Friday, 22 November 2024, 01:32

gaulislam edisi 194/tahun ke-4 (9 Sya’ban 1432 H/ 11 Juli 2011)

 

Hehehe.. judul edisi gaulislam ke-194 ini cukup singkat. Satu kata: Maaf. Biarin deh sekali-kali simpel. Mudah dipahami. Semoga saja buka judul yang absurd. Hmm… gampang nggak sih kita ngasih maaf kalo ada temen kita yang minta maaf sama kita? Hmm.. gimana ya, apalagi doi tuh udah nyakitin kita banget. Kayaknya nggak gampang deh kalo kita langsung nerima permintaan maafnya. Menyembuhkan luka batin atau nyembuhin perasaan itu katanya sih lebih sulit ketimbang nyembuhin luka fisik. Bagi banyak orang, katanya sih lebih baik tubuh tertusuk pedang ketimbang ditusuk lidah dengan omongan yang nggak enak en nggak sedap. Mungkin bener juga kali ya kalo Bung Meggy Z semasa hidupnya sempat berdendang: “Kalau terbakar api, kalau tertusuk duri, mungkin masih dapat kutahan. Tapi ini.. sakit lebih sakit, kecewa karena cinta…. Daripada sakit hati, lebih baik sakit gigi ini, biar tak mengapa…” (ih, kalo saya sih nggak kepengen dua-duanya tuh!)

Sobat muda muslim, ngasih maaf kepada orang yang udah nyakitin perasaan kita tuh rasa sakitnya kadang nggak bisa ditelan oleh waktu (duilee lebay mode “on”). Gimana nggak, kita suka gondok kalo ada teman yang udah ngerendahin kita misalnya. Apalagi di depan banyak orang. Wuih, dendamnya bisa delapan turunan tuh. Iya, nyebelin nggak sih kalo kita misalnya minta diajarin ngaji Quran, terus doi ngomentarin: “Udah gede kayak gini masih belum bisa baca Quran? Kalah ama adek gue tuh yang masih SD!” Waduh, kalo di film kartun tuh muka kita udah merah padam dan keluar asap dari idung (banteng kalee…)

Mungkin wajar kalo kita gondok abis kalo dihina. Mendingan dipukul pake kayu atau benda lainnya kali ya daripada dirajam pake kata-kata hinaan di depan banyak orang pula. Malu, kesel, dan juga marah sama orang yang model begitu. Nah, suatu ketika doi minta maaf nih sama kita. Hmm.. kayaknya sampe sujud juga nggak bakalan dikasih kali tuh. Mau nangis darah dan ngesot-ngesot juga kayaknya nggak bakalan dikasih maaf. Saking kesel dan gondoknya tentu.

Bro en Sis ‘penggila’ gaulislam, kasus lainnya adalah meminta maaf. Ini juga hampir sama sulitnya dengan ngasih maaf. Gimana nggak, kadang gengsi juga bikin kita malas minta maaf. Apalagi mungkin menurut kita hal itu sepele. Jangan salah, banyak lho orang yang sulit meminta maaf. Kayaknya tuh lidah udah dipaku sehingga satu kata pernyataan maaf pun tak keluar dari mulut kita. Kita cuek dan merasa benar sendiri. Kita jadi gengsi dan merasa tak perlu meminta maaf, apalagi kepada orang yang levelnya lebih rendah dari kita. Kita khawatir menjadi rendah di hadapan orang yang kita anggap status sosial maupun intelektualitasnya di bawah kita (ah, masa’ iya sih?)

