gaulislam edisi 253/tahun ke-5 (9 Syawwal 1433 H/ 27 Agustus 2012)
Rasa aman adalah dambaan semua orang. Dalam Islam, keamanan bukan cuma untuk kaum Muslimin, tapi bagi seluruh warga negara yang hidup di bawah naungan Islam meskipun ia nonMuslim. Wuih, keren banget ya?
Tetapi, kalo ngeliat kondisi sekarang, beeeuhhh rasa aman kian mahal aja. Beberapa waktu saya pernah datang ke sebuah sekolah. Ketika saya hendak menemui seorang guru dalam rangka ikut mendistribusikan edisi cetak buletin gaulislam, beliau sedang menerima tamu dua orang pria berambut cepak, berbadan tegap, dan dilihat dari rambut serta warna kulitnya saya menduga kedua orang itu berasal dari wilayah Indonesia bagian timur. Sambil menunggu saya sempat ngobrol dengan guru lain sebentar. Setelah itu, baru deh ngobrol dengan guru yang barusan nerima tamu. Tanpa diminta, beliau malah cerita bahwa kedua orang tadi menawarkan jasa keamanan buat sekolah namun ditolak. Ckckck.. kalo gitu ngapain ada aparat keamanan kalo tugas keamanan malah direcoki juga sama ‘preman’—yang tentu saja bayaran.
Bro en Sis rahimakumullah, siapa sih yang nggak pengen aman dalam hidupnya? Semua orang pasti mendambakan ketenangan, keamanan, dan kenyamanan dalam hidup. Berapa banyak rumah dibuat, lengkap dengan sistem keamanan antimaling, alarm dipasang di mana-mana. Masih nggak puas, ada satpam ‘ngejogrok’ di dekat pintu gerbang. Kalo di jalan, kita pun seneng banget kalo nggak ada yang malak or ngompas. Pernah lho, temen saya pas jalan di sebuah kawasan di Jakarta, ditodong dua orang preman. Karena teman saya memilih menyelamatkan nyawanya, akhirnya ia menyerahkan (sambil gondok tentunya), dompet beserta isinya berupa sejumlah duit dan kartu ATM. Duh, kasihan banget kan?
Kamu juga kayaknya dulu pernah denger deh kalo lagi jalan di Jakarta, terus berhenti di lampu merah, maka bagi kamu yang udah dapetin info tentang komplotan Kapak Merah, langsung ketar-ketir, khawatir kalo sampe jadi korban mereka. Kalo punya ponsel juga nggak bisa sembarangan menggunakan, bisa-bisa tuh ponsel melayang. Seorang teman punya cerita, ia melihat ada orang yang lagi nelpon pake ponsel di halte sebuah kawasan di Jakarta. Nggak lama, ada orang yang langsung ngerebut tuh ponsel, lalu diikuti beberapa orang yang langsung cabut naik bis kota. Aduh, nggak aman banget kan? Sori lho buat yang tinggal di Jakarta. Ini sekadar contoh aja. Sebab di Bogor pun ada. Sabtu (25/08/2012) saya ketemu penjaga di sebuah warnet yg pernah jadi langganan. Setelah saya tanya kok komputernya pada nggak ada, dia cerita bahwa 11 komputer di warnetnya ludes dijarah maling seminggu sebelum lebaran kemarin.
Sobat, itu sebabnya, kita kepengen banget dalam hidup tuh aman, baik di lingkungan tempat tinggal kita, maupun pas di jalan dalam perjalanan. Nah, Islam juga punya solusinya nih. Diatur juga gitu, lho. Ini sebagai bukti bahwa Islam memelihara rasa aman bagi warga negaranya.
Para perampok, waspadalah!
Hehehe.. bukan nantangin lho. Tetapi mau ngingetin. So, buat para perampok alias pembegal akan dihukum dalam Islam. Kedua istilah ini bermakna sama setidaknya kalo dilihat dalam kamus. Merampok artinya mencuri dengan paksa (biasanya dilakukan lebih dari satu orang); juga berarti merampas dengan kekerasan. Membegal bermakna merampas (barang orang lain) di jalan (silakan buka deh Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, cetakan III, 2003, hlm. 926 dan halaman 121).
