Saturday, 23 November 2024, 09:19

Anak adalah suatu anugerah yang diberikan Allah sebagai titipan yang harus kita jaga. Seandainya aku mengetahuinya dari dulu, mungkin kepergiannya tidak akan secepat ini. Tapi siapa yang tahu rahasia Allah, Dia telah mengaturnya. Semoga aku teribrahkan dari cobaan ini.

Setiap ibu pasti mendambakan seorang anak. Menurutku hal ini sudah menjadi sunatullah yang diberikan kepada seorang wanita. Apa yang kuinginkan akhirnya terkabul juga. Setelah aku menikah, Allah menganugerahkan kami seorang anak perempuan yang lucu, mungil, dan imut. Aku sangat gembira sekali karena kehadirannya memang menjadi penantian kami siang dan malam. Kami memberi namanya Indah.

Seperti ibu yang lain, aku mulai merawat bayi kecilku. Setiap hari aku sibuk menyusui dan menggendongnya. Tingkahnya yang lucu menggoda anganku untuk berkhayal tentang masa depan si mungil.

Walaupun pendidikan agamaku kurang, tetapi aku menginginkan anakku kelak besar nanti menjadi anak yang baik dan soleh. Ya, memang sudah menjadi standarisasi keinginan setiap orang tua menginginkan anaknya lebih baik dari dirinya.

Haripun berlalu mengiringi tumbuhnya si mungil. Cobaan mulai datang menghujani rumah tangga yang kami bina. Pas saat krismon dan musim PHK, suamiku termasuk orang yang terkena imbasnya. Aku mulai mengeluh dan si kecil perlahan aku abaikan. Seringkali aku lampiaskan kekesalan kepada putri kecilku. Sehingga tangisnya sering terdengar, bahkan tidak sedikit diantara kerabatku yang merasa kasihan melihat Indah menangis.

Beberapa saudaraku memberanikan diri untuk menegurku agar tidak keras terhadap putriku. Walaupun sudah aku coba, tetapi perasaan kesal terhadap anakku tetap saja muncul. Aku akui memang waktu itu aku kosong dari ilmu mendidik anak yang pernah dicontohkan Rasulullah. Aku tau Islam hanya masalah shalat, zakat, puasa, selebihnya aku sama dengan yang lain, terpasung sekulerisme.

Normal Kembali

Setelah beberapa waktu seiring dengan terbiasanya hidup dalam kondisi yang masih krisis, aku coba untuk menenangkan diri. Aku mulai mendengarkan saran-saran keluarga-keluarga dekatku untuk bersikap tenang dan tabah menghadapi kenyataan hidup ini. Aku mulai belajar lebih banyak tentang ilmu-ilmu Islam walaupun kupikir itu masih sangat jauh bagiku untuk bisa mengatasi masalah hidupku. Suamiku mulai kerja kembali walaupun tidak sebagus yang dulu. Beberapa saat aku merasa hidupku normal kembali hingga anak keduaku lahir.

Kesal Itu Kembali

Setelah Indah punya adik, rasa sayang yang harusnya aku bagi dua entah kenapa lebih aku curahkan pada anakku yang kedua. Malas rasanya, aku untuk memperhatikan putri pertamaku.

Indah semakin besar. Umur 3 tahun ia sering menangis. Bukan karena jatuh atau karena diejek oleh temannya, tetapi karena aku suka memarahinya bahkan terkadang memukulnya. Kadang Indah terliindungi ketika ada suamiku. Teganya diriku, bahkan orang yang mengetahui sikapku menganggap aku punya kelainan jiwa. Tapi bagiku itu bukan masalah, yang penting aku bisa puas! Naudzubillah.

Indah mulai masuk SD. Walaupun aku kesal, tapi keinginanku yang dulu sempat muncul di benakku untuk menjadikan dia anak yang soleh tetap ada. Maka, selain ke SD Indah kumasukkan juga ke TPA. Entah ada dorongan yang kuat dari dalam diriku untuk memasukkannya ke TPA.

Saat menginjak kelas 3 SD, anak ketigaku lahir. Kasih sayang yang kuberikan tidak beralih pada putra keduaku dan aku tambah untuk putra ketigaku. Tapi entah kenapa, untuk putri pertamaku, kasih sayang itu enggan muncul. Padahal harapan yang ingin aku capai ternyata perlahan Allah kabulkan. Walaupun masih kecil, tetapi pengetahuan agamanya sangat jauh di banding aku. Ia tumbuh menjadi gadis cantik dan pintar.

