Friday, 22 November 2024, 00:50

Wacana civil society yang mulai populer di Indonesia semenjak akhir dasawarsa 1980-an, sebenarnya penuh dengan anakronisme. Pada gilirannya, hal ini melahirkan ‘manipulasi’ konsep civil society atau pemaknaan sendiri terhadap konsep civil society yang cenderung lepas dari konsep aslinya, yang memiliki latar belakang historis yang unik, yaitu tradisi Eropa non-Islam (Judeo-Christian Traditions). (Toha Hamim, 2000)

Anakronisme, seperti diperkenalkan oleh Mohammed Arkoun dan Mohammad Abed Al Jabiri, adalah pembacaan atas sebuah pemikiran dengan tafsiran-tafsiran yang berasal dari luar konteks historisitasnya.(Ahmad Baso, 1999). Nurcholis Madjid, misalnya, melakukan penafsiran konsep civil society sebagai ‘masyarakat madani’, melalui pendekatan semantik-spekulatif dan projecting back, yang merujuk kepada masyarakat Madinah yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad SAW. Padahal, civil society memiliki latar belakang historis yang sangat berbeda dengan masyarakat Madinah tersebut. Konsep civil society lahir dan tumbuh dari daratan Eropa sekitar abad ke-17 M dalam konteks masyarakat yang mulai melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Agama saat itu mulai tersekularisasi dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan mulai dilepaskan dari tangan agamawan. Di Eropa itu pula tumbuh ide demokrasi yang diawali dengan Revolusi Perancis (1789) dan tumbuh pula sistem ekonomi kapitalisme yang liberalistik. AS Hikam dalam kaitan ini menurutkan bahwa :

“Civil society sebagai gagasan adalah anak kandung filsafat Pencerahan (Enlightenment) yang meretas jalan bagi munculnya sekularisme sebagai weltanschauung yang menggantikan agama, dan sistem politik demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi.” (Ahmad Baso, 1999)

Dengan demikian, civil society aslinya adalah bersifat sekularistik, yang telah mengesampingkan peran agama dari segala aspek kehidupan. Dan tentu saja civil society tidak dapat dilepaskan dari kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi, liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, dan individualisme. Maka adalah suatu anakronisme, tatkala Nurcholis Madjid menafsirkan konsep civil society dengan merujuk kepada masyarakat Madinah pada masa Rasulullah SAW, yang jelas tidak mengenal dan tidak pernah menerapkan sekulerisme, liberalisme, demokrasi, rasionalisme, dan ide-ide Barat lainnya.

Atas dasar itu, harus ada pembacaan ulang atas konsep civil society sebagaimana adanya, tanpa tafsiran-tafsiran di luar konteksnya, lalu dilakukan penilaian atasnya menurut perspektif Islam. Jika yang terjadi kemudian adalah kritik dan dekonstruksi atas konsep tersebut, maka perlu pula ditawarkan konsep alternatifnya menurut Islam. Bukan pengislaman civil society –dengan memberikan label-label dan justifikasi-justifikasi agama–, melainkan menunjukkan ‘jawaban’ Islam atas pertanyaan-pertanyaan yang telah dijawab dalam konsep civil society, yaitu pertanyaan seputar kedudukan negara dalam kehidupan bermasyarakat, serta pertanyaan seputar kedudukan individu dan masyarakat.

Sekilas Konsep Civil Society
Apakah civil society itu ? Tersedia seonggok jawaban yang berwarna-warni. Menurut Dawam Raharjo, seperti dikutipnya dari Adam B. Seligman, konsep civil society “telah menimbulkan arti yang berbeda pada orang yang berbeda” (Ahmad Baso, 1999). Karenanya, konsep civil society memiliki banyak versi dan interpretasi, kendatipun secara idelogis dapat digolongkan ke dalam dua versi ideologis, yakni versi kapitalisme dan sosialisme.

Gellner telah menelusuri akar gagasan ini ke masa lampau dalam sejarah peradaban Barat (Eropa dan Amerika), dan antara lain yang didapatkannya adalah bahwa konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh pemikir terkenal Skotlandia, Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya An Essay on History of Civil Society (1767). Konsep civil society lebih lanjut dikembangkan oleh kalangan pemikir berikutnya seperti Rousseau, Hegel, Marx dan Tocqueville. Studi Gellner berlanjut sampai pada kajian terhadap upaya menghidupkan kembali konsep civil society di Eropa Timur dan Barat di zaman kontemporer.

John Locke, menurut Fahmi Huwaidi (1996) merupakan orang pertama kali yang membicarakan “pemerintahan sipil” atau civillian government, sebagai cikal bakal konsep civil society. Konsep ini ditulisnya dalam buku yang berjudul Civillian Government pada tahun 1690. Buku tersebut mempunyai misi menghidupkan peran masyarakat dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak para raja dan hak-hak istimewa para bangsawan.. Dalam misi pembentukan pemerintahan sipil itu, Locke membangun pemikiran otoritas rakyat untuk merealisasiakan kebebasan dari kekuasaan elit yang memonopoli kekuasaan dan kekayaan. Menurutnya, semua dapat terwujud melalui demokrasi parlementer yang berfungsi sebagai wakil rakyat dan pengganti otoritas raja.

