Pulang sekolah pada nongkrong di mal, jalan-jalan sekadar menghabiskan waktu luang, kebut-kebutan di jalan kalo kebetulan nggak ada satuan keamanan, terjerumus narkoba bagi yang kelebihan duit (kalo yang duitnya cekak juga nodong terus sakaw deh). Bagi yang kantongnya pas-pasan, cukup nongkrong di warung dekat sekolah sambil menghisap rokok saling bergantian bisa jadi alternatif. Itu bagi anak cowok, lho.
Bagi remaja putri, ngomongin gosip artis plus langganan majalah dan tabloid demi mengikuti tren mode terbaru adalah satu hal yang bisa aja jadi �kewajiban’. Sekolah pun cuma jadi ajang mejeng dan menggaet lawan jenis daripada merupakan suatu tempat untuk menimba ilmu dan memperoleh kepintaran.
Itu adalah sekilas fenomena remaja di Indonesia. Gambaran secara umum kalo remaja tuh cenderung suka hidup santai aja dan nggak kreatif. Lihat aja motto yang sering nampang di kaos or stiker di mobil dan motor �muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga’. Wacks! Moga aja kamu yang lagi baca STUDIA ini bukan termasuk ke dalam ilustrasi di atas. Kalo pun iya, cepet nyadar gih. Mumpung masih ada waktu dan kesempatan.
Emang sih, nggak semua remaja bermalas-malasan kayak gitu. Masih banyak juga para remaja itu yang mempunyai kreativitas tinggi dalam mengisi waktu luangnya. Bukan melulu prestasi sekolah aja, tapi prestasi di luar sekolah pun digaetnya.
Kreativitas yang nakal
Kalo menurut kamus Wikipedia Indonesia, kita bisa mendefinisikan kreativitas sebagai inovasi, khususnya dalam seni dan sastra. Banyak yang memuji secara prinsip, banyak yang mengejek sebenarnya, kreativitas dipergunakan sebagai tempat perlindungan bagi orang luar dengan imajinasi. Beberapa sikap ambivalen sampai kreativitas mungkin menghalangi pemahaman proses kreatif, menyejajarkannya dengan menelan obat-obatan untuk menghasilkan vision, atau dengan sederhana melihat kreativitas sebagai tingkah laku yang eksentrik. (Silakan klik deh: http://id.wikipedia.org/wiki/Kreatifitas)
Secara sederhana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk mencipta; daya cipta. Kata sifatnya adalah kreatif, yakni memiliki daya cipta.
Hmm…dari definisi di atas, kayaknya kreativitas lebih merujuk ke sastrawan dan seniman deh (meski sebenarnya bisa juga di bidang iptek, seperti menciptakan teknologi yang ramah lingkungan dan lain sebagainya), yaitu hal-hal yang ada hubungannya dengan imajinasi sebagai cikal bakal seni dan sastra. Dalam bidang ini, tarik ulur definisi seni dan sastra jadi klaim beberapa kalangan.
Seni dan sastra adalah kreativitas yang ada unsur keindahannya. Bagi orang yang tak bertanggungjawab dan di benaknya melulu dipenuhi ide jaman purba yaitu hobi ketelanjangan, maka kreativitasnya juga tak jauh-jauh dari aliran realis ala kucing. Kok bisa? Ya iyalah, mana ada sih kucing pake baju dan menutup aurat? Sehingga ketika ada Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), merekalah pihak yang paling kebakaran jenggot dan merasa dirugikan.
Tengok saja nama Joni Kennedi Soaloon yang malah sengaja menggelar pameran lukisan ketelanjangan di Galeri Seni di House of Sampoerna. Katanya mumpung belum disahkan tuh RUU APP. Kalo pun nantinya jadi gol sebagai UU dan mengebiri ekspresinya, doi bakal minta suaka ke Singapura untuk melindungi kreativitasnya ini. (Jawa Pos, 17 Maret 2006)
Lalu tengok juga kreativitas grup musik Jamrud dengan hits-hitsnya yang mayoritas menggambarkan pola hidup ala kucing. Sebut saja judul Senandung Raja Singa, Bay Watch, Le Boy, Telat 3 Bulan dan yang paling terkenal adalah Surti Tejo. Lalu ada grup baru yang sedang naik daun (ulat kali pake naik daun hehe..) bernama Samsons dengan hit andalannya Naluri Lelaki. Waduh, nggak tega deh kalo kita kudu nulis dengan kata-kata kesal pas ngelihat kreativitas model gini, seperti: “gelo abis!� (lho, ini kok malah ditulis? Hehe.. sori)
Nggak ketinggalan Mbak Melly Guslow yang emang lihai bener kalo bikin lirik lagu romantis. Pasti selalu laris dan jadi idola para remaja. Tapi ternyata kamu kudu hati-hati dengan lirik lagu terbarunya yang berjudul Kekasih Terakhir. Simak aja nih kutipannya: “Mencintaimu hati hampa kini terisi/ Di dekatmu hatiku tenang/ Hanya kau pelipur laraku/ Mencium engkau bisa juga tenangkan jiwa/ Seluruh yang ada di engkau/ Bagiku ini karunia.�
Wah… hapal juga yah (heuheu…). Nggak kok, ini juga hasil dari browsing di internet. Ceritanya pas nggak sengaja muter radio, eh ada suara Mbak Melly yang kalo bikin lagu pasti syaik punya. Romantis abis gitu loh! Tapi untuk yang satu ini, agak-agak gimana gitu waktu udah ke reff-nya. Wasyah…nih lagu apa buat pasangan suami-istri ya? Tapi sebetulnya lirik-lirik lagu ini adalah menggambarkan kondisi bergaul remaja kita yang udah nggak kenal kata tabu, apalagi dosa. Ciloko tenan!
