Friday, 22 November 2024, 00:14

CERITA/September/2008

By: Nafiisah FB

Malam telah menyambangi makhluk bumi yang sebagian telah terlelap dalam segala penat. Sebagian yang lain masih berjuang menaklukkan dingin untuk bisa tetap merasakan hidup.

Sunyi. Daerah padat penduduk itu tampak lengang. Hanya tampak beberapa rumah sederhana yang masih menyisakan cahaya. Rumah Mbok Mar salah satunya.

Di sudut ruang tamu yang merangkap kamar, jika ada yang tidak enak hati untuk menyebutnya sebagai gudang, tampak wanita tua dengan uban yang telah merata di kepala duduk terpekur di dipannya. Dia? menjahit … menambal sebuah kain kusam. Dialah Mbok Mar.

Malam yang semakin larut tidak membuat Mbok Mbar surut. Dua tangan keriputnya terus menelusurkan benang pada kain. Dua yang telah ditambal. Tinggal sehelai lagi yang terlihat agak baru, paling tidak jika dibandingkan dengan dua kain sebelumnya.

Sesekali ia memandang sebuah foto lusuh ukuran 3R yang ditempel seadanya di dinding bilik samping dipan. Sebuah foto Ka’bah dengan lautan manusia di sekelilingnya. Juragan Pintono yang memberikannya lima belas tahun yang lalu ketika Mbok Mar masih menjadi pembantu di rumah besar itu. Sesekali ia tampak menghela nafas, mengusir sebuah kegalauan.

oooOooo

“Mbok Mar, saya sama sekali nggak nyangka Mbok Mar bisa berbuat sejahat ini sama saya!”

“Tapi, bukan saya yang mengambilnya, Non. Sungguh!”

“Terus, siapa dong?! Yang biasa keluar-masuk kamar saya. Yang dipercaya pegang kunci duplikat rumah ini termasuk kamar ini, kan, Mbok Mar!”

“Non Intan, masa’ Non tega menuduh Mbok seperti itu? Mbok kan sudah lama mengabdi kepada keluarga ini sejak Non Intan masih bayi. Mbok sudah menganggap Non Intan seperti cucu Mbok sendiri. Mbok sayang sama Non. Mbok tidak akan tega!”

“Jaman sekarang mana ada sih orang yang nggak ngiler ngeliat perhiasan emas berkilauan di depan matanya?!? Mbok kan bukan manusia suci. Udah deh Mbok! Mbok lebih baik ngaku aja. Mbok nggak akan dipecat. Paling gaji Mbok aja yang dikurangi.”

“Saya mau ngaku apa, Non? Saya tidak bersalah. Bukan saya yang mengambilnya.”

“Ah! Maling mana ada yang mau ngaku! Terserah Mbok! Jangan salahkan saya kalau nanti Papa mengeluarkan Mbok dari rumah ini!”

Gadis muda yang dipanggil Intan itu berjalan keluar dengan amarah. Dia menarik pintu dari luar. Brak!

Mbok Mar tergelagap. Jendela kayu yang terbanting angin membangunkannya dari sebuah ingatan masa lalu.

“Astaghfirullah.”

Mbok Mar cepat menghampiri jendela dan menutupnya. Kain terakhir baru setengah jalan dijahit. Mbok Mar tidak menyelesaikannya. Dia merapikan kain-kain itu dan diletakkan di dalam sebuah lemari plastik yang telah berlubang sana-sini.

Mbok Mar merebahkan badan. Ia pun terlelap dalam keheningan, dalam kegalauan.

oooOooo

Suara kokok ayam saling bersahutan. Suara adzan Subuh baru setengah jam lalu meredup dari pendengaran.

Hari telah berganti. Suara-suara derap gerak anak manusia memperjuangkan nafasnya telah kembali.

Tok! Tok!

“Assalamu’alaikum! Mbok Mar! Mbok!”

Terdengar suara cempreng bocah laki-laki. Di dalam rumah Mbok Mar tampak masih menyelesaikan rakaat yang terakhir.

“Assalamu’alaikum! Mbok! Ini Surya!”

Mbok Mar turun perlahan dari dipan. Dia tanpa membuka mukena tergesa menuju pintu.

“Assalamu’alaikum!”

Mbok Mar membuka pintu. Seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahunan telah berdiri menantinya.

“Wa’alaikum salam. Masuk, Sur.”

“Kok, lama banget sih Mbok?” protes Surya.

“Maaf. Mbok telat bangun.”

Mbok Mar membuka mukenanya. “Kamu sudah sholat, Le?”

“Udah, dong, Mbok. Surya bisa bawa gorengannya sekarang? Surya takut nanti mbak-mbak di konveksi keburu masuk.”

Mbok Mar membetulkan jarik-nya sambil melihat ke arah jam dinding tua dan langsung menuju dapur. Surya mengikuti.

“Ini. Cuma singkong. Nggak apa-apa, ya, Sur. Maafin, Mbok. Insya Allah besok Mbok nggak telat lagi dan jualanmu bisa lengkap.”

“Nggak apa-apa, Mbok.”

Surya mengangkat tampah dengan puluhan potong singkong goreng di atasnya.

“Surya berangkat, Mbok. Assalamu’alaikum.”

“Hati-hati. Wa’alaikum salam.”

Mbok Mar mengantar Surya sampai pintu. Mata sendunya mengikuti langkah-langkah Surya sampai hilang di belokan gang. Ada doa yang dilantunkan dalam hati.

oooOooo

Matahari semakin tinggi. Mbok Mar bersiap meninggalkan rumah. Dia meraih keranjang plastik hijau yang tergantung di bilik dapur.

Tok! Tok!

Mbok Mar membuka pintu dapur. Aroma pagi khas kompleks perumahan BSD alias Bantaran Sungai Damai semakin terasa.

“Eh, Tin. Ada apa?”

“Mbok, mau ke pasar kan?? Entin boleh henteu nitip jengkol?”

Entin, ibu muda berkulit sawo matang dan berkacamata tebal itu bertanya penuh harap.

“Nitip jengkol?”? tanya Mbok Mar memperjelas.

“Iya. Abahnya anak-anak minta dimasakin semur jengkol. Kangen katanya.”

Entin menurunkan bak cuciannya dan meraih kantung dasternya. Dia mengeluarkan selembar uang lima ribuan.

“Entin teh henteu sempet ke pasar. Cucian dua minggu numpuk, Mbok!”

“Mbok Mar! Tumben siang baru nongol?!” teriak seorang ibu yang sedang memandikan anaknya di pemandian umum.

“Iya, Mama Defri. Bangunnya telat!” sahut Mbok Mar.

Atos, Mbok. Itu aja.”? Entin mengembalikan perhatian Mbok Mar kepada dirinya.

“Udah? Bener nggak nitip yang lain?”

“Nggak. Nuhun ya Mbok.”

Mbok Mar mengangguk pelan.

Entin meninggalkan Mbok Mar, turun menuju pemandian umum. Mbok Mar menutup pintu dapur dan pergi. [Bersambung]

Catatan:

Henteu: tidak (bahasa Sunda)