dibully habis-habisan di dunia maya. Walau kalau yang saya baca sih, sebenarnya banyak banget tulisan yang mengkritik dalam rangka memperbaiki dan menasehati Afi. Secara bahasa, bukanlah bahasa yang menyakiti, tuh. But, kenapa ya, kok Afi merasa bahwa ia sedang di-bully? Baper deh kayaknya!
Oke Bro en Sis, yuk kita coba berempati dengan sosok remaja kayak Afi. Kenapa sih kok dia senang dengan tulisan yang malah membingungkan seperti itu? Emang sih bahasanya terkesan intelektual. Mungkin biar kayak kakak-kakak mahasiswa yang coba-coba adu argumentasi di dunia akademik. Keren gitu, kan? Semakin mumet semakin keren, katanya. Semakin kontroversi, semakin terkenal di jagad maya. Eksis lah ya.
Sebenarnya, apa sih yang dicari oleh Afi ketika menyebarkan tulisan-tulisan itu? Mungkin kita bisa mencoba memikirkan tujuan awalnya. Apakah untuk mencari sensasi saja? Atau untuk mendapatkan popularitas? Bisa jadi alasan awalnya adalah untuk mencari kepuasan akal. Ataukah ada hal lain yang dicari?
Sobat gaulislam, kalau memang alasan awalnya hanya untuk mencari sensasi, popularitas, atau yang lainnya itu, sebenarnya itu alasan yang semu. Kalau kita mencari popularitas, kita pasti akan kecewa kalau ternyata bukan popularitas yang didapat. Nggak ada orang yang melirik sedikit pun. Kalau yang kita cari adalah sensasi, maka tidak akan pernah terpuaskan. Karena yang namanya kepuasan itu tidak ada habisnya.
Sebab, kalau sudah puas, pastinya jadi nggak terasa puas. Atau bisa juga, kalau sudah nggak puas, jadi pengen kepuasan-kepuasan yang lain. Nggak akan pernah ada habisnya. Tetapi jika kita memiliki alasan yang tepat dan baik, maka kebaikanlah yang akan kita dapat. Apalagi kalau niat kita semata-mata untuk meraih keridhoan Allah Ta’ala. Yakinlah bahwa Allah pasti akan memberikan yang terbaik.
Mencari alasan
Alasan itu penting sebelum kita melakukan sesuatu. Dipikirkan juga dampaknya, apakah ada manfaat atau malah mudharat. Harus tepat tuh alasannya. Nah, sekarang apa yang dimaksud dengan alasan yang tepat? Begini, ketika kita membagikan sesuatu di media sosial, tujuannya untuk menyebarkan manfaat dan kebaikan kepada orang lain. Tentu saja semuanya harus sesuai dengan apa yang Allah Ta’ala tuntunkan melalui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Nggak boleh sama sekali menyimpang darinya. Karena Allah Ta’ala nggak akan meridhoi, tuh!
Selain itu, kita juga harus bersikap jujur ketika membagikan sesuatu. Jika itu memang karya kita, maka tidak apa-apa untuk mencantumkan nama kita. Tetapi jika itu adalah karya orang lain, maka jangan diakui sebagai karya kita.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kita juga harus selalu ingat satu hal. Bahwa semua yang kita peroleh harus disikapi dengan positif. Jangan sampai kita langsung merasa down ketika dikritik oleh orang lain. Kita bisa menjadikan kritikan itu sebagai bahan renungan dan pelajaran di kemudian hari. Semuanya kan untuk memperbaiki diri kita juga.
Kita juga jangan silau dengan pujian dan penghargaan. Mengapa? Karena hal itu bisa membutakan kita dan membuat kita sombong. Kalau sudah sombong, maka bahayanya akan membakar kerendahan hati kita. Catet, itu! (ciee… gayanya!).
Islam sebagai ideologi
Oya, tulisan Warisan-nya Afi nih, akhirnya saya nggak tahan juga untuk ikutan mengomentari. Benar bahwa kita seharusnya membanggakan agama kita, Islam. Bukan hanya sebagai agama, kepercayaan, apalagi hanya sebagai warisan, lho. Lalu sebagai apa? Lebih dari itu, yakni sebagai ideologi kita. Sebab, tidak semua agama itu adalah ideologi. Namun Islam adalah agama sekaligus ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan kita secara sempurna.