 

Jangan jadi pendendam

Sobat muda muslim, ngasih maaf dan meminta maaf seharusnya menjadi budaya yang baik di antara kita. Apa sih susahnya ngasih maaf, dan apa sih sulitnya minta maaf? Rasa-rasanya, itu hal yang kecil tapi dibesar-besarkan deh. Suer, Allah saja Maha Pengampun kepada hambaNya (kecuali kepada yang menyekutukanNya), masa’ sih kita kejam dan nggak mau sedikit pun ngasih maaf kepada teman kita. Dan, apakah kita udah ngerasa benar dan sempurna banget di hadapan manusia lain sehingga nggak perlu minta maaf? Rasulullah saw. saja mengajarkan bagaimana menghormati sahabat-sahabatnya. Tentu saja, jika beliau mau menghormati dan lemah-lembut kepada sahabatnya, maka sudah bisa dipastikan bahwa beliau pun mau dan biasa meminta maaf kepada sahabat-sahabatnya. Di dalam ash-Shahihain dari hadis Aisyah ra, dari Nabi saw., beliau bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyukai kelemah-lembutan dalam segala urusan.”(HR Bukhari dan Muslim)

Gondok sama orang boleh aja. Tapi bukan berarti harus terus-terusan dipelihara. Selain capek ati, juga kita jadi keras hati. Salah-salah malah jadi pendendam. Memang sakit banget kalo dihina sama seseorang. Kita bisa kecewa jika dikhianati, kita bisa muak jika dibohongi. Tapi, bukan berarti kita terus memendam perasaan itu apalagi berniat tak akan pernah memaafkannya sampe delapan turunan (bosen nih tujuh turunan mulu!).

Sobat, di dunia ini memang penuh lika-liku kehidupan. Ada suka ada duka, ada kecewa ada bahagia, ada pengkhianatan ada pembelaan, ada kebohongan ada kejujuran. Kita pernah merasakannya, atau bahkan memberikan ketidaksukaan kepada orang lain. Kecewa boleh, sakit hati boleh, tapi jika hal itu dipelihara dalam kurun waktu yang lama, bahkan diabadikan dalam ruang batin kita, tentunya akan menyiksa kita. Selain itu, kita akan terus selamanya mendendam kepada orang yang telah melukai perasaan kita. Dampak lainnya kita bisa saja jadi orang yang traumatis, frustasi dan mungkin saja minder karena telah dihinakan oleh orang lain. Akibatnya, yang menjadi masalah bukan benar-salah, melainkan apa untungnya dan apa ruginya buat kita.

Jika benar-salah bukan lagi pertimbangan, tapi yang jadi pertimbangan adalah untung-rugi apa jadinya dunia ini? Padahal, bisa jadi memang dia salah kepada kita. Tapi, apakah dia akan selamanya salah? Nggak juga kan? Sama seperti kita, apa ketika kita berbuat benar, kemudian selamanya akan benar? Nggak ada jaminan kan? Kita juga nggak mau kan dianggap salah terus, padahal kita udah berusaha untuk menjadi lebih baik? Nah, cobalah dipikir ulang soal ini.

Nggak usah merasa turun derajat kalo kita memaafkan teman yang udah berbuat salah sama kita. Tak perlu merasa rugi hanya dengan memberi maaf kepada teman yang telah melukai perasaan kita. Memang, ada yang bilang bahwa waktu bisa menyembuhkan luka, tapi kita tak akan pernah lupa pada sakitnya. Pernyataan itu boleh-boleh aja sih, tapi apa iya kita akan begitu tega kalo ada orang yang mau minta maaf sama kita terus kita cuekkin dengan alasan nggak ada untung?

Boys and gals pembaca setia gaulislam, Rasulullah saw. pernah menyampaikan sabdanya: “Shadaqah tidak mengurangi sebagian dari harta, dan Allah tidak menambah kepada seorang hamba karena maaf melainkan kemuliaan, dan seseorang tidak bertawadhu’ karena Allah, melainkan Allah meninggikannya.” (dalam kitab Minhajul Qashidin, karya Ibnu Qudamah, hlm. 233)

Dari Uqbah bin Amir, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak mau memberimu dan maafkanlah orang yang telah menzhalimimu.” (HR Ahmad, al-Hakim, dan al-Baghawy)

Subhanallah, Rasulullah saw. telah mengajarkan kita untuk lemah-lembut, bahkan kepada orang yang telah menzhalimi kita. Kita ngasih maaf kepada orang yang udah ngelukain hati kita. Hebat. Padahal, banyak di antara kita yang masih gengsi karena ego kita yang gede banget. Ngerasa hal itu amat hina jika dilakukan. Tapi Rasulullah saw., yang lebih mulia dari kita, mengajarkan kita untuk gampang ngasih maaf, bahkan kepada orang yang telah menzhalimi kita.