Sedangkan Rousseau yang terkenal dengan bukunya The Social Contract (1762), berbicara tentang otoritas rakyat, dan perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara individu rakyat dengan penguasa. Dalam hal ini dia satu tujuan dengan Locke, yaitu mengajak individu rakyat untuk ikut menentukan masa depannya sendiri, serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa demi kepentingannya sendiri. (Fahmi Huwaidi, 1999)

Karl Marx (1818-1883), dan pendahulunya Hegel, sebagai pencetus ide sosialisme, juga mempunyai konsep pemberdayaan rakyat ini. Marx dan Hegel berpendapat bahwa negara adalah bagian dari suprastruktur, yang mencerminkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas dan dominasi struktur politik oleh kelas dominan. Negara tidak mewujudkan kehendak universal tapi kepentingan kelas borjuis. Secara lebih lengkap Marx telah memberikan teori tradisional tentang dua kelompok masyarakat di dalam negara, yang dikenal dengan base-superstructure. Teori kelas sebagai salah satu pendekatan dalam Marxisme tradisional menempatkan perjuangan kelas sebagai hal sentral, faktor esensial, dan menentukan dalam perubahan sosial. Pendekatan ini cenderung melihat masyarakat kapitalis dari perspektif ekonomi. Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu proletar dan borjuis. Dari perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial yaitu dasar (base) dan superstructur. Adanya dua kelas ini mau tidak mau akan membawa kepada konflik yang tidak dapat dihindarkan ketika keduanya berusaha mendominasi yang lainnya.

Selain Marx, Antonio Gramsci –salah satu tokoh Neo-Marxisme– telah mengembangkan teori ini menjadi lebih luas. Base-superstructure dalam teori Marx dikembangkan tidak hanya dalam bidang ekonomi. Tetapi bisa juga dalam bidang pendidikan, politik, dan sebagainya Dalam bidang politik, negara menjadi superstructure yang sering memaksakan kehendak kepada rakyat (base). Adanya pembagian kelas ini, menurut Gramsci menuntut untuk terciptanya kemandirian masyarakat (civil society), agar negara lebih terbatasi dalam melebarkan kekuasaannya. (http://www.angelfire.com/md/alihsas/madania.html)

Sementara itu, Bell (1989), Keane (1989), Cohen & Arato (1992), menyatakan bahwa civil society setidaknya memiliki tiga ciri utama; Pertama, kemandirian yang tinggi dari individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat, ketika berhadapan dengan negara. Kedua, adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkait dengan kepentingan publik. Dan, ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis.

Kembali kepada Gellner, menurutnya, civil society dalam arti luas di samping merupakan sekelompok institusi/lembaga dan asosiasi yang cukup kuat mencegah tirani politik baik oleh negara maupun komunal/komunitas, juga cirinya yang menonjol adalah adanya kebebasan individu di dalamnya, di mana sebagai sebuah asosiasi dan institusi, ia dapat dimasuki serta ditinggalkan oleh individu dengan bebas.

Lebih lanjut Gellner menyatakan bahwa civil society tidak hanya menolak dominasi negara atas dirinya, tetapi juga karena sebagai institusi yang bersifat non-state. Maka dalam penampilan kelembagaannya ia tidak mendominasi individu-individu dalam dirinya. Di sinilah posisi individu sebagai aktor sosial yang bebas yang diistilahkan Gellner sebagai manusia moduler (tidak dipengaruhi kultur), yang menurutnya tidak merupakan prasyarat bagi perwujudan civil society. Jadi civil society tidak hanya menerapkan sifat otonominya terhadap negara, namun dalam konteks internalnya dari sejak hubungan antar anggotanya, ia juga merupakan institusi yang menghargai keniscayaan perlunya menghargai otonomi individual.

Sejalan dengan itu, Culla menyatakan bahwa variabel utama civil society adalah otonomi (kemandirian), publik dan civic, sesuatu yang meniscayakan demokrasi bagi masyarakat seperti kebebasan dan keterbukaann untuk berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat serta kesempatan sama dalam mempertahankan kepentingan di depan umum. (http://www.angelfire.com/md/alihsas/madania.html)

Dari berbagai versi tentang konsep civil society tersebut, Asrori S. Karni dalam Ahmad Baso (1999) menyimpulkan ada 5 (lima) teori civil society yang ada di Barat :

Pertama, teori Hobbes dan Locke, yang menempatkan civil society sebagai penyelesai dan peredam konflik dalam masyarakat. Jadi, civil society disamakan dengan negara…

Kedua, teori Adam Ferguson, yang melihat civil society sebagai gagasan alternatif untuk memelihara tanggung jawab dan kohesi sosial serta menghindari ancaman negatif individualisme, berupa benturan ambisi dan kepentingan pribadi. Civil society dipahami sebagai entitas yang sarat dengan visi etis berupa rasa solider dan kasih sayang antar sesama.

Ketiga, teori Thomas Paine, yang menempatkan civil society sebagai antitesis  negara. Negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya, karena keberadaannya hanyalah keniscayaan buruk belaka (necessary evil)…

Keempat, teori Hegel dan Marx, yang tidak menaruh  harapan berarti terhadap entitas civil society. Konseptualisasi mereka tentang civil society bukan untuk memberdayakannya atau menobatkannya, tetapi lebih untuk mengabaikan dan bahkan melenyapkannya…

Kelima, teori Tocquiville, yang menempatkan civil society sebagai entitas untuk mengimbangi (balancing force) kekuatan negara, meng-counter  hegemoni negara dan menahan intervensi berlebihan negara…

Demikianlah para teoritisi kapitalis dan sosialis menggurui dunia bagaimana menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang paling top dan canggih dengan mengajarkan dogma civil society. Sayang sekali, banyak di antara umat Islam yang terkecoh menelan bulat-bulat propaganda itu dengan meriah, seakan-akan konsep civil society adalah tiket gratis dari Tuhan untuk menuju surga yang wajib diimani dan diamalkan, dan haram untuk dikritik ataupun ditampik. Tentu ini suatu kesalahan yang kronis. Sebab dengan demikian, umat Islam berarti telah menjadi korban tawaran ideologi-ideologi kafir yang penuh dengan spekulasi-spekulasi normatif yang dapat menyesatkan dan bahkan dapat menjerumuskan ke dalam jurang kekafiran. Na’uzhu billahi min dzalik !

