Kisah Keluarga Cemara, udah lama tutup usia. Serial yang mengupas kehidupan keluarga sederhana dengan segala suka dukanya ini cukup menyita perhatian pemirsa. Meski nih cerita karya Arswendo Atmowiloto kalo versi novelnya ya bernuansa keluarga Nasrani. Begitu juga dengan daya pikat yang dihadirkan Keluarga Senyum saat menyapa kita Ramadhan kemaren.? Hubungan yang terjalin antar anggota keluarga cukup harmonis. Komunikasi antara anak dan orangtua begitu cair tapi tetep sopan. Sehingga setiap permasalahan yang dihadapi keluarga, bisa diatasi? bareng-bareng. Asyik ya? Pastinya!
Sayangnya, keharmonisan Keluarga Cemara atau Keluarga Senyum hanya ada di layar kaca. Dalam keseharian kita, bukannya pesimis, cuma kayaknya kondisi keluarga yang ideal boleh dibilang jarang kita temui. Emang sih, mungkin ada di antara temen kita yang cukup deket dengan orangtuanya yang jadi tempat curhat dan berbagi suka-duka. Tapi boleh dibilang jumlahnya masih kalah dengan keretakan hubungan anak dan orangtua.
Di kalangan selebriti aja, ada beberapa artis yang dapet gelar �selebriti durhaka’ versi kapanlagi.com lantaran tersandung masalah perselisihan dengan orangtuanya. Ada Kiki Fatmala dengan ibunya Fatma Farida, kerenggangan Kiki Maria dengan Suzanna, atau Lyra Virna dan Amara �Lingua’ yang tak kunjung mendapat restu pernikahan dari ibunya. Kok bisa ya? Bisa aja, lha mereka buktinya. Ehm..
Ortu, kenapa sih?
Sobat, kamu pasti pernah berselisih pendapat dengan ortu. Bukannya nuduh, cuma vonis doang (hehehe…). Terus, gimana perasaan kamu saat beradu pendapat dengan ortu? Biasanya sih kalah telak en bikin bete, kesel, jengkel, marah dan kawan-kawannya. Gimana nggak, masa ikut ngaji beneran yang bukan cuma baca al-Quran aza nggak boleh, misalnya. Padahal ngaji kan bagus untuk mengenalkan kita lebih dekat dan dalam dengan Islam. Kalo udah gini, kita sering ngerasa ortu nggak bisa ngertiin kita. Ortu masih menganggap kita sebagai anak kecil yang belon bisa ngambil sikap dan keputusan terbaik. Ortu kenapa sih?
Sobat, nggak usah sewot gitu dong. Tenang. Lebih baik kita cari tahu alasan ortu yang terkesan sering melarang, mengatur, atau membatasi aktivitas kita. Agar kita bisa memahami dan menghargai pendapat ortu sebagaimana harapan kita agar ortu pun mau memahami dan menghargai keinginan kita. Betul ndak, guys?
Pertama, nggak ada ortu yang ingin membuat anaknya sedih. Karena itu, kita wajib positive thinking dengan tuntutan ortu. Meskipun itu berlainan dengan keinginan kita. Saya teringat penuturan seorang ibu dari Imam Purnomo (13), salah satu korban tewas konser Ungu di Pekalongan lalu. Sebelum kejadian, sang Ibu udah mengingatkan agar siswa kelas 1 SMP jangan ikut nonton konser yang digelar di depan rumahnya. Khawatir terjadi sesuatu melihat kerumunan massa yang membludak. Tapi Imam tetep ngeyel nonton band idolanya bersama teman-temannya. Dan ternyata, berangkat masih sehat pulangnya sudah jadi mayat. Kisah ini emang cuma sebuah kasus. Tapi kita bisa ambil banyak pelajaran berharga darinya. Bisa kan ya?
Kedua, anak adalah amanah alias titipan dari Allah pada orangtuanya. Ortu akan sangat merasa bersalah dan dianggap tak bisa menjaga amanah jika terjadi sesuatu yang buruk menimpa buah hatinya. Makanya nggak heran ada ortu yang terkesan protektif terhadap anaknya. Doyan melarang ini-itu dan nggak ngasih kesempatan anaknya untuk menentukan pilihannya sendiri. Untuk itu, kita wajib melihat sikap ortu ini sebagai ekspresi rasa sayang dan cinta sepenuh hati mereka untuk kita. Sehingga kita bisa mendiskusikan kenginan kita dan tuntutan ortu dengan pikiran dan hati terbuka. Barengan mencari win-win solution yang sama-sama enak. Oke banget kan?