Ketika kita memilih sebuah jalan hidup, maka kita harus meyakini bahwa itulah jalan hidup yang benar. Kalau kita menganggap jalan hidup yang lain juga benar, maka kita akan ragu dengan jalan hidup kita sendiri. Kalau kita tidak boleh menganggap jalan hidup kita itu yang benar, dan orang lain itu salah, maka bagaimana sebuah kebenaran itu bisa ditemukan dan diyakini sebagai sebuah jalan hidup? Contoh pembahasan dalam tulisan Afi itu adalah pembahasan orang-orang yang ragu dan tidak pernah yakin dengan kebenaran. Nah, cara berfikir yang ragu-ragu dan tidak pernah menemukan keyakinan pada kebenaran hanya mungkin disusupkan oleh setan. Hati-hati, loh. Beneran!
Allah Ta’ala berfirman, “..dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 168-169)
Saya tidak menuduh seorang muslim sebagai setan, hanya langkah-langkah seperti itu adalah cara setan membuat keimanan kita menjadi ragu. Kita jadi ragu terhadap kebenaran agama Islam dan kita juga jadi ragu terhadap kesalahan agama atau keyakinan selain Islam. Bahaya banget, kan? Pasti bingung sendiri, tuh!
Bro en Sis sekalian yang Insya Allah selalu dalam kebaikan, kita harus bangga kepada Islam sebagai jalan hidup kita. Bukan malah sebaliknya, merasa nggak enak terhadap orang kafir kalau kita berbangga hati terhadap Islam. Bukankah Islam itu adalah yang tertinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripada Islam? Al Islamu Ya’luu wa laa yu’laa ‘alaihi.
Sobat gaulislam, mungkin Afi juga masih belum sepenuhnya yakin dan bangga dengan Islam pada dirinya. Seperti yang ia tuliskan di tulisannya itu,
“..Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita.
Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri..”
Memang benar kita tidak bisa memilih di mana kita akan dilahirkan dan dari ayah dan ibu yang mana. Karena itu adalah salah satu hal ghoib yang hanya Allah Ta’ala yang mengetahuinya. Tetapi kita harus bersyukur saat kita mendapatkan keislaman ini. Perlu dicatat lho, bahwa Islam nggak bisa diimani hanya dengan menerimanya saja. Perlu proses berfikir dan perenungan di dalam penerimaannya. Islam itu sesuai dengan fitrah manusia. Islam pun menentramkan jiwa dan memuaskan akal. Bener lho. Kamu perlu merenungkannya pada diri masing-masing.
Sebenarnya setiap manusia itu punya pertanyaan-pertanyaan besar yang jawabannya pada diri masing-masing akan berpengaruh pada jalan hidup yang akan dipilihnya. Pertanyaan apa tuh? Pertanyaan tentang dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup, dan akan kemana ia setelah mati. Jawaban ini akan menunjukkan kualitas keimanan seseorang. Ada yang keimanannya setengah-setengah, ada yang keimanannya mendekati sempurna, dan bahkan ada yang tidak beriman.
Nah, bagi orang yang beragama Islam, ada yang jawabannya mendekati kesempurnaan, setengah sempurna, seperempat sempurna, seperseribu, atau bahkan sedikit sekali kualitasnya. Itulah yang menyebabkan ada orang yang yakin dengan kebenaran agama Islam secara sempurna, ada yang setengah yakin, ada yang kurang yakin, ada juga yang ragu-ragu. Bagi yang ragu-ragu, ia masih juga mengakui agama yang lain. Bahwa agama lain punya peluang benar. Jadi, Bro en Sis, sekarang kita mau jadi yang mana?
Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada manusia. Allah mengutus nabi dan rasul untuk memberitahu kepada umat manusia tentang kebenaran agama-Nya. Nah, harus diketahui, nih, Bro en Sis, bahwa nabi dan rasul itu keyakinan terhadap risalah yang dibawanya pastilah 100%. Akal, hati, dan jiwa mereka bersinar cemerlang. Itu sebabnya, mereka terpilih menjadi nabi dan rasul. Kita ini adalah pengikut risalah nabi dan rasul. Untuk itu, kita harus yakin terhadap kebenaran agama kita sendiri. Islam, adalah agama penutup risalah seluruh nabi dan rasul. Karenanya, kita harus meyakininya secara sempurna. Hanya Islam-lah kebenaran yang harus kita yakini dan genggam serta jalankan sampai mati. Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran [3]: 19)
Baik warisan atau bukan warisan, manusia memerlukan perenungan untuk sampai kepada kebenaran yang hakiki. Apalagi soal keyakinan memang bukan warisan. So, apa yang perlu diragukan lagi, kawan? [Fathimah NJL | Twitter @FathimahNJL]