Kritik Islam
Berdasarkan deskripsi ringkas mengenai konsep civil society di atas, diajukan beberapa komentar dan kritik pada poin-poin kritis sebagai berikut :

Pertama, Kritik Atas Pengislaman Konsep Civil Society Menjadi Masyarakat Madani. Sebagian intelektual seperti Nurcholis Madjid telah melakukan tafsiran ulang terhadap konsep civil society dengan mengajukan istilah ‘masyarakat madani’. Masyarakat ini merujuk kepada masyarakat di Madinah yang dibentuk Nabi Muhammad SAW. Menurutnya, masyarakat ini dibangun atas asas yang tertuang di dalam “Piagam Madinah”, yang memiliki memiliki 6 (enam) ciri utama yaitu egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya), keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif), penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah. (http://www.angelfire.com/md/alihsas/madania.html)

Ada baiknya dibahas secara ringkas alasan yang mendorong kalangan intelektual muslim menggunakan projecting back theory semacam itu. Dalam menerima paham-paham baru (neologism) yang muncul di era modern ini, intelektual muslim umumnya memiliki reservasi. Reservasi tersebut dilakukan karena mereka berada dalam situasi dilematis. Di satu sisi, konsep seperti civil society dibentuk berdasarkan prinsip moral dan tata nilai dari tradisi Eropa non-Islam (Judeo-Christian Traditions).

Di sisi lain, mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menolaknya. Sebab, prinsip-prinsip dalam konsep tersebut telah menyatu secara organik dengan pranata kehidupan modern dan menjadi etika hidup masyarakatnya. Sebagai bagian dari masyarakat ekumenikal, intelektual muslim akan selalu memiliki reservasi terhadap paham-paham baru yang datang dari luar. Dalam sistem ekumenikal, masyarakat akan mencari justifikasi agama sebelum menerima segala produk pemikiran manusia. Karena itu, reservasi tersebut baru bisa cair setelah suatu konsep dinyatakan valid karena, dalam proses pengujiannya, tidak bertentangan dengan landasan normatif (nash) dari sumber primer Islam (Al Qur`an dan Al Hadits) atau dengan praktik generasi awal Islam.

Proses pengujian terhadap konsep baru umumnya dalam bentuk pencarian data sejarah masa lalu Islam, yang analog watak kualitatifnya dengan materi dalam konsep baru tersebut, seperti penganalogan masyarakat Madinah dengan civil society. Bila referensi pada data historis tidak ditemukan, maka dicari landasan tekstual (nash) sebagai alat justifikasi pengganti. (Toha Hamim, 2000)

Sistem berpikir yang demikian ini, terlihat sekali kelemahannya dalam beberapa segi : Pertama, telah terjadi anakronisme sejarah seperti telah diuraikan dalam bagian pendahuluan di atas. Jelas sekali bahwa civil society memiliki latar belakang sosio-historis yang sangat berbeda dengan masyarakat Madinah dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Civil society sebagai pemikiran muncul sebagai antitesis terhadap dominasi agama dalam kehidupan, yang mengasumsikan sekularisme sebagai solusinya dengan cara mereduksi peran agama hanya dalam wilayah privat. Sementara dalam masyarakat (Islam) di Madinah saat itu, yang terjadi justru sebaliknya di mana seluruh aspek kehidupan diatur oleh agama (Islam). Kedua, Nampak Nurcholis Madjid tidak berusaha mengelaborasi konsep civil society apa adanya, melainkan telah melakukan konstruksi masa kini terhadap realitas masa lalu sesuai kehendak (dan agendanya!)  sendiri, bukan sesuai dengan fakta yang terjadi dalam masyarakat Madinah waktu itu. Jadi, yang dilakukannya bukanlah untuk mencari konsep masyarakat Islam itu sendiri, melainkan memberikan justifikasi terhadap masyarakat kontemporer di Indonesia, dengan mengasumsikan masyarakat yang ada sekarang memiliki potensi untuk menjadi masyarakat madani pada masa depan, tanpa menyinggung satu entitas sentral yang ada pada masa Nabi SAW di Madinah, yakni keberadaan insitusi negara Islam yang menaungi masyarakat saat itu. Maka tak heran, Nurcholis Madjid lalu memberikan justifikasi terhadap rezim Orde Baru yang sekuleristik, korup dan suka menindas rakyat, dan bahkan memuji-mujinya setinggi langit sebagai rezim yang mencapai kemajuan besar (!). Ujarnya :

“Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk menegakkan masyarakat madani, civil society. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakin kuat di masa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dalam meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum adalah alasan utama kita untuk berpengharapan itu…” (Ahmad Baso, 1999)

Ketiga, yang dilakukan  Nurcholis Madjid adalah penerimaan mutlak tanpa daya kritis terhadap konsep civil society. Ini nampak dari cara berpikirnya untuk mencari-cari pembenaran dari ayat-ayat atau hadits-hadits untuk mengesahkan konsep civil society. Jadi, civil society diterima dulu tanpa reserve, meskipun itu konsep sekularistik, lalu dicari pembenarannya dari dalil-dalil agama. Padahal yang seharusnya adalah memahami konsep civil society apa adanya, kemudian disorot menurut tinjauan Al Qur`an atau Al Hadits, bukan lantas serta merta menganggapnya konsep itu otomatis benar lalu dicari dalil-dalil pembenarannya.

