Thursday, 21 November 2024, 21:37
marahilustrasi

gaulislam edisi 830/tahun ke-16 (3 Rabiul Awwal 1445 H/ 18 September 2023)

Kamu pasti pernah marah, ya. Eh, atau malah sering banget marah? Banting barang juga saat marah? Kalo kamu lagi jualan, daripada banting barang, mending banting harga alias ngasih diskon sama pembeli, pasti mereka suka.

Oya, umumnya orang yang sedang marah memang bisa lepas kendali. Merasa puas ketika membanting barang atau memukul sesuatu (apa pun itu) sebagai bentuk dari penyaluran rasa marahnya. Padahal, begitu marahnya reda bukan tak mungkin dia menyesal. Apalagi ternyata yang dibanting adalah smartphone andalannya, atau yang dipukul ternyata tembok kamarnya. Dan, ternyata yang retak bukan hanya temboknya, tetapi juga tulang jari tangannya. Begitulah kalo marah tak dikendalikan.

Marah model gini tentu bikin rugi, bukan saja merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan orang lain. Coba deh kalo ternyata barang yang kamu banting saat kamu marah adalah barang milik temanmu, ya berarti kamu kudu menggantinya. Enak aja kalo cuma minta maaf. Itu sebabnya, kalo lagi marah jangan lepas kendali. Kudu ditahan, kudu diredam. Sebab, marah bisa bikin kamu jadi salah. Serba salah.

Meski banyak orang yang sepertinya suka banget marah-marah, kamu jangan ikut-ikutan. Apalagi kemarahannya gara-gara urusan sepele. Kesenggol marah, sehingga ada istilah senggol bacok. Kakinya nggak sengaja keinjek gajah, eh, keinjek kaki temannya, marah juga sampe ngajak duel. Nggak kebagian nasi, langsung ngamuk-ngamuk. Sumbu pendek. Emang nggak bisa diselesaikan dengan cara lisan? Kepala dingin, Bro en Sis.

Begitulah secara umum. Banyak orang, termasuk remaja yang kalo marah nggak terkendali, ngerusak barang, baik punya sendiri maupun punya orang lain. Dia menyangka dengan melakukan pelampiasan terhadap benda yang menjadi sasaran kemarahannya akan menyelesaikan masalah. Nyatanya nggak, kan? Cuma puas di awal doang, udah gitu harus menerima kenyataan bahwa ada benda-benda yang rusak.

Oya, gimana dengan judul di edisi kali ini bahwa marah tak selalu salah? Begini, jadi secara fakta itu ada marah yang memang salah dan perlu dihindari dan ada marah yang memang harus ditunjukkan. Nah, baca sampe abis tulisan ini ya, supaya kagak gagal paham.

 

Marah tercela, marah terpuji

Sobat gaulislam, marah itu ada alasannya. Seseorang yang marah itu pasti punya alasan. Mengapa dia marah, untuk hal apa dia marah. Itu sebabnya, dalam Islam kemarahan terbagi menjadi dua, yakni marah tercela, dan marah yang terpuji. Jadi ada yang memang nggak boleh marah, tetapi ada juga yang memang seharusnya marah. Ada marah yang buruk, dan ada marah yang baik. Intinya, ada marah karena urusan pribadi dan dunia semata, dan marah karena Allah Ta’ala. Walau secara umum, marah itu dipandang sebagai sebuah keburukan, atau kesalahan. Sehingga ada larangan nggak boleh marah.

Nah, bagi kita, kaum muslimin, mestinya udah paham betul bahwa kemarahan yang tak terkendali bisa bikin rugi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku wasiat.” Beliau menjawab, “Janganlah engkau marah.” Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (selalu) menjawab, “Janganlah engkau marah.” (HR Bukhari, no. 6116)

Mengapa nggak boleh marah sampai kebablasan? Sebab bikin rugi. Marah tak terkendali itu, seperti yang udah ditulis di awal pembahasan, bakalan bikin rugi bagi diri sendiri dan juga orang lain. Sebab, bukan tak mungkin orang yang marahnya udah di ubun-ubun bakalan memukul, menendang, bahkan membunuh. Waspadalah!

Itu sebabnya, jangan melampiaskan kemarahan. Sebaliknya kendalikan diri, tahan dan sabar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran [3]: 133-134)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kebaikan kepada orang yang bisa menahan amarahnya. Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapakah yang kamu anggap sebagai shura’ah (orang kuat, jago gulat, orang yang banyak membanting orang lain)?” Kami menjawab,“Seseorang yang tidak dapat dijatuhkan oleh orang lain.” Beliau bersabda,“Bukan itu, tetapi shura’ah yaitu orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah.” (HR Muslim no. 2608)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjanjikan bidadari bagi yang bisa menahan amarahnya. Sabda beliau (yang artinya), “Barang siapa menahan kemarahan, padahal mampu melampiaskannya, niscaya pada hari kiamat Allah ‘Azza Wa Jalla akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, sehingga Allah memberinya hak memilih di antara bidadari surga yang dia kehendaki.” (HR Abu Dawud no. 4777, Tirmidzi no. 2021, Ibnu Majah no. 4186 dan Ahmad III/440)

Sirri as-Saqathi rahimahullah berkata, “Ada tiga hal yang apabila seluruhnya terdapat pada seseorang, dia telah menyempurnakan keimanannya: 1) Jika ia marah, amarahnya tidak mengeluarkan dirinya dari kebenaran; 2) Jika ia ridha, keridhaannya tidak mengantarkannya menuju kebatilan; 3) Jika ia berkuasa, dia tidak mengambil apa yang bukan miliknya.” (dalam Shifatush Shafwah hlm. 365)

Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Siapa yang memiliki empat sifat ini, Allah akan mengharamkannya dari neraka dan melindunginya dari setan, yaitu bisa menguasai diri: 1) saat menginginkan (sesuatu);  2) ketika membenci (sesuatu); 3) saat bangkit syahwatnya; dan 4) ketika marah.” (dalam Hilyatul Aulia, jilid 2, hlm. 153)

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Rukun kekufuran ada empat: sombong, hasad, marah, dan syahwat. Sombong itu mencegah seseorang untuk tunduk. Hasad itu mencegah seseorang untuk menerima nasihat dan melaksanakannya. Marah itu mencegah seseorang untuk bersikap adil. Syahwat itu mencegah seseorang dari menyibukkan (diri) untuk melakukan ibadah.”

Beliau melanjutkan, “Apabila seseorang (mampu) menghancurkan rukun kesombongan, maka akan mudah baginya tunduk (kepada kebenaran). Apabila seseorang menghancurkan rukun hasad, maka akan mudah baginya untuk menerima nasihat dan melaksanakannya. Apabila seseorang menghancurkan rukun marah, maka akan mudah baginya bersikap adil dan tawadhu’ (rendah hati). Apabila seseorang menghancurkan rukun syahwat, maka akan mudah baginya bersabar, menjaga kehormatan, dan melakukan ibadah.” (dalam al-Fawaid, hlm. 168)

Nah, penjelasan ini adalah pengendalian diri untuk marah yang tercela. Jadi, jangan dilampiaskan. Harus dikendalikan.

Lalu seperti apa marah yang terpuji? Menurut para ulama, marah yang terpuji adalah kemarahan karena Allah, karena al-haq, dan untuk membela agama-Nya. Khususnya ketika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman, dan menghilangkan panas hati orang-orang mukmin.” (QS at-Taubah [9]: 14-15)

Jika kita telah mengetahui hal di atas, maka hendaklah kita tahu bahwa begitulah keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu beliau tidaklah membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya, tetapi beliau membalas dengan hukuman jika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan tangannya, juga tidak pernah memukul wanita (istri), dan tidak pernah memukul seorang pembantu. Beliau memukul jika berjihad di jalan Allah. Dan tidaklah beliau disakiti dengan sesuatu sama sekali, lalu beliau membalas terhadap pelakunya. Kecuali jika ada sesuatu di antara perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan membalas dengan hukuman karena Allah ‘Azza Wa Jalla.” (HR Muslim no. 2328, Abu Dawud no, 4786, dan Ibnu Majah no. 1984)

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah (dalam Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam I/369, Tahqiq Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bajis) berkata, “Kewajiban atas seorang mukmin (yaitu) agar syahwatnya (kesenangannya) terbatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah baginya. Hendaklah meraih syahwat yang dibolehkan tersebut dengan niat yang baik, sehingga mendapatkan pahala. Dan hendaknya kemarahan seorang mukmin itu untuk menolak gangguan dalam agama yang menimpanya atau menimpa orang lain dan untuk menghukum orang-orang yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sobat gaulislam, jadi intinya nih. Kalo kamu marah cuma karena persoalan pribadi dan urusan dunia yang memang sepele (jika dibandingkan akhirat), maka kemarahanmu kudu dikendalikan, nggak layak marah. Duit ilang, ada orang nggak sengaja nyenggol kamu, atau barangmu rusak gara-gara dipinjem temanmu. Sebelum marah, tanya baik-baik penyebabnya, dan cari solusi agar temanmu bertanggung jawab. Jangan langsung marah.

Namun, kalo urusan atau perkara agama, perkara kaum muslimin yang ditindas oleh orang-orang kafir, kita wajib marah. Sebab, dalam perkara ini adalah kemarahan yang terpuji. Kudu marah. Kalo agama Islam dihina dan kaum muslimin dinistakan, kita mestinya marah dan wajib membela.

Al-‘Allamah Hamad ibn Atiq rahimahullah berkata, “Seandainya seseorang banyak berpuasa di siang hari dan banyak mengerjakan shalat malam serta zuhud terhadap dunia semuanya, namun bersamaan itu dia tidak marah, tidak berubah wajahnya dan tidak memerah karena Allah, lalu dia tidak menyuruh yang ma’ruf dan tidak pula melarang kemungkaran, maka orang semacam ini termasuk orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling rendah agamanya, dan para pelaku dosa-dosa besar lebih baik keadaannya di sisi Allah dibandingkan orang semacam ini. (dalam ad-Durarus-Saniyyah, jilid 8 hlm. 78)

Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Orang yang dungu marah terhadap kebenaran, sedangkan orang yang berakal marah terhadap kebatilan.” (dalam Bahjatul Majalis, hlm. 584)

Buya Hamka rahimahullah juga berpesan, “Jika diam saat agamamu dihina maka gantilah bajumu dengan kain kafan.”

Jadi, memang dalam perkara dunia dan pribadi kita kudu mengendalikan rasa marah. Namun, dalam perkara agama, kita malah wajib marah jika ada orang yang melanggar syariat, atau yang menghina agama dan mencela kaum muslimin. Sebab, marah dalam perkara agama adalah marah karena Allah Ta’ala. Itu sebabnya, marah tak selalu salah, dilihat dulu konteksnya. [O. Solihin | IG @osolihin]