Friday, 22 November 2024, 21:06

Umat Islam saat ini bagaikan buih di lautan yang terombang-ambing gelombang. Siap dimangsa kapan saja dan di mana saja oleh musuh-musuhnya. Meski banyak, namun nggak ubahnya gerombolan domba yang siap saja ketika harus digiring ke tempat penjagalan. Rentetan kisah tragis tengah terjadi di dunia Islam. Pembataian kaum muslimin di Palestina, Afghanistan, Irak, Kashmir, dan negeri-negeri lainnya, membuktikan ternyata kita nggak mampu meredamnya sedikit pun. Darah dan air mata kaum muslimin begitu saja ditumpahkan, tanpa ada perlawanan berarti dari kaum muslimin yang lain. Menyedihkan memang.

Sobat muda muslim, dikisahkan ketika terjadi penyerbuan tentara Tartar dari Mongolia. Betapa konyol dan pasrahnya kaum muslimin saat itu, digambarkan oleh ahli sejarah, seorang tentara Tartar yang menemukan tempat persembunyian kaum muslimin (lelaki, wanita dan anak-anak). Ia berkata: “Sayang sekali, aku tidak membawa senjata untuk membunuh kalian. Awas, jangan bergerak. Tunggu sampai aku kembali membawa pedangku.�

Nggak lama kemudian ia kembali dengan membawa pedangnya dan menjagal satu persatu kaum muslimin tersebut. Nggak ada sedikit pun usaha kaum muslimin untuk meninggalkan tempat itu, misalnya dengan melarikan diri. Menyedihkan! (lebih rinci tentang kekejian dan kejahatan pasukan Tartar dalam buku al-Bidayah wan Nihayah, oleh Ibnu Kathir jilid 13, Hal. 83-88 dan buku Al Kamil fit Tarikh, oleh Ibnul Athir, jilid 9, hlm. 329-386).

Sobat muda muslim, para penguasa negeri-negeri kaum muslimin nggak kuasa menghadapi berbagai intimidasi yang berujung kepada penyerahan diri secara menghinakan. Benturan-benturan ekonomi, politik, sosial bahkan hukum dan pemerintahan, telah mengantarkan mereka kepada penghambaan terhadap bangsa-bangsa Barat yang kufur dan jelas-jelas memerangi Islam dan kaum muslimin.

Berbagai tekanan yang dilancarkan bangsa-bangsa kafir barat terhadap Islam dan kaum muslimin juga tengah mengancam kehidupan remaja. Generasi yang seharusnya menjadi tulang punggung kebangkitan Islam, ternyata malah menjadi mesin penghancur peradaban Islam itu sendiri.

Gimana nggak, mereka malah menjadi pelaku aktif berbagai kemaksiatan. Dari mulai pergaulan bebas, narkotika, sampai tindak kriminal. Celakanya, ternyata tindakan mereka hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian kaum muslimin yang lain, dan nggak ada perlakuan untuk mencegah mereka berbuat lebih jauh. Nggak ada political will (kemauan politik) dari pihak penguasa untuk meredam aksi-aksi sesat mereka. Mengerikan sekaligus menyedihkan!

Sobat muda muslim, malah nggak sedikit teman kita yang nyontek abis gaya hidup idolanya dari Barat. Saking kagetnya mengikuti gaya hidup pujaannya ia secara suka rela akan menukarnya dengan harga diri. Nggak jarang, hanya karena ingin dianggap nyentrik, dan kebetulan ia gandrung dengan figur gerombolan F4 misalnya, lalu segala hal yang berhubungan dengan seleb tersebut diikutinya. Dari mulai aksesoris yang biasa dikenakannya sampai bagaimana ia berperilaku. Semuanya diikuti dengan telaten. Setiap perkembangan tentang figurnya itu ia akan senantiasa memantaunya.

Sobat, ini akan terus berlangsung selama kita tetap menganggapnya bukan ancaman. Kemunduran itu akan semakin berakibat fatal bila kita malah menjadi pisau penikam diri kita sendiri. Karenanya, nggak ada jalan lain kecuali harus bangkit.

Dari mana kita bangkit?
Kemunduran umat ini lebih disebabkan dari merosotnya taraf berpikir. Karenanya, langkah bijaksana tentu saja adalah berupaya bagaimana meningkatkan kembali taraf berpikir umat Islam ini. Berusaha memberikan gambaran yang jelas tentang pentingnya Islam bagi kehidupan kaum muslimin.

Selain berawal dari individu dalam upaya menyadarkan pemikiran umat ini, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana upaya kita menyadarkan masyarakat, yang memang merupakan komponen yang sangat menentukan dalam terciptanya sebuah kehidupan yang global.