Sebagian parpol Islam juga melakukan pengislaman terhadap konsep civil society dengan menggunakan istilah masyarakat madani. Berbeda dengan Nurcholis Madjid yang memberi muatan makna dengan karakter sekularistik, parpol tersebut memberikan muatan makna yang non-sekularistik, yakni masyarakat madani adalah masyarakat dalam naungan negara Islam (Khilafah) atau setidaknya masyarakat transisional menuju Khilafah. Pendekatan yang digunakan ini walaupun mungkin niatnya baik, namun tetap tidak dapat diterima sebab telah menimbulkan kerancuan dan kekaburan antara dua hal yang sebenarnya bertolak belakang. Yaitu antara civil society yang sekularistik pada satu sisi, dan masyarakat madani –sebagai hasil interpretasi ulang atau deformasi dan derepresentasi dari civil society— yang non-sekularistik.

Syara’ telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman :

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104)

“Raa’ina” artinya adalah “sudilah kiranya Anda memperhatikan kami.” Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut “Raa’ina”, padahal yang mereka katakan adalah “Ru’uunah” yang artinya ‘kebodohan yang sangat.” Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan “Raa’ina” dengan “Unzhurna” yang sama artinya dengan “Raa’ina”.

Oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhum Al Adalah Al Ijtimaiyah fi Al Fikri Al Islami Al Mu’ashir (1991), ayat ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya ada kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami. Karena itu, penggunaan istilah masyarakat madani tidak dapat diterima, karena pengertiannya mengandung ambivalensi antara yang mengartikannya sebagai masyarakat sekularistik dan yang mengartikannya sebagai masyarakat non-sekularistik.

Kedua, Kritik Atas Sekularisme Sebagai Asas Konsep Civil Society. Dengan menulusuri sejarah pemikiran civil society, jelas bahwa konsep ini bertumpu pada aqidah (pemikiran dasar) sekularisme, yang merupakan landasan ideologi kapitalisme. Sekularisme adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashlu al din ‘an al hayah), yang dengan sendirinya akan menghasilkan pemisahan agama dari negara. (An Nabhani, 1953)

Menurut Abdul Qadim Zallum dalam Al Hamlah al Amirikiyah li Al Qadha` ‘ala Al Islam (1996) sekularisme sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang dihasilkan oleh logika sehat.

Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian jalan tengah atau kompromistik, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (sekitar abad ke-5 s/d ke-15 M), yakni keharusan menundukkan segala sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama. Sedangkan yang kedua, adalah pemikiran sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Al Khaliq.

Pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi pemikiran ekstrem tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas : apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan ? Juga apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq ini ?

Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, dan bahkan harus dibuang dari kehidupan.

Jadi, berdasarkan fakta bahwa aqidah kapitalisme adalah jalan tengah di antara pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah, maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan membatalkan aqidah ini. Tak ada bedanya apakah aqidah ini dianut oleh orang yang mempercayai keberadaan Al Khaliq atau yang mengingkari keberadaan-Nya.  (Zallum, 1996)

Tetapi dalam hal ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal) yang qath’i (yang tidak diragukan lagi kebenar¬annya), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada dan Dialah yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil tersebut juga membuktikan bahwa Al Khaliq ini telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia dalam kehidupannya, dan bahwasanya Dia akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq tersebut.

Kendatipun demikian, di sini bukan tempatnya untuk melaku¬kan pembahasan mengenai eksistensi Al Khaliq atau mengenai  peraturan yang ditetapkan Al Khaliq untuk manusia. Namun yang menjadi fokus pembahasan di sini ialah aqidah kapitalisme itu sendiri dan penjelasan mengenai kebatilannya. Dan kebatilan kapitalisme cukup dibuktikan dengan menunjukkan bahwa aqidah kapitalisme tersebut merupakan jalan tengah antara dua pemikiran yang kontradiktif, dan bahwa aqidah tersebut tidak dibangun atas dasar pembahasan akal.

Dengan merobohkan aqidah kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup untuk merobohkan ideologi kapitalisme secara keseluruhan, termasuk di dalamnyakonsep civil society. Sebab, seluruh pemikiran cabang yang dibangun di atas landasan yang batil pada hakekatnya adalah batil juga. {Ma buniya ‘ala al bathil fahuwa bathil). (Zallum, 1996)

Dalam Al Qur`an terdapat perbandingan kontras antara Islam dan agama/paham kufur yang diumpamakan oleh Allah seperti pohon yang baik dan pohon yang buruk. Allah SWT berfirman :

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dari akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (QS Ibrahim : 24-26)

Islam adalah kalimat yang baik, seperti pohon yang baik. Sedang kekufuran, syirik, dan yang semisalnya, adalah bagaikan pohon yang buruk, yang akarnya tidak menancap mendalam di dalam tanah, bahkan tercerabut dari tanah. Maka sudah sewajarnya pohon itu segera tumbang karena tidak punya ketegaran sedikit pun.