Berikut sedikit catatan untuk ortu kita dan juga kita jika kelak dikasih kesempatan oleh Allah untuk menjadi orang tua: “..Berikan kasih sayangmu, tapi jangan paksakan pikiranmu. Sebab mereka berbekal pikiran sendiri. Berikan rumah untuk raganya, bukan jiwanya. Jiwa mereka adalah penghuni masa depan. Yang tak dapat kau gapai, meski dalam impian. Engkau dapat menjadi seperti mereka. Tapi jangan buat mereka menjadi seperti kamu. Sebab kehidupan tidak surut, dan tiada tinggal bersama kemarin. Engkaulah busur, dan mereka anak panah yang meluncur…â€? (Suara Merdeka, 19/09/06, kalo nggak salah ini adalah salah satu petikan dari puisi karya Kahlil Gibran)
Taqarrub ila Ortu
Sobat, kamu tahu apa reaksi temen-temen remaja saat berselisih pendapat alias ribut dengan orangtua? Hmm… biasanya sih ada yang langsung ngambek bin uring-uringan lalu banting pintu kamar en ngurung diri sambil berurai air mata sampe ortu luluh dan mengabulkan permintaannya. Ini biasanya kerjaan remaja putri neh. Hehehe…
Ada juga yang langsung cabut binti kabur dari rumah terus nginep di rumah temennya. Ini mungkin belon seberapa. Di tempat laen, ada juga yang terjerumus ke kehidupan malam dengan ber-clubbing, nge-track, nyekek botol, sampe nge-drugs. Intinya sih, biar ngelupain masalah dengan ortunya. Ini sih cowok banget!
Lantas apa setelah itu masalahnya dengan orangtua selesai? Boro-boro! Yang ada, kita makin jauh dengan orangtua. Lambat-laun hubungan emosi kita dengan ortu mulai luntur. Ortu menganggap kita susah diatur dan tak tau berbalas budi. Sementara nilai orangtua pun di mata kita hanya sebatas pensuplai kebutuhan hidup. Akhirnya masing-masing sibuk dengan dunianya sendiri dan cuek satu-sama lain. Tak ada lagi kasih sayang ortu yang bikin hidup kita nyaman dan penuh arti. Dan itu bisa menutup jalan kita menuju surga. Gaswat khan?
Rasulullah saw. pernah mencela seseorang yang tidak dapat masuk surga karena tidak berbuat baik kepada orangtuanya. Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh kecewa, sungguh kecewa, dan sungguh kecewa, siapa saja yang mendapat (memiliki) kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya sampai tua, kemudian ia tidak dapat masuk surga.� (HR? Muslim)
Kalo ortu misalnya ngelarang kita ngaji. Jangan dilawan, tapi diajak diskusi. Syukur-syukur kalo bisa ngasih argumen yang bagus. Sebab, ortu juga punya hak untuk dapetin kebenaran dari Islam melalui kita yang dekat dengan mereka. Ajak ortu untuk ikut dengan kegiatan pengajian yang kita lakukan. Biar mereka nggak penasaran dan nggak punya persepsi keliru tentang pengajian kita. Jika kita ngerasa sungkan dan nggak biasa ungkap perasaan dengan bahasa verbal (berbicara langsung), coba sampaikan dalam bahasa non verbal. Misalnya, dengan menulis surat untuk mereka tentang harapan kita dan kondisi kita yang mungkin dianggap berbeda sama ortu. Intinya, jangan putus asa untuk mengajak ortu menerima Islam.
Jangan lupa, tunjukkan juga bakti kita kepada ortu dengan membantu kegiatan di rumah, misalnya. Kalo anak puteri bisa melakukan cuci piring, cuci baju setrika, masak—kalo jenis pekerjaan ini udah dilakukan sama pembantu, nggak ada salahnya ikut bantuin, misalnya pada hari libur. Wuih, selain bikin ortu seneng bisa juga sebagai ajang pelatihan sebelum menjabat sebagai istri dan pengurus rumah tangga. Sebab, perubahan menjadi baik dari kita bukan cuma ilmu agamanya, tapi juga perhatian dan kepedulian kepada ortu dalam bentuk fisik (bantu-bantu pekerjaan) dan juga nonfisik (mengajak mereka mendalami Islam).
