Bagi kaum Muslim, syariat Islam sudah melekat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Syariat Islam memiliki karakter yang khas: bersifat final dan universal. Kaum Muslim, dengan latar belakang budaya apa pun, kapan pun, dan di mana pun melaksanakan shalat, zakat, puasa, haji, menikah, menyelenggarakan jenazah, dan sebagainya dengan cara yang sama. Sebab, syariat Islam memang diturunkan Allah kepada Nabi terakhir, Nabi Muhammad saw, untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia.
Tapi, belakangan, sebagian kalangan Muslim sendiri mulai menyoal masalah syariat. Dengan bekal “keimanan” kepada paham-paham modern (Pluralisme, multikulturalisme, kesetaraan gender, HAM, dan sebagainya) sejumlah hukum Islam yang dianggap ketinggalan zaman, diupayakan untuk dibuang atau diubah penafsirannya. Prof. Abdullah Ahmad an-Na’em, pemikir liberal asal Sudan yang pernah berkunjung ke Indonesia, misalnya, menyatakan, ada empat wilayah – yakni konstitusi modern, hukum kriminal, hukum internasional, dan HAM– dimana syariat Islam menyimpan sejumlah problem serius.
Ada yang menganggap, hukum Islam tentang kaum non-Muslim tidak toleran, bahkan cenderung diskriminatif. Dalam buku Fiqih Lintas Agama (2004) dikatakan: “Banyak konsep fiqih menempatkan penganut agama lain lebih rendah ketimbang umat Islam, sehingga berimplikasi meng-exclude atau mendiskreditkan mereka.” Sejumlah pihak juga menggugat hokum Islam tentang perempuan yang kata mereka kerap memposisikan kaum hawa ini menjadi subordinat bagi laki-laki. Ringkasnya, dalam kacamata mereka, fiqh klasik tidak ramah perempuan, misigonik, dan bias jender. (Lihat misalnya Amina Wadud, Qur’an and Woman, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspektif (New York: Oxford University Press)).
Karena itulah, kalangan ini kemudian menyerukan dilakukannya reformasi, perombakan, atau dekonstruksi hukum-hukum Islam dan sekaligus melakukan sekularisasi. Jika tidak, tulis Abdullah Ahmed an-Na’em, “the population of Muslim countries would lose the most significant benefits of secularization.” (penduduk Negara-negara Islam akan kehilangan manfaat yang cukup signifikan dari sekularisasi). (Lihat, Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation (Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1990).
Gagasan merombak Islam, dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai Barat modern inilah yang kemudian dikenal sebagai bentuk “Liberalisasi Islam”. Syariat Islam menjadi salah satu sasaran utama proyek liberalisasi, disamping pembongkaran terhadap ajaran aqidah dan konsep-konsep dasar Islam tentang wahyu, kenabian, dan sebagainya. Gugatan terhadap kesucian al-Quran, misalnya, sudah berulangkali disuarakan oleh kaum liberal. Bahkan, sebelum melubernya Lumpur Lapindo, kota Surabaya dihebohkan tindakan seorang dosen yang berulangkali menginjak-injak lafaz Allah yang ditulisnya sendiri, hanya untuk membuktikan bahwa al-Quran – kata dia – tidak suci. Setelah ribut di media massa, si dosen dijatuhi hukuman skorsing oleh kampusnya.
Mencari-cari
Agar seolah-olah pendapatnya tentang perombakan syariat Islam bisa diterima kaum Muslim, ada yang berusaha “mencari-cari” dalil sejarah. Kata mereka, para sahabat Nabi saw pun pernah meninggalkan hukum Islam dan menggantinya dengan aturan yang dibuatnya sendiri.
Umar ibn Khattab r.a. adalah sahabat Nabi yang biasanya disebut-sebut telah berani merombak hokum Islam, dengan cara mendahulukan akalnya, ketimbang nash al-Quran. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai “Bapak Islam Liberal”.
Padahal, Umar bin Khattab jauh dari tuduhan liberal yang mereka alamatkan kepadanya. Tidak satu pun ijtihadnya yang dapat dikategorikan membelakangi teks-teks al-Qur’an. Umar tidak menerapkan hukum pencurian terhadap seorang pencuri pada tahun paceklik sesuai dengan surah al-Maidah ayat 38, bukan demi kemaslahatan semata. Lebih dari itu, Umar r.a. berbuat demikian, demi menjaga kesucian Islam dari dituduh bersifat zalim.