Sobat muda muslim, ketika kita meyakini bahwa dendam, sakit hati, dan kebencian adalah jawaban paling benar di dunia ini–dan itu satu-satunya jawaban–maka pengetahuan, pengalaman, dan kesadaran kita akan kalah, tak berguna, dan lumpuh total.

Boleh dibilang pengetahuan adalah sumber petunjuk, pengalaman adalah guru, dan kesadaran adalah reminders alias peringatan, namun hal itu belum cukup. Sebab, pengetahuan kita akan menunjukkan kita jika kita mau menerima petunjuknya, pengalaman akan menjadi guru kalo kita mau belajar kepadanya, dan kesadaran akan menjadi reminder kalo kita mendengarkannya.

Nah, nggak mungkin kan selamanya kita dendam sama orang? Emang sih, sebelum kita tahu banyak hal tentang kehidupan dunia ini, kayaknya kitalah yang ngerasa paling benar atas apa yang kita lakukan. Kita menghibur diri kita bahwa kita wajar ngelakuin apa pun yang kita suka. Termasuk menjadi pendendam. Tapi ketika begitu banyak menyimak ‘hikmah’ dari segala peristiwa di dunia ini, kita mulai sadar. Kita akan lebih bijak menikmati dunia ini. Pengetahuan, pengalaman, dan kesadaran kita akan menjadikan kita dewasa dan bukan mustahil kalo akhirnya kita mau menerima perbedaan, mau mengampuni orang-orang yang telah berbuat buruk kepada kita. Karena kita tahu dan yakin, bahwa tak selamanya manusia itu buruk, dan tak selalu manusia itu berbuat baik. Manusia tuh dinamis. Asal kita mau mengubah (kepada kebaikan tentunya), insya Allah bisa. Tul nggak?

Oya, kalo kita masih merasa benar sendiri, berarti kita belum belajar dari pengetahuan yang udah kita dapetin, kita belum ngambil pengalaman dan mengikuti peringatan. Hawa nafsu atau ego kita belum terkalahkan. Hmm… jadi inget doktrinnya Samurai yang mengajarkan: “winning first than fighting” (taklukkan nafsumu lebih dahulu, baru bertempur). Doktrin militer menggariskan: “be warrior than soldier” (jadilah jagoan lebih dahulu, baru bergabung menjadi pasukan tempur). Jan Christian Smuts mengingatkan: “Orang tidak kalah oleh lawannya melainkan kalah oleh dirinya” (bisa dibaca lebih lengkap dalam: www.e-psikologi.com; pembahasan: penyembuhan luka batin bagi orang dewasa)

Ngomong-ngomong soal hawa nafsu dan ego kita, jadi inget kisahnya Umar bin Khaththab ra yang urung menghajar orang yang telah mencelanya. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat al-Bukhari, dari hadis Ibnu Abbas ra, bahwa ada seseorang yang meminta izin untuk bertemu Umar bin Khaththab. Setelah orang itu diizinkan, dia berkata, “Wahai Ibnul-Khaththab, demi Allah, engkau tidak memberi kami yang banyak dan tidak membuat keputusan di antara kami secara adil”.

Umar pun marah besar mendengarnya, bahkan hampir saja dia memukulnya. Al-Hurr bin Qais segera berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah pernah berfirman kepada Nabi saw., ‘Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh’ (QS al-A’raaf [7]: 199). Dia adalah termasuk orang-orang yang bodoh.”

