[Catatan untuk Azyumardi Azra]
“Fatwa” yang berdasarkan konsep akal sekular dapat disimak melalui pemikiran penganut kaum liberal
Oleh:? Henri Shalahuddin*
Pada kolom Resonansi Republika, Kamis 12 Februari 2009, Prof. Dr. Azyumardi Azra menulis artikel pendek tentang masalah yang memerlukan pembahasan yang tidak pendek. Dalam tulisannya, Azyumardi menganalisa bahwa terjadinya pro-kontra terhadap fatwa MUI, lebih disebabkan subyek-subyek yang dibahas berkaitan dengan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang tidak lagi sepenuhnya ‘murni’ bersifat keagamaan.
Analisa seperti ini tentunya sudah dimaklumi tidak terlepas dari pendekatan sekular yang mengesampingkan peran agama dari kehidupan publik. Sehingga dia mengategorikan fatwa itu ada dua jenis; yakni fatwa yang berkenaan dengan masalah keagamaan murni, dan fatwa yang berhubungan dengan realitas di masyarakat. Jadi seakan-akan masalah keagamaan dan realitas di masyarakat adalah dua hal yang tidak berkaitan. Sehingga pada akhirnya gambaran agama diputuskan dari status asalnya sebagai sumber nilai dan kebenaran bagi manusia seperti dalam posmodernisme.
Dukungan Azyumardi pada sekularisme setidaknya tersirat dari sebagian contoh fatwa-fatwa MUI yang dipandangnya menyulut kontroversi. Misalnya dia menyebut-nyebut fatwa pengharaman pluralisme agama, sekularisme dan liberalisme. Namun uniknya, dia tidak “istiqamah” dengan akidah pemisahan agama dari ruang publik. Sebab artikelnya bertema “Fatwa Ulama” yang dipublikasikan di ruang publik adalah bentuk intervensi publik terhadap agama yang seharusnya menjadi masalah privat.
Dalam Merriam Webster’s Dictionary, istilah sekularisme berarti tidak membedakan, menolak atau mengesampingkan agama dan semua pertimbangan yang berasal darinya. Encyclopaedia Britannica 2007 Ultimite Reference Suite lebih lanjut menjelaskan bahwa di Eropa pada abad pertengahan terdapat kecondongan kuat terhadap tokoh-tokoh agamis yang memandang rendah urusan manusia dan lebih mementingkan bermeditasi pada Tuhan dan kehidupan spiritual. Sebagai reaksinya, sekularisme yang muncul di waktu Renaissance, mengkampanyekan perkembangan humanisme. Sebuah pandangan yang lebih menitikberatkan hedonisme dan kepentingan manusia daripada Tuhan atau hal-hal spiritual lainnya. Kampanye paham ini mendapat sambutan luas, karena di saat itu masyarakat Barat mulai tertarik pada pencapaian peradaban dan segala hal yang memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Gerakan anti sekularisme terus meningkat pada masa sejarah modern, sehingga sekularisme kerap dipandang sebagai anti Kristen dan anti agama. Pada paruh kedua abad 20, beberapa teolog dan agamawan mulai mendukung Kristen sekular. Mereka mengusulkan hendaknya agama Kristen tidak hanya memfokuskan dirinya pada kekudusan dan dunia gaib saja, tetapi masyarakat perlu menemukan kesempatan untuk mempromosikan nilai-nilai Kristen di dunia. Para teolog menjaga agar makna hakiki dari pesan Yesus bisa ditemukan dan menjiwai kehidupan masyarakat kota sehari-hari.
Pengalaman tentang kesuksesan sekularisme di Barat-Kristen, tentunya tidak bisa diterapkan begitu saja dalam Islam. Sebab pengalaman itu bersifat lokal dan nilai-nilai kebenarannya pun tidak universal. Ia berhubungkait dengan latar belakang sejarah, kondisi sosial dan karakter agama setempat. Sehingga sangat naif jika dicomot begitu saja, apalagi diterapkan sebagai pertimbangan dalam fatwa yang memiliki tradisi keilmuan sendiri. Seakan-akan Islam dan Kristen atau umat Islam dan Barat mempunyai problem yang sama, sehingga sama-sama memerlukan sekularisme dan sekularisasi.