Di balik itu semua, ada fenomena cukup menggembirakan dari kreativitas remaja kita. Hadirnya sastrawan dan seniman yang dengan karya mencerahkan bisa menjadi angin segar di tengah tercemarnya bidang ini. Booming-nya fiksi islami dengan tema dan kemasan yang beraneka ragam tapi tetap syar’i sudah memenuhi rak-rak toko buku beberapa tahun terakhir ini.
Kemudian lagu-lagu bertema Islam yang dulu mungkin terdengar kuno, saat ini diaransemen ulang dan dinyanyikan grup band GIGI, misalnya. Judul-judul lagu seperti Keagungan Tuhan, Ketika Tangan dan Kaki Bicara, Dengan Menyebut Nama Allah, Raihlah Kemenangan, Perdamaian, dan lain-lain, semakin akrab di telinga kita-kita.
Tapi jangan salah. Booming-nya fiksi islami ini ternyata dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk membuat karya islami tapi hanya sebagai kedok. Gimana nggak kalo sang tokoh digambarkan berjilbab tapi ternyata isi cerita nggak beda dengan koran-koran kuning penuh berisi kata-kata vulgar dan adegan tak senonoh. So, kamu-kamu juga kudu waspada kalau mau membeli suatu karya. Pastikan penerbit dan penulisnya emang yang bener-bener berkomitmen menghasilkan karya islami yang berkualitas.
Mengapa terjadi?
Kejadian-kejadian di atas bukan hal asing lagi bagi masyarakat dan negara yang menerapkan sistem sekuler alias dipisahkannya agama dari kehidupan. Apalagi dilindungi sebuah sistem bernama demokrasi, lengkaplah alasan orang-orang itu untuk menjadikan kreativitas sebagai dalih. Lha wong, kebebasan berekspresi memang anak kandung dari demokrasi yang menjadikan suara terbanyak adalah kebenaran.
Masih ingat kan kasus Dewa 19 dengan logo di album Laskar Cinta? Logo itu pula yang dijadikan alas bagi pertunjukkan panggung grup band ini. Kita pikir, bukannya Dewa nggak tahu kalo tuh logo adalah simbol kaligrafi untuk asma Allah. Eh, malah mereka jejingkrakkan di atasnya. Masalah pun selesai hanya dengan meminta maaf. Padahal, itu adalah sebuah penghinaan yang nggak bisa dibilang enteng kepada umat Islam, Non.
Intinya, selama agama dipinggirkan hanya untuk mengurusi jenazah dan nikah aja, maka selama itu pula kreativitas yang berkembang di masyarakat akan menjadi bablas. Tak ada rambu-rambu yang jelas mana yang boleh dan nggak. Batasan halal-haram jadi sesuatu yang menggelikan buat para sekuleris itu. Kamu akan menemukan banyak sekali kejadian yang niatnya kreativitas tapi malah bablas alias keterlaluan.
Emang sih, jadi Muslim tuh harus kreatif dan inovatif. Nggak boleh bermalas-malasan (apalagi malas beneran?) dan cuma berpangku tangan. Tanpa kreativitas, dunia ini akan terasa monoton dan sepi. Nggak bakal ada variasi dan penemuan untuk karya-karya baru. Hidup akan jalan di tempat saja dan nggak berkembang. Tak ada dinamika yang membikin hidup makin hidup (hehehe.. losta masta banget nih!)
Cuma untuk kreatif, apa iya sih harus menghalalkan segala cara kayak gitu? Apa iya sih berprinsip: “Yang penting penggemar suka, habis perkara�? Dan umumnya alasan utama mereka, “Yang penting nggak merugikan orang lain�. Waduh, jelas nggak bisa gitu aja dong.
?
