gaulislam edisi 695/tahun ke-14 (3 Rajab 1442 H/ 15 Februari 2021)
Aduh, judul edisi pekan ini kok jadi malah mengingatkan pada film jadul (tahun 1985), “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”. Idih, ketahuan udah udzur nih yang nulis. Hehe… nggak juga sih. Tahun segitu, saya baru kelas 5 SD. Cuma, karena acara FFI alias Festival Film Indonesia sering ditayangkan di TVRI, jadinya tahu lah (dan juga inget) beberapa judul film.
Film ini bahkan diganjar dapet Piala Citra di FFI 1986 untuk penulis skenario terbaik, yang ditulis Asrul Sani. Sutradara Chaerul Umam dapet nominator sutradara terbaik. Pemainnya? Lydia Kandou, Deddy Mizwar, Ully Artha, Ikranagara dan lain-lain. Waduh, udah pada sepuh itu sekarang mah.
Eh, selain film jadul itu, saya kok jadi inget juga film tahun 2002 silam. Judulnya hampir sama. Mirip lah. Ya, film Catch Me If You Can. Ini adalah film kriminal biografi Amerika yang disutradarai dan diproduksi oleh Steven Spielberg. Film ini dibintangi oleh Leonardo DiCaprio, Tom Hanks, Martin Sheen dan Christoper Walken. Di sini, aksi tipu-tipu bin muslihat plus ‘kejar-kejaran’ antara penjahat dan petugas FBI. Seru juga sih.
Oke, udah dulu nostalgianya. Kita balik ke judul edisi pekan ini: “Kritik Aku, Kau Kutangkap!” Hmm… kalo kamu ngikutin perkembangan berita akhir-akhir ini, mestinya tahu dong soal ini. Ya, soal permintaan Presiden Joko Widodo agar masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Namun, perlu kamu tahu, ternyata pernyataan tersebut nggak langsung disambut baik, malah direspon balik dengan beragam tanggapan dari berbagai kalangan.
Maklum, apa yang disampaikannya itu seperti sekadar basa-basi saja yang udah terlanjur bau. Publik udah kehilangan kepercayaan. Buktinya, cuitan Novel Baswedan di Twitter diperkarakan alias dilaporkan juga oleh pihak tertentu.
“Innalillahi Wainnailaihi Rojiun. Ustadz Maaher meninggal di rutan Polri. Padahal kasusnya penghinaan, ditahan, lalu sakit. Orang sakit, kenapa dipaksakan ditahan? Aparat jangan keterlaluanlah.. Apalagi dengan Ustaz. Ini bukan sepele loh…,” cuit Novel.
Duh, itu kan cuitan biasa. Kalo pun kritik, kan sesuai dengan apa yang diminta presiden tempo hari. Nah, siapa sih yang melaporkan? Ada, yakni DPP Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Mitra Kamtibnas (PPMK). Ormas ini melaporkan Novel Baswedan ke Bareskrim Mabes Polri dan Dewan Pengawas KPK, Kamis (11/2/2021).
Novel Baswedan dilaporkan karena diduga menyebarkan hoaks, provokasi dan mendiskreditkan institusi Polri. Begitu anggapan dari PPMK. Nah!
Itu sebabnya, sindiran atas permintaan dikritik itu datang dari berbagai kalangan. Pengamat politik, Rocky Gerung menilai ucapan Presiden Joko Widodo atau Jokowi minta dikritik sebagai paradoks. “Dia berusaha untuk memberikan semacam sinyal bahwa kami tidak anti kritik, padahal di saat yang sama, dia suruh orang untuk perkarakan si pengritik. Itu paradoks,” ujar Rocky dikutip dari kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu, 10 Februari 2021.
Selain Bung Rocky, Pak Jusuf Kalla juga menyentil pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat aktif mengkritik pemerintah. “Beberapa hari lalu presiden mengumumkan silakan kritik pemerintah, tentu banyak yang ingin melihatnya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Seperti yang disampaikan Pak Kwik (Kian Gie), dan sebagainya,” ujar JK dalam acara peluncuran Mimbar Demokrasi Kebangsaan Fraksi PKS DPR RI seperti ditayangkan di kanal YouTube PKS TV, dikutip pada Sabtu, 13 Februari 2021. (laman nasional.tempo.co; 14 Februari 2021)
Wah, kalo kenyataannya kayak gitu, jadi wajar dong banyak yang meragukan niat pemerintah, dalam hal ini yang disampaikan Presiden Jokowi agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah, karena bisa jadi berakhir di bui. Ibaratnya, silakan kritik, tapi harus siap ditangkap. Hadeuuh…
Belajar dari Umar bin Khattab
Sobat gaulislam, dulu, mudah-mudahan masih ingat, di masa kampanye pilpres, Pak Jokowi dimirip-miripkan dengan Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Duh, saya tersinggung banget waktu itu. Sebab, ibarat langit dan bumi. Jauuuuuh banget bedanya. Nggak usah diingat lagi, jadi tambah sakit hati. Emang ada aja kelakuan para penjilat kepada jinjingan, eh, junjungannya, ya.