Civil society yang bertumpu pada akar sekularisme adalah ibarat pohon buruk yang berdiri di atas akar yang tercerabut dari bumi. Maka, dengan kata lain, ia adalah konsep yang batil, sangat rapuh dan ringkih, karena didasarkan pada aqidah yang batil.

Ketiga, Kritik Atas Demokrasi Sebagai Syarat Civil Society. Para penggagas civil society seperti Locke meniscayakan demokrasi bagi tumbuhnya civil society. Menurut para penganutnya, seperti Lincoln, demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh, dan untuk rakyat; dengan menjalankan peraturan yang dibuat sendiri oleh rakyat.

Tak sedikit kaum kapitalis yang menyebut ideologi kapitalisme mereka sebagai “sistem demokrasi”. Penyebutan ini tidak tepat, berdasarkan beberapa argumen berikut. Yang utama, bahwa demokrasi bukanlah pemikiran orisinal kaum kapitalis. Orang Yunani telah lebih dahulu mencetuskannya. Disamping itu, kaum kapitalis bukan satu-satunya pihak yang menerapkan demokrasi, karena kaum Marxis juga mengaku diri sebagai kaum demokrat. Sampai di akhir hayat ideologi sosialisme, kaum sosialis tetap mengklaim bahwa mereka telah menerapkan demokrasi.

Aspek terpenting dalam demokrasi, adalah ketetapannya bahwa pihak yang berhak membuat hukum (Al Musyarri’) adalah manusia itu sendiri, bukan Al Khaliq. Ini logis saja bagi penga¬nut ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), karena pemisahan agama dari kehidupan itu berarti memberikan otoritas menetapkan hukum kepada manusia, bukan kepada Al Khaliq. (Zallum, 1996).

Dalam hal ini, kaum kapitalis tidak pernah membahas apakah Al Khaliq telah mewajibkan manusia untuk mengikuti dan menerapkan syari’at tertentu dalam kehidupan mereka. Bahkan, mereka sedikit pun tak pernah memperdebatkan masalah ini sama sekali. Mereka hanya menetapkan, bahwa yang berhak membuat hukum adalah manusia. Titik.

Bagi kaum muslimin, hal itu berarti tindak pembangkangan dan pengingkaran terhadap seluruh dalil yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dalalah (pasti penger-tiannya) yang mewajib¬kan kaum muslimin untuk mengikuti syari’at Allah dan membuang peraturan apa pun selain syari’at Allah. Na’udzu billah min dzalik.

Kewajiban di atas diterangkan oleh banyak ayat dalam Al Qur’an.  Dan lebih dari itu, ayat-ayat yang qath’i tadi menegas¬kan pula bahwa siapa pun yang tidak mengikuti atau menerapkan syari’at Allah, berarti dia telah kafir, dzalim, atau fasik.  Allah SWT berfirman :

“Siapa pun yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (Q.S. Al Maaidah : 44)

“Siapa pun yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang dzalim.” (Q.S. Al Maaidah : 45)

“Siapa pun yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik.” (Q.S. Al Maaidah : 47)

Berdasarkan nash ayat di atas, maka siapa pun juga yang tidak berhukum (termasuk menjalankan urusan pemerintahan) dengan apa yang diturunkan Allah, seraya menging¬kari hak Allah dalam menetapkan hukum –seperti halnya orang-orang yang meyakini demokrasi– maka dia adalah kafir tanpa keraguan lagi, sesuai nash Al Qur’an yang sangat jelas di atas. Hal ini karena tindakan tersebut –yakni tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan mengingkari hak membuat hukum yang dimiliki Allah– berarti ingkar terhadap ayat-ayat yang qath’i dalalah. Padahal orang yang mengingkari ayat yang qath’i adalah kafir, dan ini disepakati oleh seluruh fuqaha.

Kaum kafir dan antek-antek mereka –yaitu para penguasa negeri-negeri muslim–, juga seluruh propagandis demokrasi dari kalangan kaum muslimin yang tertipu –baik individu maupun kelom¬pok–, sesungguhnya memahami benar bahwa asas demokrasi itu harus ditegakkan dengan tindakan membuang syari’at Allah dan menempatkan manusia pada posisi Al Khaliq.

Oleh karenanya, mereka tidak menjajakan demokrasi dengan cara mengungkapkan hakikat itu, akan tetapi mereka mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Mereka katakan pula bahwa demokrasi adalah meratakan persamaan di antara rakyat, menyebarkan keadilan, serta mengoreksi dan mengk¬ritik pemerintah.

Mereka tidak menyinggung-nyinggung sedikit pun mengenai tindakan membuang syari’at Allah itu, padahal substansi (inti) demokrasi –dari awal sampai akhir– tiada lain adalah tindakan membuang syari’at Allah dan mengikuti syari’at makhluk-Nya. (Zallum, 1996)

Adapun ide-ide lain yang –katanya– merupakan ide demokra¬si, sebenarnya tidak ada faktanya sama sekali. Ide bahwa rakyat yang memerintah dirinya sendiri, misalnya, sebenarnya hanyalah sebuah kebohongan besar. Sebab, dalam masyarakat-masyarakat kapitalis-demokrasi, yang memerintah bukanlah rakyat itu sendiri. Ide ini memang hanya sebuah utopia belaka.