Untuk melindungi harta dari kejahatan seperti ini, Islam udah memberikan aturan dan sanksi yang tegas. Imam Syâfi’iy meriwayatkan dalam musnad-nya dari Ibnu Abbas tentang pembegal or perampok (qutha’ ath-thariq), “Jika mereka membunuh dan merampas harta benda, mereka akan dibunuh dan disalib, dan jika mereka membunuh tetapi tidak merampas harta benda, mereka dibunuh saja namun tidak disalib, jika mereka mengambil harta benda tepi tidak membunuh, tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang, dan jika mereka menteror di jalan dan tidak merampas harta benda, usirlah mereka.” (silakan baca tulisannya Abdurrahman al-Maliki, dalam buku Sistem Sanksi dalam Islam, hlm. 117)
Oya, kayaknya kamu perlu tahu deh bahwa ada tiga syarat berupa fakta yang menyebutkan sebuah kasus bisa disebut sebagai pembegalan atau perampokan. Pertama, terjadi di luar kota. Yakni di desa, gunung, dataran luas, tanah luas, dan lain-lain. Serta terjadi di dalam kereta api, pesawat terbang, dan mobil di luar kota. Nah, kalo terjadi di kota, itu nggak termasuk qutha’ ath-thariq, namun hanyalah perampas. Akan tetapi jika mereka menyerang kota, membunuh, merampas harta benda atau menteror di jalan pada saat penyerangan mereka terhadap kota, maka mereka dianggap sebagai qutha’ ath-thariq.
Kedua, mereka membawa persenjataan untuk membunuh; seperti pedang, senapan, senapan otomatis, golok, atau pisau yang bisa membunuh, atau alat-alat lain yang bisa dipakai untuk membunuh. Jika mereka tidak membawa senjata, atau bersenjata namun tidak mematikan secara langsung; seperti tongkat, cemeti, dan lain-lain, maka mereka tidak dianggap sebagai qutha’ ath-thariq.
Ketiga, mereka datang secara terang-terangan, mengambil harta benda dengan cara paksa, dan menetap di tempat-tempat mereka. Iya, soalnya kalo mereka mengambil harta benda dengan cara sembunyi-sembunyi mereka disebut pencuri. Kalo mereka merampas harta benda kemudian melarikan diri, mereka disebut perampas.
Oya, kalo para pembegal or perampok ini bertobat sebelum ketangkep sama aparat keamanan negara Islam, maka gugurlah hudud Allah bagi mereka, namun mereka harus mengembalikan hak-hak manusia; baik jiwa, pelukaan, atau harta benda. Akan tetapi bila mereka dimaafkan, otomatis itupun had-nya gugur bagi mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt.:“kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Maidah [5]: 34)
Nah, kalo mereka bertaubat setelah penangkapan atas mereka maka tidak ada satupun hudûd yang gugur bagi mereka. Jadi tetep akan dihukum. Hal ini karena mengamalkan mafhum dari firman Allah Swt: “sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka” (QS al-Maidah [5]: 34)
Sobat muda muslim, kayaknya kalo diterapkan aturan dan sanksi seberat ini, para perampok atau yang berniat merampok mikir ulang sebelum menjalankan aksinya. Ngeri banget kan kalo sampe ketahuan?
Steril maksiat
Tempat-tempat maksiat seperti komplek pelacuran, perjudian (termasuk togel), diskotik, dan pusat penjualan miras adalah tempat-tempat yang bakalan diberangus oleh negara jika tetap nekat beroperasi. Karena, sangat boleh jadi nih tempat berpotensi jadi biang keonaran. Bisa aja kan? Bagi yang kalah judi misalnya, padahal ia udah abis-abisan duit, maka bukan mustahil kalo kemudian terjadi keributan dan bisa mengganggu warga sekitar. Akibatnya, masyarakat umumlah yang bakalan nggak merasa aman dan nyaman dengan kondisi seperti ini.