Sudah jadi rahasia umum kalo di rezim sekarang ini, siapa pun yang mengkritik pemerintah pasti akan diperkarakan dan dicari-cari kesalahan lainnya jika ada untuk dijadikan alasan tambahan bahwa orang tersebut layak ditangkap dan diterungku di jeruji besi. Namun, berbeda jika yang melakukan penghinaan adalah para buzzer piaran istana. Aman-aman saja. Buktinya Permadi Arya dan komplotannya. Sudah pada tahu, sih. Cuma, ya gitu deh.
Nah, omong-omong soal kepemimpinan, cobalah belajar kepada teladan Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Ini sih sekadar menyampaikan aja dan ngingetin karena dulu ada yang memirip-miripkan Pak Jokowi dengan Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu.
Saya kutipkan saja secara plek dari buku biografi Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu yang ditulis oleh Muhammad Husain Haekal. Penerbit Pustaka Litera AntarNusa, cetakan ketiga, Mei 2002. Buku tersebut ada di rak perpustakaan pribadi di rumah.
Keteladan terkait hal itu, ada di halaman 96-98 di buku tersebut, tertulis dalam subjudul “pidato pertama”. Saya kutipkan seperti ini:
Hari ketiga ia datang ke masjid, dan selesai baiat ia berkata, “Orang Arab ini seperti unta yang jinak, mengikuti yang menuntunnya ke mana saja dibawa. Tetapi saya, demi Allah, akan membawa mereka ke jalan yang benar.”
Orang makin banyak memperhatikan Umar. Terbayang oleh semua hadirin yang ada di masjid, bahwa orang ini akan membawa malapetaka kepada mereka, karena sikapnya yang begitu tegar dan keras. Umar dapat menangkap perasaan itu dari wajah mereka. Ketika orang sudah banyak berkumpul akan melaksanakan shalat Dzhuhur, Umar naik ke tangga mimbar setapak demi setapak dan berkata:
“Saya mendapat kesan, orang merasa takut karena sikap saya yang keras. Kata mereka Umar bersikap demikian keras kepada kami, sementara Rasulullah masih berada di tengah-tengah kita, juga bersikap keras demikian sewaktu Abu Bakar menggantikannya. Apalagi sekarang, kalau kekuasaan sudah di tangannya. Benarlah orang yang berkata begitu.”
“…ketika itu saya bersama Rasulullah, ketika itu saya budak dan pelayannya. Tak ada orang yang mampu bersikap seperti Rasulullah, begitu ramah, seperti difirmankan Allah: Sekarang sudah datang kepadamu seorang rasul dari golonganmu sendiri: terasa sedih hatinya bahwa kamu dalam penderitaan, sangat prihatin ia terhadap kamu, penuh kasih sayang kepada orang-orang beriman. (at-Taubah ayat 128). Di hadapannya ketika itu saya adalah pedang terhunus, sebelum disarungkan atau kalau dibiarkan saya akan terus maju. Saya masih bersama Rasulullah sampai ia berpulang ke rahmatullah dengan hati lega terhadap saya. Alhamdulillah, saya pun merasa bahagia dengan Rasulullah.”
“Setelah itu datang Abu Bakar memimpin muslimin. Juga sudah tidak asing lagi bagi saudara-saudara, sikapnya yang tenang, dermawan dan lemah lembut. Ketika itu juga saya pelayan dan pembantunya. Saya gabungkan sikap keras saya dengan kelembutannya. Juga saya adalah pedang terhunus, sebelum disarungkan atau kalau dibiarkan saya akan terus maju. Saya masih bersama dia sampai ia berpulang ke rahmatullah dengan hati lega terhadap saya. Alhamdulillah, saya pun merasa bahagia dengan Abu Bakar.”
“Kemudian sayalah, saya yang akan mengurus kalian. Ketahuilah saudara-saudara, bahwa sikap keras itu sekarang sudah mencair. Sikap itu hanya terhadap orang yang berlaku zalim dan memusuhi kaum muslimin. Namun untuk orang yang jujur, orang yang berpegang teguh pada agama dan berlaku adil aku lebih lembut dari mereka semua. Aku tidak akan membiarkan orang berbuat zalim kepada orang lain atau melanggar hak orang lain. Pipi orang itu akan aku letakkan di tanah dan pipinya yang sebelah lagi akan aku injak degan kakiku sampai ia mau kembali kepada kebenaran. Sebaliknya, sikapku yang keras, bagi orang yang bersih dan mau hidup sederhana, pipiku ini akan aku letakkan di tanah.”