Saat ini, sangat disayangkan, meski kaum muslimin hidup “rukun�, berkelompok, dan senantiasa dalam kesehariannya tampak akrab, namun sebenarnya nggak demikian. Bahaya keruntuhan tetap mengancamnya. Karena mereka pada hakikatnya nggak memiliki kesatuan dalam pikiran, perasaan dan aturan hidup yang menaunginya. Ibarat sebuah penumpang bis, masyarakat Islam saat ini hanya berkumpul, sementara hati dan otak mereka beragam. Buktinya ketika ada kemaksiatan yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat, anggota masyarakat lain nggak berusaha mencegahnya karena nggak memiliki kesatuan perasaan dan pikiran dalam menilai perbuatan tersebut. Pikirnya, napsi-napsi deh. Gaswat!

Nggak diragukan lagi bahwa pemikiran adalah senjata utama bagi setiap umat. Mereka akan bangkit bila pemikirannya maju, hidup, dan bersemangat. Mereka mundur bila pemikirannya?  surut apalagi lenyap. Keberadaan suatu umat akan lestari kalau obor pemikiran terus menyala, dan musnahnya umat disebabkan karena obor pemikirannya padam.

Para sahabat, kaum muslimin generasi dan angkatan pertama, menyadari kenyataan ini. Mereka berkata: “Cahaya dan sinar iman adalah banyak berpikir.� (dalam kitab Ad-Durrul Mantsur, jilid II, hlm. 409).

Jadi jelas dong, bahwa kebangkitan taraf berpikir akan mampu menumbuhkan kebangkitan di bidang lain. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas, bahwa kejayaan Islam di masa lalu telah melahirkan ribuan mujtahid dan sekaligus cendikiawan muslim yang handal. Kemajuan Islam di bidang kedokteran, kimia, matematika, fisika, dan teknologi tinggi lainnya berhasil diwujudkan dari taraf dan pola pikir yang tinggi. Tercatat nama-nama seperti Ibnus Sina, Jabbir Ibnul Hayan, al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Karena mustahil, kemajuan tersebut dicapai dari pola pikir yang lemah dan taraf berpikir yang bobrok.

BTW, berpikir yang bagaimana yang bisa membangkitkan umat? Berpikir politis! Inilah yang jarang dilakukan oleh kaum muslimin saat ini. Karena mengira bahwa politik harus dijauhkan dari arena kehidupan. Politik adalah najis. Begitu kata sebagian umat ini, karena terlanjur menelan ide dari peradaban barat yang rusak. Ini pula yang kemudian semakin memperparah keadaan kaum muslimin. Padalah berpikir politis akan mampu membangkitkan kaum muslimin dari keterpurukan.

Nah, ngomong-ngomong tentang peran politik dalam Islam berarti kita tengah berbicara tentang diri kita sebagai bagian dari masyarakat. Dalam kehidupan Islam, peran yang bisa kita mainkan; pertama, adalah peran langsung sebagai birokrat dalam daulah Islam sejak jabatan yang tertinggi hingga terendah. Dipegang dengan penuh amanah agar pemerintahan Islam dapat berjalan dengan sebaik-baiknya dan hukum Islam berjalan dengan sempurna. Begitu Sobat. Sekarang, kamu tambah wawasan deh.

Peran kedua yang mungkin kita ambil adalah peran secara nggak langsung. Maksudnya, kita nggak terjun secara langsung dalam politik praktis, melainkan sebatas berperan sebagai social control atau melakukan muhasabah?  (koreksi) atas penyelenggaraan pemerintahan agar tetap dalam rel Islam. Peran semacam ini nggak kalah penting dan menantangnya. Bahkan dalam banyak hal nggak bisa dipandang remeh. Jika sampai tewas karenanya, Rasulullah mendudukkannya sama sederajat dengan para syuhada.

Peran ketiga yang bisa kita ambil di bidang politik adalah peran aktif. But, di saat kehidupan Islam belum terbentuk, yang dapat, bahkan wajib, kita lakukan adalah kesertaannya dalam perjuangan menegakkan kehidupan Islam itu sendiri melalui dakwah siyasiyah (dakwah secara politis). Maksudnya, kita berupaya menyadarkan umat lewat berbagai cara dan upaya, kemudian mendorongnya untuk bersama-sama menegakkan kehidupan Islam dibawah daulah Khilafah. Fase perjuangan menegakkan kehidupan Islam dijalani Rasulullah dengan gigih ditengah hambatan dan gangguan yang makin besar. Pada masa sekarang, dimana kehidupan Islam nggak terujud, peran politik ketiga inilah yang layak untuk kita ambil.