Sobat gaulislam, pernah lho di kampung saya (nun jauh dari kota, namanya juga kampung hehehe..) banyak warga yang merasa resah karena di lingkungannya ada seorang warga yang jualan miras alias minuman keras. Merasa nggak aman? Pertama, karena tempatnya berada di lingkungan warga. Jadi pasti merasa terganggu dong kalo para pemabuk itu beraksi. Iya, soalnya nggak jarang mereka yang mabuk ngoceh da ganggu orang sekitar, udah gitu suka muntah sembarangan (di pekarangan rumah warga lain), penjualnya nyetel musik kenceng-kenceng (termasuk malam hari). Waduh, kalo kayak gini, gimana mo nyaman hidup ya? Gimana mo memiliki rasa aman karena khawatir diganggu para pemabuk.
Meski para tokoh agama udah memperingatkan aksi kacaunya itu, yang bersangkutan pake prinsip: “Anjing menggonggong kafilah berlalu”. Waaaah… nggak sopan banget tuh tokoh agama dikacangin kayak gitu. Apa pasal dia berani melawan yang ngingetin? Ehm, karena dia udah ada kerjasama dengan salah seorang oknum polisi. Walah, nih aparat keamanan yang harusnya memberi rasa aman bagi seluruh warga, ternyata cuma memberi rasa aman kepada seorang warga, dan sudah berbuat salah pula. Karena apa? Karena mengamankan kesalahan. Bukan membela kebenaran. Kalo aparat keamanan kayak gini semua, ancur dah. Gimana mo aman dong hidup kita?
Jadi, selain karena tempat pelacuran, perjudian dan pusat penjualan miras (plus narkoba) adalah tempat maksiat, juga tempat itu bisa berpotensi memunculkan keonaran. Maka, negara akan menindak dengan tegas pengelolanya. Termasuk kalo miras dan narkoba yang akan dilakukan adalah dengan menutup pabriknya. Ini bagian dari upaya negara dalam memelihara rasa aman bagi warganya.
Coba deh kamu bandingin sekarang. Dalam naungan demokrasi sebagai mesin politik Kapitalisme yang berakidah sekularisme ini, kebebasan menjadi panglima. Orang bebas berbuat apa aja asalkan bukan kriminal. Ini teorinya, lho. Karena prakteknya, yang berbuat kriminal pun bisa tetep adem ayem aja karena aparat penegak hukumnya udah disumpal duluan ama duit jutaan rupiah. Sekadar fakta aja nih, para oknum aparat dan pejabat yang seharusnya menjebloskan para bandar judi ke bui, malah rela mengais rejeki haram dengan mengamankan usaha mereka. Untuk “jasanya” itu, bapak-bapak oknum aparat dan oknum pejabat bakal menerima uang setoran dari para raja judi. Bagi yang setorannya ‘kenceng’, dijamin aman usahanya. Kalo nggak nyetor, itu sih alamat bakal dikarungin! Meski akhirnya dilepas juga kalo udah ngasih sogokan. Ambil contoh, seorang bandar togel di Cimanggis, berinisial PA, ditangkap oleh Polda Metro karena bandar ini terkenal ‘bandel’, menolak memberikan setoran ke institusi keamanan Ibu Kota ini. Kecuali kepada keamanan setempat, seperti koramil, polsek, dan Babinsa. Namun, setelah membayar tebusan Rp 40 juta, bandar ini akhirnya dilepas.(Media Indonesia, 7 Maret 2002).
Ini memang data lama yang saya kutip, kemungkinan praktik itu masih ada sampe sekarang. Soalnya pernah juga tuh disindir di film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” yang dirilis 2010. Belum lama–tahun ini, ada cerita dari teman saya yang pernah jualan pulsa, di sebelah kiosnya ternyata ada orang jualan togel. Hadeuuh.. Terus temen saya bilang juga, bahwa ada oknum polisi yang suka masang togel di situ. *Tepok jidat!
Coba, gimana nggak mengkhawatirkan kondisi ini. Tapi anehnya, meski udah banyak yang jadi korban togel, pemerintah milih adem-ayem aja. Sebagian masyarakat yang teriak protes keras supaya pemerintah menutup bisnis haram ini, tapi rupanya protes itu dikacangin alias didiemin ama bapak-bapak pejabat dan aparat kita. Walah? Inilah demokrasi: Kejarlah Demokrasi, Kau Ketipu!