Yang memerintah di sana, sebenarnya adalah golongan yang berpengaruh kuat dalam masyarakat mereka. Kalau di AS, mereka adalah para kapitalis raksasa. Sedang di Inggris, mereka adalah para bangsawan. Inilah fakta yang ada di AS  dan di Inggris. Padahal kedua negara ini adalah negara-negara kapita¬lis-demokrasi yang ada di barisan terdepan.

Kelompok-kelompok berpengaruh di negara-negara kapitalis tadi, mempunyai sarana-sarana yang memadai untuk menghantarkan siapa saja  yang mereka kehendaki agar dapat duduk di tampuk pemerintahan dan dewan-dewan legislatif. Dengan demikian, undang-undang yang diberlakukan dan pihak eksekutif yang melaksanakan undang-undang itu, tak lebih hanya akan tunduk untuk melayani kepentingan-kepentingan kelompok berpengaruh tersebut.

Ide-ide lain yang –katanya– juga merupakan ide demokra¬si, seperti persamaan, keadilan, dan hak mengkritik penguasa, semuanya juga cuma sebatas teori. Tak ada fakta-nya. Cukuplah seseorang mengamati kenyataan yang ada di AS –gembong demokrasi di dunia itu– dengan seksama. Niscaya dia akan dapat menyimpul¬kan bahwa persamaan, keadilan, dan kritik kepada pemerintah di sana, semuanya serba diskriminatif.

Mereka yang dapat menikmati dan menjalankan hak-hak itu hanya orang-orang tertentu dengan warna kulit, agama, dan asal-usul tertentu, atau orang-orang  dengan sejumlah harta kekayaan tertentu.

Lihatlah penderitaan memilukan yang dialami oleh orang-orang kulit hitam, orang-orang Indian berkulit merah, orang-orang yang bera¬sal dari Amerika Latin dan  Asia, juga orang-orang yang non Protestan atau yang tidak berasal dari Eropa Barat.

Semua penderitaan mereka ini sudah cukup menjadi bukti bahwa apa yang –katanya– menjadi ide-ide demokrasi, pada hakikatnya hanyalah teori kosong belaka. Meskipun memang ka¬dang-kadang terjadi juga hal-hal janggal yang berbeda dengan kondisi yang telah diterangkan tadi (Zallum, 1996).
 
Keempat, Kritik Atas Kebebasan (Liberalisme) Sebagai Ciri Menonjol Civil Society.
Gellner menyatakan bahwa di antara ciri menonjol dalam civil society adalah adanya kebebasan individu.

Kebebasan dalam analisis Abdul Qadim Zallum dalam Hizbut Tahrir (1985) meliputi beberapa bentuk, yaitu (1) kebebasan beraqidah (hurriyah al aqidah), (2) kebebasan berpendapat (hurriyah ar ra`yi), (3) kebebesan pemilikan (hurriyah at tamalluk) dan (4) kebebasan bertingkah laku (al hurriyah al syakhshiyyah).

Dari paham kebebasan pemilikan itu muncullah sistem ekonomi kapitalisme yang dibangun atas asas manfaat. Kapitalisme inilah yang mendorong negara-negara Barat menjajah bangsa lain agar dapat merampas kekayaannya.

Keempat macam kebebasan ini bertentangan dengan hukum Islam. Seorang muslim tidak dibenarkan bebas memilih aqidahnya. Jika seorang muslim murtad, maka diperintahkan untuk bertaubat. Apabila menolak dia harus dijatuhi hukuman mati. Sabda Rasulullah SAW :

“Siapa saja yang menukar agamanya maka bunuhlah” (HR. Muslim dan Ashabus Sunan)

Seorang muslim tidak dibenarkan bebas (mengatakan/ menulis) pendapat apa saja. Apa yang menjadi pandangan Islam, wajib menjadi pandangannya. Jika zina dalam Islam haram, wajib dia menyatakan bahwa zina itu haram. Tidak diperkenankan seorang muslim memiliki pendapat yang bukan Islam.  Sebab, segala pendapat yang dinyatakan seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’. Rasulullah SAW dalam konteks ini pernah bersabda :

“Siapa saja yang telah beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menyatakan Al Khair atau diam.”  (HSR. Ahmad, Buk¬hari, dan Muslim) 

Al Khair dalam hadits di atas artinya adalah Islam atau apa yang dibenarkan Islam.
Selain itu, Islam juga telah melarang para pemeluknya untuk mempunyai kecenderungan –walaupun baru berupa kecenderungan– terhadap hal-hal yang bertentangan dengan Islam. Rasulullah SAW bersabda :

“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sebelum hawa nafsunya tunduk kepada apa yang aku bawa (Islam)”. (HR. Imam Nawawi)
 
Begitu pula seorang muslim tidak bebas memiliki apa saja sekehendaknya. Tidak sah baginya memiliki sesuatu kecuali melalui sebab-sebab pemilikan yang telah ditentukan oleh syara. Dia tidak bebas memiliki apa saja yang dia inginkan. Ia terikat dengan sebab-sebab pemilikan. Tidak sah baginya memiliki sesuatu dengan cara-cara yang menyimpang dari ketenntuan syara secara mutlak. Oleh karena itu seorang muslim tidak boleh memiliki sesuatu melalui cara riba, menimbun, menjual khamr, babi dan sebagainya yang dilarang oleh syara’. Jadi tidak diperkenankan seorang muslim memiliki sesuatu dengan salah satu jalan tadi.