Hari Kelabu

Walaupun putriku hormat dan nurut kepada perintah orangtua, bahkan jika kuperintahkan apa saja, ia pasti melakukannya. Beberapa kali sempat aku mengerjainya. Aku menyuruhnya membeli suatu bumbu dapur ke warung. Biar masih kecil, Indah tidak mau lepas dari yang namanya kerudung. Maka setiap keluar rumah, ia pasti merapihkan diri dulu untuk menjaga auratnya, baru kemudian ia berangkat ke warung. Setelah tiba di rumah, ia melepaskan kerudungnya. Baru beberapa saat ia beristirahat, aku menyuruhya kembali ke warung untuk membeli bumbu dapur yang lain. Iapun berbenah kembali mengenakan kerudungnya. Hal itu aku lakukan beberapa kali, tetapi tidak sedikitpun nampak rasa kesal di raut wajahnya. Ia tetap sabar dan senang menuruti perintahku.Entah darimana sikap seperti itu ia dapatkan, tapi aku berfikir dan punya perasaan kalo semua itu ia dapatkan dari pendidikan di TPA-nya. Akupun mulai simpatik dan ingin mempelajari agama juga. selain karena aku ingin bisa hidup tenang, akupun ingin mencari solusi tentang jalan hidupku.

Perlahan aku mulai mempelajari Islam dan sedikit demi sedikit aku mulai tersentuh. Walaupun aku sudah mulai bisa bersikap bijak, tetapi dalam merawat dan membimbing anak aku akui masih jauh dari yang semestinya dilakukan.

Hingga suatu hari, saat Indah duduk di kelas 6 SD, ia jatuh sakit. Sempat beberapa kali ia muntah. Aku malah memarahinya, bahkan dalam kondisi dia yang sakit, aku malah menyuruhnya membersihkan bekas muntah dirinya. Mungkin karena takut, Indah ‘nggak mau cerita perihal sakitnya. Aku pun tidak sigap untuk segera membawanya ke rumah sakit. Kupikir hanya sakit yang biasa dialami semacam demam atau masuk angin.

Tiga hari kemudian, ketika aku sedang membuat kue, Indah ikut membantuku. Sebenarnya aku sudah melihat kondisinya sangat lemah setelah ia sakit tiga hari yang lalu. Mukanya pucat dan badannya dingin. Lalu aku tanya tentang sakitnya, Indah hanya tersenyum dan mengatakan “enggak koq, enggak apa-apa”. Aku agak tenang mendengarnya.

Namun, beberapa saat bagai kilat menyambar tanpa hujan, Indah terjatuh dari duduknya tanpa sebab. Aku panik dan segera memanggil suamiku. Lalu kami membawa Indah ke sebuah rumah sakit dan kami mendengar kabar Indah telah meninggalkan kami untuk selamanya. Innalillahi…

Aku menyesal sekali, karena aku merasa telah banyak melakukan kesalahan terhadap dirinya. Kini aku merasakan bahwa sesuatu yang kita miliki akan kita ketahui setelah kita kehilangan. Sungguh, aku mendapat pelajaran yang berarti dari takdir Allah ini. Kini aku akan menjaga sisa titipannya dengan memberikan pendidikan yang terbaik buat kedua putraku, adik-adiknya Indah. Aku berharap, semoga besar nanti mereka menjadi anak yang sholeh. [Seperti yang diceritakan Ibu Lia kepada Eftur]

[pernah dimuat di rubrik “kisahku”, Majalah PERMATA, edisi Februari 2004

6 thoughts on “Maafkan Aku Anakku

  1. Setiap peristiwa pasti telah dituliskan. Masa lalu, Masa depan, dan Masa Kini. Setiap perjalanan hidup, pasti ada kisah tersendiri yang terus hidup di jejak hati ini. Dalam mencapai tujuan akhir dari kehidupan sebenarnya.

  2. subhanallah, allahuakbar
    aq merinding mendengar cerita ini,
    benar sekali, “kita akan mengetahui apa yg kita miliki setelah kita kehilangan”.;.ku alami sendiri hal itu. kini setelah ia pergi, ku ingin dia kembali.

  3. hati seorang ibu pasti akan tergugah jika diingatkan satu cerita ini dari begitu banyaknya cerita serupa. Ya Allah, mudah2an aku bisa menjaga anak dan suamiku sesuai ajaran Mu dan kuatkan kami dalam menapaki jalanMu. Amin.

Comments are closed.