Maka Umar pun mengurungkan niatnya untuk menghajar orang itu setelah dibacakan ayat ini. Setelah itu pikirannya terus menerawang terhadap Kitab Allah. (Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin, hlm. 228)

Sobat muda pembaca setia gaulislam, kalo udah jadi orang yang pendendam biasanya kita akan memikirkan terus masa lalu kita. Kita akan tetap merasa kecewa dan sakit hati kepada mereka yang telah melukai perasaan kita. Kita akan memeliharanya dalam jangka waktu lama. Kita tetap begitu, padahal orang lain sudah berubah. Setiap kali inget orang yang telah menzhalimi kita, kita bertambah sebal dan rajin menyiapkan strategi untuk membalas luka di hati kita. Kalo setiap saat kita begitu, bisa-bisa bikin stres deh. Suer. Hidup ini untuk dinikmati dengan benar dan baik. Bukan dengan stres. Mulailah bersikap dewasa dan menghargai setiap perubahan. Ya, kita harus menghargai. Kalo dulu teman kita menghina kita, tapi kini ketika dia meminta maaf kepada kita, berarti insya Allah dia udah mulai berubah. Setidaknya ingin menghapus kejahatannya kepada kita.

Eh, jangan salah lho. Hidup ini untuk dinikmati, bukan untuk dibikin terus susah, entar stres lho. Tapi, kalo pun kamu udah terlanjur stres karena jadi pendendam (dan belum kesampaian balas dendam), ada baiknya ngikutin saran Dr. Denis Waitley, tentang cara positif untuk mengatasi stres adalah: a) jangan mengubah sesuatu yang sudah tidak bisa diubah lagi, seperti masa lalu, dan lain-lain, b) ubahlah apa yang masih bisa anda ubah dengan cara melakukan sesuatu, seperti misalnya menggunakan hari ini seoptimal mungkin, dan c) hindarkan diri anda melakukan sesuatu yang akibatnya bisa membuat anda stres di masa depan, seperti misalnya membiarkan hari ini tanpa melakukan apapun. (www.e-psikologi.com, idem)

Bro en Sis, semoga kita gampang memaafkan orang yang telah menzhalimi kita sekalipun. Semoga Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk sabar, lemah lembut, dan pemaaf. Oya, sikap pemaaf adalah suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas. Dalam bahasa Arab sifat pemaaf tersebut disebut dengan al-‘afwu yang secara etimologis berarti kelebihan atau yang berlebih, sebagai mana yang terdapat dalam ayat: “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang berlebih dari keperluan…” (QS al-Baqarah [2]: 219)

Penjelasannya nih, yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Dari pengertian mengeluarkan yang berlebih itu, kata al-‘afwu kemudian berkembang maknanya menjadi menghapus. Dalam konteks bahasa ini memaafkan berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati. (M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 247)

Oke, itu sebabnya menjadi pendendam itu nggak baik. Nggak ada untungnya juga. Dalam buku Kuliah Akhlaq karya Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc, MA, yang pernah saya baca, dicantumkan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari; keduanya bertemu tapi saling memalingkan mukanya. Dan yang paling baik di antara keduanya ialah yang memulai lebih dahulu mengucapkan salam” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Jadi, mulai sekarang berlapang dadalah. Juga harus ngakuin bahwa setiap manusia pasti punya kesalahan. Permintaan maaf itu sebagai bukti bahwa ia pernah berbuat salah ingin menebusnya. Karena definisi dari maaf sendiri adalah pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dsb) karena suatu kesalahan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, cetakan ke-3, 2003, hlm. 693). Mau kan kita mengampuni mereka yang telah berbuat salah kepada kita?

Nah, kita juga bisa jadi pernah (atau bahkan sering?) berbuat salah, dan orang lain juga pernah berbuat salah dan menyakitkan kepada kita. Itu sebabnya, kita harus mengakui kenyataan ini dan berusaha untuk bersikap bijak. Tak ada manusia yang terus berbuat salah dan tak ada manusia yang selamanya berbuat baik. Dengan demikian, yang lebih oke adalah mereka yang saling memaafkan dengan sesamanya. [solihin: www.osolihin.wordpress.com]