Kalo diberlakukan syariat Islam, insya Allah akan aman deh. Sekadar contoh aja, di NAD meski syariat cuma diberlakukan parsial, tapi cukup bikin jera. Ketua Forum Masyarakat Berantas Judi Buntut-Togel di NAD, Tarmizi HA Hamid H, menuturkan bahwa sebelum hukum cambuk diberlakukan, Bireuen adalah satu daerah di Aceh yang perjudiannya cukup marak. Omzet judi buntut-togel, setiap harinya rata-rata mencapai Rp 110 juta. Setelah diberlakukan syariat Islam, perjudian berkurang antara 70 sampai 80 persen.(Eramuslim, 28/07/2005)
Harap dicatet tuh Bro en Sis pembaca setia gaulislam, bahwa dengan penerapan yang parsial aja, bisa mengurangi bahkan sangat boleh jadi menghilangkan maksiat sama sekali. Ini baru parsial lho alias lokalan gitu, apalagi kalo diterapkan dalam bingkai Khilafah Islamiyyah yang besar. Mendunia. Dan seharusnya memang bukan parsial. Insya Allah lebih oke lagi.
Islam memberi rasa aman
Sebagaimana semboyan polisi di kita: “Melindungi, Melayani”, maka seharusnya memang ditujukan untuk melindungi rakyat dan melayani rakyat yang memerlukan keadilan. Bukan melindungi dan melayani mereka yang punya usaha haram. Tul nggak sih?
Rasulullah saw. sebagai Rasul dan sekaligus kepala negara, memperhatikan betul rasa aman bagi warganya. Itu sebabnya, untuk menjaga keamanan masyarakat beliau membentuk semacam polisi kota (Syurthah). Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Anas yang mengatakan: “Bahwa Qais bin Sa’ad, ketika itu sedang berada di dekat Nabi saw. dalam posisinya sebagai anggota kesatuan polisi”
Kesatuan polisi diberi tugas untuk menjaga sistem dan mengatur keamanan dalam negeri, serta melaksanakan semua kegiatan yang bersifat operasional. Kesatuan inilah yang setiap malam berkeliling untuk mengawasi pencuri, orang-orang jahat serta mereka yang dicurigai melakukan tindak kejahatan.
Oya, sekadar tahu aja bahwa Abdullah bin Mas’ud adalah komandan patroli pada masa Khalifah Abu Bakar. Bahkan Umar bin Khaththab melakukan patroli sendiri dan kadang-kadang minta ditemani oleh pembantunya, beliau juga kadang minta ditemani Abdurrahman bin ‘Auf. Dan, tentu saja ini adalah tugas negara, bukan tugas rakyat.(Lebih lengkap silakan baca Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Penerbit al-Izzah, 2002, hlm. 188-190)
Kesiagaan polisi dalam mengamankan juga berlaku bagi seluruh warga negara Daulah Islamiyah. Jadi, bukan cuma yang muslim aja, tapi nonmuslim juga dijaga. Tuh, gimana nggak hebatnya Islam. Karena manusia tuh butuh rasa aman. Inilah salah satu bentuk kepedulian Islam dalam menghargai manusia.
Bandingkan dengan sistem hukum pada negara-negara demokrasi dan penganut sistem hukum Barat yang tidak tegas terhadap para pengganggu keamanan masyarakat. Akibatnya, para residivis bisa menjadi raja preman di luar penjara. Bahkan, udah sangat masyhur bahwa mafia dan kelompok gangster justru memiliki hubungan “persahabatan” dengan polisi sehingga keberadaan perampok, penjahat, preman jalanan, dan berbagai mafia kejahatan tetap eksis di seluruh dunia. Oya, di negeri kita juga udah sering terjadi sehingga menjadi rahasia umum. Ada oknum hakim or oknum jaksa yang bisa jual-beli hukum. Membebaskan yang seharusnya dihukum, dan membui yang tak bersalah karena bayarannya kurang. Iya kan? Rasa-rasanya kamu udah pada tahu juga kasus-kasus korupsi kan? Pelaku bisa negosiasi dengan okunum hakim, oknum jaksa, or oknum polisi, yang penting: “Wani Piro?” Iya kan? Jleb! [Solihin | Twitter: @osolihin]