“Dalam beberapa hal, saudara-saudara berhak menegurku. Bawalah aku ke sana; yang perlu saudara-saudara perhatikan adalah:
“Saudara-saudara berhak menegurku agar tidak memungut pajak atas kalian atau apa pun yang diberikan Allah kepada saudara-saudara, kecuali demi Allah; saudara-saudara berhak menegurku, jika ada sesuatu di tanganku agar tidak keluar yang tak pada tempatnya; saudara-saudara berhak menuntutku agar aku menambah penerimaan atau penghasilan saudara-saudara, insya Allah, dan menutup segala kekurangan; saudara-saudara berhak menuntutku agar saudara-saudara tidak terjebak ke dalam bencana, dan pasukan kita tidak terperangkap ke tangan musuh; kalu saudara-saudara berada jauh dalam suatu ekspedisi, akulah yang akan menanggung keluarga yang menjadi tanggungan saudara-saudara.”
“Bertakwalah kepada Allah, bantulah aku mengenai tugas saudara-saudara, dan bantulah aku dalam tugasku menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, dan bekalilah aku dengan nasihat-nasihat saudara-saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepadaku demi kepentingan saudara-saudara sekalian. Demikianlah apa yang sudah aku sampaikan, semoga Allah mengampuni kita semua.”
Wuiih, keren nggak tuh? Tanpa basa-basi. Tulus ikhlas. So, jauh banget lah kalo mau dimirip-miripkan.
Masalahnya, mau belajar nggak?
Sobat gaulislam, pertanyaannya nih, para pemimpin negeri ini mau belajar nggak dari teladan Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu? Sebab, secara fakta, selain memang jauh banget bedanya, juga kritik dari rakyat yang disampaikan kepada pemerintah saat ini, bukan saja diabaikan, tetapi juga pengkritiknya dilaporkan ke pihak berwenang oleh para buzzer piaran istana dengan jeratan ujaran kebencian, hoax, dan melanggar UU ITE. Jadi, gimana dong? Minta dikritik, tetapi para buzzer sepertinya sudah di-setting untuk menyalak bin menggonggong kepada para pengkritik pemerintah. Ya, sudahlah.
Susah kalo gitu sih. Cuma basa-basi. Aslinya ogah dikritik. Pemimpin model gitu apa nggak bikin bahaya? Termasuk kalo orang-orang di sekitarnya yang jadi pembisiknya juga jahat, akan lebih bahaya lagi. Iya, kan? Betul nggak? Eh, ini pertanyaan ya, bukan pernyataan. Kan, kata seseorang itu—yang kemarin viral di twitter gara-gara soal rasisnya Abu Janda—kalo ada tanda tanyanya, tidak kena delik hukum. “Dalam hukum pidana, obyeknya harus jelas. Abu Janda bertanya evolusi selesai belum? Memang isinya rasis, tetapi dia bertanya. Itu tidak mungkin ada delik hukum,” begitu katanya.
Eh, kamu tahu nggak delik itu, apa? Sekadar tahu aja, ya. Nih, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.
Kalo sekarang sih, kayaknya pada males nanggepin, ya. Sebab, udah ketahuan sih ke mana arahnya. Semua yang berseberangan dengan rezim, pasti diperkarakan, dilaporkan jika mengatakan atau berbuat apa saja yang mengarah pada perlawanan terhadap rezim. Kira-kira yang model gini pantes nggak sih? Ini belum bicara hukum, ya. Ini baru ukuran pantes nggak pantes aja dulu.
Sebaliknya, kalo yang berteriak keras adalah buzzer (piaraan istana?) saat melakukan persekusi terhadap kubu penentang rezim, akan dibiarkan. Sudah banyak bukti tak terbantahkan, kok. Hanya, maaf, orang bodoh aja yang nggak bisa bedain mana begundal piaraan, mana musuh bebuyutan.
Yuk ah, ini introspeksi buat kita semua. Semoga kita tetap istiqomah di jalan kebenaran Islam. Kalo kita ditakdirkan nanti jadi pemimpin, contohlah pemimpin teladan seperti Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Kalo belum mampu, ya jangan jadi bajigur, eh, bajingan. Jangan zalim kepada rakyat yang lemah, termasuk jangan takut dikritik. Kalo ada yang kritik, mestinya senang dan lakukan introspeksi. Sadar dan minta maaf jika memang salah. Beneran!
Kalo belum mampu jadi pemimpin yang baik, ya berbenah untuk jadi baik. Jangan antikritik. Kalo belum mampu dalam banyak hal, ya tahu diri juga jangan berani jadi pemimpin. Maaf, lho. Ini buat siapa saja yang merasa. Terima kasih. [O. Solihin | IG @osolihin]