Bagaimana mungkin Umar r.a. melaksanakan hukuman tersebut sedangkan syarat-syarat yang menuntutnya untuk menerapkan hukuman tersebut tidak mencukupi?
Misalnya dari segi ukuran barang yang dicuri. Apakah ukuran barang yang dicuri oleh sang pencuri ketika itu sudah mencapai ukuran yang membolehkannya untuk dihukum dengan hukuman sedemikian? Kasus pencurian yang disebutkan terjadi di zaman Umar r.a. tersebut terjadi pada tahun paceklik. Sementara orang tersebut mencuri hanya untuk memenuhi kebutuhan perutnya yang ketika itu kelaparan. Dari keterangan ini jelas sekali bahwa syarat yang diperlukan untuk diterapkannya hukuman al-Quran tentang pencurian tidak terpenuhi. Jadi bukan karena Umar bin Khathab berpaling dari teks al-Quran, tetapi justru Umar ingin menerapkan teks al-Qur’an itu dengan seadilnya.
Masalah ini sudah banyak dikaji oleh para ulama dan cendekiawan. Sayangnya, masih saja berbagai kalangan mencari-cari dalil untuk merombak syariat Islam. Analog dengan hal semacam itu, misalnya, adalah kewajiban menjalankan shalat lima waktu. . Shalat jelas wajib hukumnya. Tapi shalat tidak wajib dilaksanakan sebelum masuk waktunya, karena ia adalah salah satu syarat wajibnya salat. Jika ada orang yang melaksanakan shalat sebelum tiba waktunya, maka orang tersebut dianggap telah melanggar nash al-Quran dan shalatnya pun tidak sah. Demikian jugalah halnya hukuman potong tangan bagi pencuri. Hukuman ini tidak bisa dilaksanakan sebelum seluruh syaratnya terpenuhi. Jadi Umar ibn Khattab sama sekali tidak melanggar ketentuan nash al-Qur’an.
Demikian juga halnya dengan ijtihad Umar r.a. menolak untuk menyerahkan zakah kepada salah satu keluarga yang selalu mendapat bagian pada masa Rasulullah. Keluarga ini ketika itu masuk dalam kategori muallafah qulubuhum. Penolakan Umar untuk menyerahkan zakat kepada kelompok ini bukan karena beliau berpaling dari nash al-Qur’an yang sharih. Seharusnya yang patut ditanyakan adalah apakah orang yang datang kepada Umar yang mengklaim pernah menerima zakat dari Rasulullah itu mempunyai status yang sama ketika mereka datang kepada Umar bin Khathab? Dengan kata lain, apakah orang tersebut masih bisa dikategorikan sebagai kelompok muallaf qulubuhum pada masa pemerintahan Umar r.a. Dalam pandangan Umar, orang tersebut sudah keluar dari kategori ini. Makanya, dia tidak memberikan zakat kepada kelompok itu. (Untuk pembahasan lanjut tentang ijtihad-ijtihad ‘Umar ini bisa dibaca, ‘Abid bin Muhammad al-Sufyani, Al-Thabat wa al-Syumul fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, 461ff; Yusuf al-Qaradawi, al-Siyasah al-Syar’iyyah, 176ff).
Gambaran agak terperinci semacam ini diperlukan, agar seseorang tidak mudah percaya, bahwa sahabat Nabi terkemuka telah mendahulukan pendapat akalnya sendiri, dengan mengesampingkan nash-nash al-Quran. Jika mau merombak hukum-hukum Islam, sepatutnya tidak mencari-cari dalil yang keliru, yang akhirnya justru menuduh sahabat Nabi telah melakukan sesuatu yang sangat tidak terpuji. Padahal, ijtihad Umar telah disetujui oleh para sahabat Rasulullah yang bersikap sangat kritis terhadap berbagai penyimpangan ajaran Islam.