Kebebasan bertingkah laku juga tidak ada rumusannya dalam Islam. Seorang muslim tidak bebas tingkah lakunya. Ia terikat dengan hukum syara’. Apabila seorang muslim tidak menjalankan shalat atau shaum, maka dia memperoleh sanksi. Begitu juga halnya jika kedapatan mabuk, berzina, atau seorang muslimah yang keluar rumahnya dengan tubuh telanjang (tidak mengenakan jilbab dan khumur) atau dengan tabarruj, maka tindakan-tindakan itu berhak memperoleh sanksi.

Oleh karena itu, kebebasan yang terdapat dalam konsep civil society tidak ditemukan keberadaannya dalam Islam, malah bertentangan dengan hukum Islam secara total. (Zallum, 1985) 
 
Tawaran Jawaban Islam
Beberapa pemikir muslim, di antaranya Taqiyudin An Nabhani dalam kitabnya Nizham Al Islam (1953) dan Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al Hamlah Al Amirikiyah (1996) telah mencoba memberikan jawaban-jawaban Islam terhadap beberapa pertanyaan yang secara konseptual telah dijawab dalam konsep civil society. Yaitu : (1) hubungan individu dengan masyarakat, (2) hubungan individu dengan negara, dalam konteks penerapan peraturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
 
(1) Hubungan Individu Dengan Masyarakat
Hubungan individu dengan masyarakat, dikonsepsikan menurut kapitalisme dan sosialisme sebagai hubun¬gan yang berlawanan dan bertentangan (kontradiktif). (Zallum, 1996)

Menurut Zallum (1996) semuanya tidak tepat, baik pendapat orang-orang kapitalis yang lebih mendahulukan kepentingan individu daripada kepentingan masyarakat; maupun pendapat para propagandis sistem feodalisme yang menyerukan bahwa kepentingan individu telah tercakup dalam kepentingan kolektif/masyarakat;  ataupun pendapat orang-orang Marxis yang menjadikan individu hanya sebagai gigi dalam sebuah roda masyarakat.

Hubungan yang benar adalah seperti yang digambarkan oleh Islam, yang memandang hubungan itu sebagai hubungan keanggotaan yang bersifat saling melengkapi (komplementer). Bukan hubungan yang saling berlawanan. Sebab, individu adalah bagian dari masyarakat, seper¬ti halnya tangan merupakan bagian dari tubuh manusia. Sebagaimana tubuh tidak lengkap tanpa tangan, maka tangan pun tidak ada artinya apabila terpisah dari tubuh.

Dalam hal ini Islam telah menetapkan hak-hak bagi individu sebagaimana Islam telah menetapkan hak-hak bagi masyarakat. Hak-hak tersebut bukan saling bertentangan ataupun berlawanan, tetapi saling melengkapi.

Demikian pula Islam telah mengatur kewajiban-kewajiban masing-masing dan menyerahkan pelaksanaannya kepada negara untuk menjamin keseimbangan antara dua pihak, agar masing-masing tidak melanggar atau mendominasi pihak yang lainnya. Sebab masing-masing harus mendapat¬kan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

Berkaitan dengan hal ini, tidak ada gambaran yang lebih indah untuk menun¬jukkan hubungan antara individu dan masyarakat daripada sabda Rasu¬lullah SAW :

“Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang diundi dalam sebuah kapal. Sebagian mendapatkan bagian atas dan sebagian yang lain berada di bawah. Jika orang- orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Maka berkatalah orang-orang yang berada di bawah: ‘Andai saja kami melobangi (dinding kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami’. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas (padahal mereka tidak meng-hendaki), niscaya binasalah seluruhnya. Dan jika mereka dicegah melakukan hal itu, maka ia akan selamat dan selamatlah semuanya.”
(HSR. Ahmad, Bukhari, dan Tirmidzi)

Pendapat orang-orang kapitalis yang menyatakan bahwa masyar¬akat itu merupakan sekumpulan individu-individu yang hidup bersa¬ma di suatu tempat, adalah pendapat yang jauh dari kebenaran. Sebab masyarakat bukan hanya sekumpulan individu yang hidup bersama di suatu tempat, melainkan terdiri pula dari ide-ide dan perasaan-perasaan  yang ada pada individu-individu tersebut serta sistem/peraturan yang diterapkan atas mereka. Dengan kata lain, masyarakat  merupakan sekumpulan individu yang memiliki hubungan/interaksi yang terus-menerus. Karena itu para penumpang kapal atau kereta tidak dapat dikategorikan sebagai masyarakat sekalipun jumlahnya mencapai ribuan. Sebaliknya, penduduk kampung yang kecil bisa membentuk sebuah masyarakat, sekalipun jumlahnya hanya beberapa ratus jiwa.

Dengan demikian, masyarakat itu tidak sekedar tersusun dari individu-individu, melainkan terdiri dari kumpulan manusia dengan pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama. (Zallum, 1996)

Manusia satu dengan manusia lainnya hanya akan membentuk sebuah jamaah (kelompok), namun tetap tidak akan membentuk sebuah masyarakat kecuali jika mereka menganut pemikiran yang sama, memiliki perasaan yang sama, serta diterapkannya peraturan yang sama di tengah-tengah mereka. Sebab, yang mewujudkan hubungan/interaksi sesama manusia adalah faktor kemaslahatan (kepentingan) dan bila masyarakat telah menyamakan pemikirannya tentang kemaslahatan, juga perasaan mereka, sehingga rasa senang dan bencinya menjadi sama, ditambah pula adanya penerapan peraturan yang sama, yang mampu memecahkan berbagai macam persoalan, maka terbentuklah hubungan/interaksi antar sesama anggota masyarakat. Apabila terdapat perbedaan dalam pemikiran masyarakat terhadap kemaslahatan, berbeda perasaannya, berbeda rasa senang dan bencinya, berbeda pula peraturan yang digunakan untuk memecahkan persoalan antar manusia, maka tidak akan terdapat hubungan dengan sesama manusia dan tidak akan terbentuk masyarakat.