Tanggung jawab siapa?
Kalau ditanya siapa yang harus bertanggung jawab, tentu saja kita. Ya, kita semua. Remaja Islam??  Betul, termasuk remaja Islam. Itu sebabnya, kita dituntut untuk menyelesaikan masalah demi masalah yang terus memburu kita tanpa ampun. Sebagian dari kita bahkan sudah jadi korbannya. Jadi, nggak ada cara lain kecuali membereskannya. Bisa dimulai dengan:

Pertama, menghapuskan kebiasan berpikir dangkal setiap individu dengan cara mendidik, membina dan mengarahkan taraf berpikirnya menjadi pemikiran yang maju dan produktif. Kedua, memperbanyak pengalaman kaum muslimin dengan cara melakukan berbagai analisis terhadap kenyataan (peristiwa) yang terjadi pada berbagai situasi dan kondisi, misalnya analisis di bidang ekonomi, politik, sejarah budaya, pendidikan, perbandingan agama dan kepercayaan (semisal kristologi dan kebatinan dsb). Ketiga, mengajak umat untuk mengikuti perkembangan masyarakat, negara dan dunia. Harus itu! Catet yo…!

Sobat muda muslim, itu semua kita lakukan dalam aktivitas yang disebut sebagai dakwah. Dakwah sebagaimana halnya ibadah lainnya, adalah sebuah keutamaan yang juga merupakan kewajiban yang mempunyai nilai tinggi di hadapan Allah. Seiring dengan keutamaan dan kewajiban, juga dakwah adalah aktivitas ibadah yang mengandung risiko yang nggak ringan. Ujian dan fitnah dalam dakwah kerap mendera para pengemban dakwah. Rasulullah saw dan para sahabat dalam mengarungi arena dakwah ini senantiasa menghadapi berbagai tekanan, baik fisik maupun mental dari para pemuka Quraisy saat itu. Namun Rasulullah dengan penuh kesabaran dan keberanian mengimbangi gelombang tekanan para pemuka Quraisy yang menyekutukan Allah.

Rasulullah bersabda, “Penghulu para syuhada adalah Hamzah, serta orang yang berdiri di hadapan seorang penguasa yang dzalim, lalu memerintahkannya (berbuat makruf) dan mencegahnya (berbuat munkar). Lalu penguasa itu membunuhnya.� (HR. Hakim dari Jabir).

Semangat yang sekarang ini hilang dalam diri kaum muslimin justeru adalah semangat dalam berdakwah. Kita menjadi penakut dalam menyerukan kebenaran. Terlalu khawatir dengan risiko yang bakal diterima sebagai konsekuensi dari melaksanakan dakwah.

Dakwah memang membutuhkan pengorbanan yang nggak sedikit, baik waktu, tenaga, harta, bahkan jiwa kita sendiri. Namun, bila kita yakin dengan keutamaan dakwah yang mulia, juga karena dakwah adalah kewajiban, maka penderitaan dan pengorbanan itu akan menjadi kenikmatan tersendiri. Semua itu akan dihargai oleh Allah dengan pahala yang besar. Kita akan tetap bersemangat dan sabar menghadapi risiko, karena keberlangsungan kehidupan umat ini merupakan tanggungjawab kita. Kalau bukan kita, siapa lagi? Karena kita nggak pernah tega menyaksikan saudara-saudara kita dihina bahkan dibantai tanpa ampun. Iya kan?

Sehingga adalah sebuah kewajaran bila kemudian Islam bangkit dan kembali memimpin dunia ini, bahkan nggak mustahil pula bila kelak menjadi negara adidaya (super power) yang bakal menciptakan kedamaian dan ketentraman. Maju di segala bidang dan dilandasi dengan akidah Islam yang mantap. Mari kita �membangunkan’ Islam yang menjadi sang �raksasa’ itu. Islam yang diterapkan sebagai ideologi negara. Kita udah bosan menjalani hidup di alam kapitalisme, bayangkan, 79 tahun sejak Khilafah Islamiyyah runtuh 3 Maret 1924 lalu di Turki.

Jadi tunggu apalagi, umat ini membutuhkan orang-orang yang ikhlas dan berani dalam membimbing dan membina kaum muslimin untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Yakin deh, bahwa kebangkitan Islam dan kaum muslimin ini akan segera kita raih, asal ada kemauan untuk memperjuangkannya. Tentu dengan cara yang benar dan baik. Ayo, kita bisa!

(Buletin Studia – Edisi 134/Tahun ke-4/03 Maret 2003)