Makna fatwa
Fatwa adalah penjelasan hukum syar’i yang bersumber dari dalil yang muncul karena ada orang yang menanyakannya. Ruang lingkup fatwa mencakup masalah yang bersifat qath’i (pasti) maupun zanni (dugaan). Keberadaan fatwa adalah fardhu kifayah. Bahkan golongan Syafi’iyah menetapkan di setiap jarak perjalanan yang membolehkan qashar shalat harus ada seorang mufti.
Fatwa termasuk tradisi keilmuan dalam Islam yang eksis sejak Rasulullah hidup. Seorang mufti berarti penerus Nabi, sebab orang-orang berilmu diberi kedudukan terhormat untuk menjelaskan hukum-hukum agama yang berkenaan dengan maslahat umat. Maka kewajiban berfatwa tidak ditujukan kepada setiap orang, karena hal ini justru akan menimbulkan kerusakan. Karena kehati-hatian terhadap masalah fatwa, Rasulullah bersabda: “Orang yang paling berani berfatwa di antara kalian adalah orang yang paling dekat dengan neraka“. (HR. al-Darimi).
Maka berfatwa tanpa kualifikasi ilmu berarti berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya serta berdampak pada penyesatan. Inilah di antara posisi sentral ulama dalam masyarakat berperadaban Islam. Di mana penentu kebijakan publik yang mewarnai masyarakat diserahkan pada ahlinya. Suatu peradaban yang tidak membiarkan rakyatnya diwarnai politisi, pelawak atau pesolek. Sebuah tradisi yang menyandarkan kebenaran pada kualitas bukan kwantitas pendukungnya.
Adapun subjek fatwa, seperti yang dijelaskan dalam al-Mausu’ah al-Fikihiyyah, bab Fatwa adalah menjelaskan hukum-hukum Allah untuk diterapkan pada perilaku manusia. Mengingat subjek dan topiknya itu, maka fatwa mencakup masalah-masalah berikut: (a) keyakinan, termasuk semua pembahasan rukun iman, (b) amaliyah, seperti ibadah, muamalah, vonis kriminal, pernikahan dst, (c) taklifiyah, seperti wajib, haram, sunah, makruh dan mubah, (d) wadh’iyyah, seperti tentang sah atau batalnya suatu amalan ibadah atau perilaku. Dengan demikian fatwa senantiasa mempersyaratkan penguasaan realitas dan konteks masalah yang ditanyakan, sehingga penerapan hukum syari’ah tidak salah sasaran.
Maka sangat jelaslah bahwa tradisi keilmuan fikih secara umum dan fatwa pada khususnya bukanlah tradisi keilmuan yang dibangun di atas awang-awang. Sebaliknya, ia berkaitan erat dengan realitas di masyarakat. Adanya bermacam-macam mazhab fikih adalah bukti bahwa khazanah keilmuan dalam Islam tidak melakukan dikhotomi antara agama dan realitas. Namun hal ini bukan berarti realitas lebih berkuasa melakukan perubahan terhadap teks-teks agama. Semuanya ada takarannya dan kajian terhadapnya bukanlah kajian sederhana dan instan. Terlebih lagi jika dalam memadukan pemahaman teks agama dan realitas disandarkan pada ilmu-ilmu sosial Barat yang menempatkan agama sebagai bagian dari budaya. Sehingga agama tidak lebih sekedar hasil kreativitas manusia yang selalu berkembang sesuai selera zaman dan penafsirnya. Dan pendekatan terhadapnya pun berubah menjadi konsep akal yang ateistik dan terpisah dari wahyu.
“Fatwa” yang berdasarkan konsep akal sekular yang ateistik ini dapat disimak melalui teori batas tentang aurat yang dilontarkan tokoh liberal cabang Suriah, Dr. Muhammad Syahrur. Berdasarkan realitas kekinian, dia berpendapat bahwa batasan aurat adalah relatif. Dengan menyandarkan QS. 24:31. “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…“, dia mengartikan bahwa kata aurat di situ adalah “apa yang membuat seseorang malu bila diperlihatkannya”. Maka disimpulkan bahwa aurat itu tidak berkaitan dengan halal-haram, baik terlihat dari dekat maupun dari jauh. Sebab aurat datang dari rasa malu, dan rasa malu ini relatif, sesuai dengan adat istiadat.
Sedangkan QS. 33:59, Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu..”, dia tafsirkan bahwa ayat ini bersifat anjuran, bukan kewajiban. Maka menurutnya, hendaknya wanita mukminah dianjurkan menutup bagian-bagian tubuhnya yang bila terlihat menyebabkan mereka mendapat gangguan.