Banyak kalangan beralasan bahwa kemaslahatan akal harus didahulukan ketimbang kemaslahatan nash al-Quran. Jika memang ada maslahat, maka di situ ada hukum Islam. Logika semacam ini sebenarnya sangat lemah, sebab ketika bicara “maslahat” manusia juga sangat berbeda pendapatnya. Daging babi yang telah disterilkan bisa membawa maslahat. Ada yang berdalih, khamr boleh di saat udara dingin karena ada maslahat. Bahkan, sejumlah pendukung gerakan legalisasi perkawinan homoseks dan lesbian juga beralasan akan adanya maslahat bagi pelaku perkawinan sesama jenis itu. Salah satunya, kata mereka, untuk mengurangi jumlah penduduk bumi.
Pembaruan
Pembaruan atau apa yang sering disebut dengan tajdid (renewal) bukanlah hal baru dalam Islam; ia bahkan sudah menjadi built-in-system dalam pemikiran Islam. Rasullullah saw sendiri sudah mewanti-wanti hal itu. Sabda beliau: “Sesungguhnya Allah akan mengutus pada tiap pangkal abad seorang mujaddid yang akan memperbaharui agama-Nya”. Meski demikian, tajdid hendaklah dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian agar tidak mengabaikan prinsip-prinsip dasar yang mejadi landasan Islam. Mereka harus jeli dan serius membedakan antara yang ushuli (principle/foundation) dan thawabit (unchangeable) dengan yang furu’ (cabang) dan mutaghayyirat (mutable). Karena kegagalan mengindentifikasi perbedaan ini dapat berakibat fatal bagi Islam dan ummat Islam itu sendiri. Disebabkan kegagalan itu bisa jadi apa yang seharusnya sebagai hal yang ushuliy dirubah menjadi furu’iy dan sebaliknya.
Realitas sosial patut diperhatikan. Dan para ulama Islam sejak dulu sadar betul tentang pentingnya unsur reallitas ini sampai-sampai para ulama menetapkan ‘urf atau adat kebiasaan masyarakat setempat sebagai sandaran hukum, asalkan tidak kontradiktif dengan teks-teks al-Qur’an yang masuk dalam kategori qath’iy al-thubut wa al-dilalah. Ibn ‘Abidin pernah menegaskan: “‘Urf yang bertentangan dengan nass tidak bisa menjadi pertimbangan.” Dengan nada yang sama, Ibn Nujaym juga mengatakan: “‘Urf tidak bisa menjadi bahan pertimbangan pada persoalan yang ada ketetapan nassnya (al-mansus ‘alayh)”. (Dikutip dari ‘Umar Sulayman al-Ashqar, Nazariyyat fi Usul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Nafa’is, 199),
Oleh sebab itu, hukum haramnya ghibah dan dusta, wajibnya salat, zakat, puasa, haramnya riba, hukum nikah dan talaq, hukum hudud dan qishas, rajam terhadap pezina, dan lain-lain yang oleh para ulama dikategorikan qat‘iy al-tsubut wa al-dalalah tidak bisa berubah, meskipun waktu dan tempat berubah. Tidak sepantasnya seorang Muslim menjadikan Islam tunduk berlutut mengikuti selera zaman. Sebab, selera zaman begitu beragam dan sangat nisbi. Sebab, pada prinsipnya Islam diturunkan untuk kemaslahatan manusia. Hak untuk menentukan halal dan haram, wajib dan haram, berada di tangan Allah SWT. Tidak sepatutnya manusia berani merampas “hak Allah” tersebut, melakukan makar kepada Allah, atau menempatkan dirinya sebagai tandingan Allah SWT.
Kaum Muslim yakin benar dengan kebenaran firman Allah SWT: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS an-Nisa’:65). [insists]
makasih, artikelnya bagus,…
Ngeri kalo hukum Islam harus menyesuaikan jaman.
Ya, tidak semua dal syariat bisa dimaknai sesuai dengan perkembangan jaman. Dalil2 qat,i yang sudah jelas,& tegas maknananya tidak perlu ditafsir ulang. Tapi dalil2 lainya, dengan semangat tajdid perlu ijtihad untuk memaknai ulang dalam kerangka kemaslahatn umat. Dan itu sangat banyak. Kehati2 an dalam ijtihad sangat perlu, tapi kalau setiap prmbaharuan dicap bid,ah , murtad kapan islam akan mencapai makna hakikinya sebagai rahmatan lil alamin. Bagaimanapun juga artikel anda cukup bagus.