Kalo ortu masih belum sejalan dengan kita, tetaplah menghormati dan berbakti pada mereka. Contoh deh Sa’ad bin Abi Waqqash. Meski ibunya senantiasa menghalanginya untuk ber-Islam, tapi Sa’ad dengan sabar melayaninya dan tetap menghormatinya. Allah swt berfirman:
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu. (QS. Lukman [31]: 14)
Sekarang, mending kita belajar meredam emosi saat berbeda pendapat dengan ortu. Jauhkan dalam benak kita kebencian terhadap segala tuntutan ortu, yang bisa memancing kita menjadi �pemberontak’ di rumah. Selalu positive thinking dan buka jalur komunikasi. Jangan sampai masalah yang sebenernya bisa cepat diselesaikan, menjadi awet dan menggerogoti pikran dan perasaan cuma lantaran kita menutup akses komunikasi pada ortu dan ortu pada kita. Rugi banget deh. Betul?
Together we can…
Sobat, sebagai muslim pastinya kita berharap keluarga kita masuk kategori keluarga ideal. Eits, jangan salah ya. Keluarga ideal yang kita maksud bukan yang punya dua anak, laki perempuan sama saja. Ini mah keluarga berencana kalee. Yang kita maksud, keluarga muslim ideal yang dibangun dengan ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Hubungan yang harmonis antara ortu dan anak juga didasarkan pada aturan Islam. Pokoknya, Keluarga Cemara atau Keluarga Senyum mah lewaat!
Sebagai kepala rumah tangga, seorang ayah akan banting tulang menafkahi keluarga dari jalan yang halal. Meski dalam keadaan terdesak, beliau tak akan menggadaikan kemuliaannya sebagai muslim untuk bermaksiat demi mencari penghasilan. Karena beliau memahami, setiap kepingan nafkah yang diberikan dari jalan yang tidak diridhoi Allah, hanya akan mendekatkan orang-orang yang dicintainya pada siksa neraka.
Sebagai istri dan pengatur rumah tangga, seorang ibu berusaha menjaga dan memelihara keharmonisan dalam rumah. Melayani suami dan mencurahkan kasih sayang untuk anaknya dengan sepenuh hati. Tidak terjebak dalam tren wanita karir yang bisa melalaikan tugas mulianya.
Sebagai orangtua, ayah-ibu berusaha menganggap anaknya (terutama yang remaja) sebagai sahabat untuk mencairkan komunikasi di antara mereka. Sehingga tidak canggung untuk membicarakan dari hati ke hati dengan pikiran terbuka jika ada perbedaan pendapat. Namun tetap tegas dengan prinsip aturan Islam meski anak memiliki pendapat yang berlainan. Terlebih lagi, ortu nggak sungkan untuk berusaha memahami masa remaja yang penuh eksprimen dengan mengenal dunia anaknya dan teman-teman dekatnya.
Sebagai anak, kita berusaha mendahulukan ridho Allah dan ridho orangtua? dalam setiap aktivitas keseharian kita. Kita pun tak sungkan untuk lebih dekat dengan ortu dan menggali pelajaran dari pengalaman masa muda mereka. Kita bangga memiliki ayah yang bertanggung jawab, perhatian, peduli, dan sayang sama keluarga. Kita juga sangat salut sama ibu yang mampu menjaga anak-anaknya dan memelihara kehormatan keluarga. Itu namanya kerjasama apik antara ayah dan ibu. Lha, kalo mereka aja kompak, maka kita nggak?
Tapi, kita juga sangat berharap agar orangtua kita juga pandai bersyukur kepada Allah Swt. dengan menunjukkannya dalam bentuk ridho dengan Islam. Sehingga kita merasa memiliki keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmah. Kita sebagai anaknya jelas bangga dong ya. Jika belum memiliki keluarga ideal, tentu kita berusaha untuk meraihnya. Tak ada salahnya kita sampaikan keinginan mulia tersebut kepada ortu. Bisa secara lisan dengan mengajaknya ngobrol maupun tulisan. Yup, “Together we can� (ini sih mottonya partai Pak SBY ya? Hehehe..).? [Hafidz]
(Buletin STUDIA – Edisi 324/Tahun ke-8/15 Januari 2007)