Menurut Syahrur, gangguan itu ada dua jenis, baik dari alam maupun dari sosial. Gangguan alam terkait dengan cuaca seperti suhu panas dan dingin. Maka wanita mukminah hendaknya berpakaian menurut standar cuaca, sehingga ia terhindar dari gangguan alam. Sedangkan gangguan sosial terkait dengan kondisi dan adat kebiasaan suatu masyarakat, sehingga tidak mengundang cemoohan mereka. Bersandarkan kedua ayat di atas, akhirnya Syahrur menyimpulkan bahwa batasan aurat “kontemporer” wanita dibagi dua, (a) batasan maksimal yang ditetapkan Rasulullah SAW yang meliputi seluruh anggota tubuh selain wajah dan dua telapak tangan. (b) Batasan minimal yang ditetapkan oleh Allah SWT yang hanya menutupi belahan dada, bagian di bawah ketiak, kemaluan dan pantat.
Maka selain empat anggota tubuh di atas, boleh diperlihatkan termasuk pusar, jika kultur masyarakat membolehkan. Penutup kepala untuk laki-laki dan perempuan hanyalah budaya, tidak terkait dengan iman dan Islam. (lihat: Dr. Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li l-Fikih al-Islami: Fikih al-Mar’ah, hal. 370, 372-373, 376-378)
Anehnya, “fatwa” seperti ini justru digemari oleh sebagian kalangan di Indonesia. Dengan casing yang menarik, kalangan liberal cabang Indonesia pun mengkampanyekan teori batas Syahrur untuk menggeser beberapa aturan syariah.
Sekedar catatan, Syahrur mulai dikenal setelah menulis Al Kitab wa Al Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah (Tela’ah Kontemporer Al Kitab dan Al-Quran). Namun tulisannya ini sudah dibantah 15 buku pada waktu singkat setelah terbitnya di Damaskus pada tahun 90-an.
Syahrur sebenarnya bukan seorang ahli dalam hukum Islam. Ia lulus dari sekolah menengahnya di lembaga pendidikan ‘Abd al-Rahman al-Kawakibi, Damaskus tahun 1957 dan tak ada sangkut-paut dengan hukum Islam. Ia mendapatkan beasiswa pemerintah untuk studi teknik sipil (handasah mad?niyah) di Moskow, Uni Sovyet.
Tapi di Indonesia (oleh kalangan liberal), penolak hijab dan jilbab yang dikenal dengan? bukunya yang berjudul Nahwa Ushul Jadid li Af Fiqh Al Islami (Menuju Metode Baru dalam Fiqih Islam) tiba-tiba dijadikan rujukan ibarat seorang mufti yang menfatwakan masalah hukum Islam.
Buku Isu-Isu Gender Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar & Menengah yang diterbitkan atas kerjasama antara Pusat Studi Wanita UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan McGill IISEP adalah salah satu contohnya. Buku ini mengkritisi buku-buku pelajaran agama, khususnya di bidang Fikih, Tafsir dan Hadith yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar dan menengah yang dianggap bias gender.
Contoh kesetaraan gender yang diusung dalam buku tersebut di antaranya adalah bermuara pada penyamaan laki-laki dan perempuan dalam pakaian ihram, hak menjadi imam shalat, azan, dst. Di samping itu, buku ini juga mempersalahkan buku-buku teks pelajaran agama di tingkat dasar dan menengah yang selalu menampilkan gambar laki-laki yang melakukan shalat berjama’ah, membangun masjid, memotong hewan kurban, dst. Monopoli pemuatan gambar laki-laki dalam berbagai aktivitas tersebut dianggap sebagai wujud pelecehan perempuan dalam pendidikan agama. Bahkan dalam buku itu disebutkan bahwa tugas menyusui anak bukanlah kewajiban perempuan, karena sudah bisa diganti dengan botol (hal. 42-43).
Adakah hal-hal semacam ini dinilai lebih realistis dan sesuai dengan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik kekinian dan kedisinian sehingga lebih membawa kemaslahatan umat dan menjadi pertimbangan dalam berfatwa? [http://hidayatullah.com]
Penulis adalah peneliti pada Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Menyelesaikan S2 di International Islamic University Malaysia (IIUM) di bidang Usul al-Din dan Pemikiran Islam