Maka, masyarakat Islam terbentuk dari manusia, yang diikat oleh pemikiran, perasaan, dan peraturan yang Islami. Inilah yang mewujudkan adanya hubungan dan yang membuat jamaah itu menjadi sebuah masyarakat yang memiliki ciri khas (unik).

Seandainya seluruh manusia itu muslim, sedangkan pemikiran-pemikiran yang dibawanya adalah kapitalisme-demokrasi, sementara perasaan-perasaan pada mereka adalah perasaan bahwa Islam itu agama ritual semata (tanpa disertai aturan kehidupan bernegara), atau perasaan nasionalisme; sedangkan aturan yang diterapkan adalah aturan kapitalisme-demokrasi, maka masyarakatnya menjadi masyarakat yang tidak Islami sekalipun mayoritas penduduknya adalah orang-orang Islam. (An Nabhani, 1953)
 
(2) Hubungan Individu Dengan Negara
Dalam kaitan hubungan individu dan negara, atau dengan kata lain bagaimana negara menerapkan peraturan kehidupan bernegara atas rakyat, ideologi komunisme mengajarkan hanya negara adalah satu-satunya institusi yang berhak menerapkan peraturan melalui kekuatan militer dan undang-undang. Negara yang mengatur dan bertanggung jawab terhadap urusan individu dan kelompok masyarakat. Negara pula yang berhak mengubah peraturan. (An Nabhani, 1953)

Sedangkan ideologi kapitalisme memandang bahwa negara adalah pihak yang mengontrol kebebasan individu. Jika seseorang melanggar kebebasan individu lainnya, maka negara akan mencegah tindakan tersebut. Bahkan keberadaan negara adalah sarana untuk menjamin adanya kebebasan. Akan tetapi jika seseorang tidak mengganggu kebebasan yang lain, sekalipun terdapat intimidasi serta perampasan terhadap hak-haknya, namun ia rela, maka hal itu tidak termasuk dalam kategori tindakan melanggar kebebasan. Dalam hal ini negara tidak akan turut campur. Jadi, terwujudnya negara adalah untuk memberi jaminan agar ada kebebasan. (An Nabhani, 1953)

Lain halnya dengan Islam yang memandang bahwa peraturan kehidupan bernegara dilaksanakan : (1) oleh setiap individu mukmin dengan dorongan taqwallah yang tumbuh dalam jiwanya, (2) oleh negara dengan adil dari segi teknis pelaksanaannya, dan (3). oleh adanya sikap tolong menolong antara umat dengan negara dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar. (An Nabhani, 1953)

Dalam Islam negaralah yang bertanggungjawab terhadap urusan masyarakat. Negara tidak mengurus kepentingan individu, kecuali bagi mereka yang fisiknya lemah (tidak mampu). Selain itu, peraturan Islam tidak mengalami perubahan selamanya, tidak ada evolusi dalam peraturan atau hukum Islam. Negara, dalam hal ini terwujud pada Khalifah, memiliki wewenang untuk memilih dan menetapkan (melakukan tabanni) hukum-hukum syara’ jika ijtihad dalam satu atau lebih topik hukum menghasilkan beragam pendapat.

Jadi negara dalam perspektif ideologi Islam bukanlah alat untuk menjamin dan menjaga kemaslahatan individu saja –sebagaimana halnya kapitalisme–  akan tetapi merupakan suatu institusi yang mengurusi kebutuhan individu, jamaah, dan masyarakat sebagai satu kesatuan, baik urusan dalam maupun luar negerinya, sesuai dengan peraturan tertentu yang membatasi hak dan kewajiban mas¬ing-masing. Di samping itu negara bertugas untuk mengemban risa¬lah ke seluruh dunia, kalau memang dia memiliki risalah kemanu¬siaan, yaitu risalah yang layak untuk manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa memperhatikan pertimbangan lainnya (Zallum, 1996).

Penutup
Konsep civil society adalah konsep yang tidak Islami, karena dibangun di atas dasar sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Di samping itu konsep civil society mengandung ide-ide cabang yang juga bertentangan secara total dengan Islam yaitu ide demokrasi dan kebebasan individu.

Selain itu, konsep civil society mengandung ide-ide yang tidak sesuai dengan Islam dari segi hubungan individu dengan masyarakat; serta dari segi hubungan individu dengan negara.

Maka dari itu, haram bagi kaum muslimin untuk mengadopsi konsep civil society, karena konsep ini adalah konsep kufur, yakni tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah. Segala sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari dan harus dihancurkan. Allah SWT berfirman :

“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al Maaidah : 44)

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu…”: (QS An Nisaa` : 60)  [ Muhammad Shiddiq Al Jawi** ]

–  –  –  –  –
* Disampaikan dalam ceramah dan dialog di Radio Carolina Surabaya, Ahad,  16 September 2001

** Staf Pengajar Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta-SEM Institute, Yogyakarta; Peneliti Shariah Economics and Management (SEM) Institute, Jakarta; sekarang sedang mengikuti program pasca sarjana di Magister Studi Islam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

1 thought on “Konsep Civil Society dalam perspektif islam: sebuah tinjaun ideologis

Comments are closed.