Semua ada aturannya
Yang namanya manusia hidup itu kudu ada rambu-rambunya. Ada aturan mainnya. Kalo nggak gitu, pasti bakal tabrak sana-sini kalo masing-masing pingin jalan semau gue atas nama kebebasan. Nggak ada ceritanya manusia mempunyai kebebasan mutlak. Mereka yang mengagungkan demokrasi untuk dalih kebebasan berekspresi, sebetulnya adalah budak dari demokrasi itu sendiri. Lebih parahnya lagi mereka adalah budak hawa nafsu. Yang namanya hawa nafsu itu nggak pernah ada puasnya. Terpenuhi satu keinginan, pasti pingin yang lain lagi. Begitu terus nggak ada habisnya, kecuali mulutnya udah disumpal tanah alias udah jadi mayat dan dikubur.
Tuh kan, yang namanya manusia ngatur hawa nafsunya sendiri aja nggak becus. Apalagi mau ngatur manusia yang lain pake aturan yang berasal dari otak manusia yang serba terbatas ini? Jelas aja aturan yang dihasilkan bukannya malah bener tapi malah kacau. UU ataupun RUU apa pun itu bentuknya, selama landasan yang dipakai bukan dari Yang Maha Memahami Manusia, pasti aturan yang dihasilkan juga bakal kacau. Tarik ulur definisi porno misalnya, kalau diserahkan pada akal manusia, masing-masing pasti punya pendapat yang beda-beda sesuai kepentingannya.
Bahkan kalo kamu tanyakan pada yang hobi pamer aurat semacam Cut Tari, doi bilang kalo yang kudu dibersihkan tuh otak ngeres mereka yang memandang, bukan malah membatasi gaya berpakaian yang dipandang. Itu namanya menyengsarakan perempuan. Belum lagi pendapat Isabel Jahya yang terjerat kasus pornografi bersama Anjasmara. Doi keukeuh berpendapat apa yang dilakukannya tak salah. Bahkan sampe minta dukungan Gus Dur segala (wah, itu sih ibarat mo disunat tapi datangnya bukan ke dukun sunat, melainkan ke dukun beranak. Kagak nyambung man!)
Kalo kamu emang ngaku Muslim, mau berkreativitas model apa pun, jangan lupa aturannya. Kudu baik dan bener. Baik, karena dilakukan ikhlas karena Allah. Benar tuh sesuai dengan tuntunan syariat yang udah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Ibaratnya berjalan, kamu kudu bawa peta or informasi lainnya kalo nggak mau tersesat. Dalam kehidupan ini berlaku hal yang sama pula. Kamu kudu bawa peta syariat agar selamat dunia-akhirat.
Nggak ada ceritanya kebebasan berekspresi dan berkreativitas tanpa mengindahkan syariat. Alasan klasik sih atas nama seni. Idih… ini mau pake cara cabul dan primitif aja pake dibungkus seni? Parah ya?
Waduh, kayaknya jadi remaja malas, salah. Mau berkreativitas, entar khawatir salah juga. Eits…jangan bingung. Makanya jadi remaja jangan kupeng (kurang pengetahuan) dan kuin (kurang informasi). Banyak banget informasi yang bisa kamu dapatkan sebagai panduan agar tak salah langkah. Ada banyak buku buat remaja yang dikhususkan untuk mendampingi kamu. Daripada uang saku buat jajan doang kan mending dibelikan buku-buku bermanfaat itu. Ada Jangan Jadi Bebek, Andai Kamu Tahu (sekuel Jangan Jadi Bebek), Surga Juga Buat Remaja, Lho…, Be Positive be Happy, Jangan Nodai Cinta, Loving You Merit Yuk! dll.
Mau browsing di internet juga banyak site bagus. Beberapa di antaranya yang bisa dicoba (sekadar contoh): http://dudung.net, http://sobatmuda.multiply.com, dll. Mau gabung ke mailing list untuk diskusi dan tukar informasi keislaman juga ada seperti milis Studia dan Sobat Muda. Kalo kamu termasuk yang gaptek (gagap teknologi) jangan malas untuk menghubungi rohis sekolah atau remas alias remaja masjid daerah tempat tinggalmu. Dari sumber-sumber itu kamu bisa dapetin informasi tentang batasan syariat untuk kreativitas dan juga hal-hal berguna lainnya.
Mulai saat ini kamu bisa buktikan kalo untuk kreatif tak mesti harus berhubungan dengan obat-obatan dan tingkah laku yang eksentrik. Jadi kreatif pun bisa juga tetap dengan koridor syariat dan karyanya pun mencerahkan untuk umat. Bukan malah sebaliknya. So, be creative yang syar’i! [ria]
(Buletin STUDIA – Edisi 286/Tahun ke-7/27 Maret 2006)