Thursday, 21 November 2024, 21:40

gaulislam edisi 439/tahun ke-9 (12 Jumadil Akhir 1437 H/ 21 Maret 2016)
 

Kayaknya ada di antara kamu pernah menggerutu seperti ini, “Males ada di rumah. Dikit-dikit dimarahin ortu. Mending main di sini saja, bisa istirahat sejenak dari omelan di rumah.” Hmm… pengen bebas, ceritanya?

“Apapun yang dilakukan adek, selalu benar. Aku sebagai kakak, selalu dianggap salah, dimarahi bahkan dibentak.” Hadeeuh.. jangan baper gitu, ah!

“Susah ngomong sama ortu, maunya omongannya didengerin tapi anaknya ngomong dicuekin.” Sssttt… apa selalu begitu? Nggak juga kan?

Waduh, kalo mau ditulis detil model curhatan di atas, masih banyak lagi tuh yang intinya menurut mereka ortu tidak bisa mengerti dan memahami anak-anaknya.

Eh, jangan salah. Terlepas dari curhatan di atas, ada juga loh remaja yang menganggap ortunya itu tipe asik untuk diajak curhat. Selain itu ortu juga memahami dunia remaja sehingga mereka merasa enjoy berada dekat dengan ortunya.

Sobat gaulislam yang dirahmati Allah, hubungan anak-ortu memang susah-susah gampang, dan gampang-gampang susah. Kenapa bisa begitu? Coba perhatikan, ortu di usianya yang sekarang itu mempunyai dunia yang berbeda sama sekali dengan kamu, anak-anak usia remaja. Dunia yang berbeda ini bukan semacam antara jin dan manusia yang dimensi alamnya berbeda ya, tapi memang generasi atau zaman yang dilewati sudah tidak sama. Alhasil kalau tidak disikapi dengan bijak maka akan timbul gesekan antara ortu dan anak. Seringkali bahkan bukan sekadar gesekan, tetapi ledakan.

Lalu gimana dong supaya terjalin hubungan yang harmonis antara ortu dan anak sehingga tak lagi ada anak terutama remaja yang merasa tidak dimengerti oleh ortunya?

Sebagai remaja, kamu jangan cuma bisa menuntut agar ortu mengerti atau memahami kamu, keinginanmu serta pernak-pernik duniamu. Cobalah sesekali tempatkan dirimu pada posisi ortu. Dengan segala permasalahan yang dipunyai orang dewasa, ortu masih harus memikirkan anak-anaknya dan masa depan mereka. Pantas saja bila mereka gampang khawatir, cemas, dan bingung. Rasa-rasa negatif itu terwujud dalam bentuk suka marah, ngomel, bentakan, dan sebagainya. Kalau ortu mengalami kesulitan untuk menjalin komunikasi dengan kamu sebagai anak, maka cobalah dibalik. Kamu sebagai anaklah yang berusaha untuk membuka pintu komunikasi dengan ortu.

Canggung? Kagok? Tentu, karena baru pertama kali dilakukan. Bayangkan saja ibarat naik sepeda pertama kalinya, pasti banyak goyang atau bahkan jatuh, kan? Begitu juga membangun komunikasi dengan ortu. Mungkin sekali dua kali gagal. Jangan patah semangat. Terus usahakan untuk menjalin komunikasi dengan mereka.

Komunikasi yang paling efektif dengan ortu adalah berusaha menuruti apa yang menjadi keinginan mereka selama itu bukan dalam hal kemaksiatan atau keharaman. Ingat-ingat apa yang menjadikan ortu senang. Mungkin ketika kamu belajar tanpa disuruh. Atau membantu menemani adek main tanpa harus menggodanya sampai nangis. Atau bisa juga bersih-bersih rumah karena memang tak punya ART (asisten rumah tangga) sehingga ibu pun berkurang bebannya. Bisa juga langsung sigap membuatkan ayah teh hangat ketika baru pulang dari kerja. Dan banyak hal lain untuk membangun komunikasi dan memulai hubungan yang harmonis dengan ortu.

 

Karena anak ingin dimengerti

Bukan hanya wanita yang ingin dimengerti, seperti kata lagu. Anak pun ingin dimengerti oleh ortu. Bentuk dimengerti ini tak terlalu muluk, hanya tidak usah terlalu sering diomeli, dimarahi, dibentak atau bahkan dipukul. Anak hanya ingin didengar ketika ia berbicara, ingin dihargai ketika ia melakukan sesuatu, dibetulkan ketika melakukan kesalahan, dan dinasehati dengan cara yang baik. Betul begitu kan, mau kamu sobat remaja?

Anak yang dimengerti oleh ortunya, maka dia akan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Ia tidak mudah gamang dengan kehidupan. Ia akan menjadi sosok pribadi yang tangguh karena dipercaya dari orang terdekatnya, yaitu ortu. Anak yang seperti ini akan lebih mudah menggali potensi diri dan berprestasi, insya Allah.

Masa remaja yang katanya penuh dengan peer pressure atau tekanan dari teman menjadi mudah dilalui bila ortu mengerti akan dunia anaknya. Cobalah sesekali ortu menempatkan diri di posisi anak. Dengan PR dari sekolah yang begitu banyak, ulangan atau quiz hampir tiap hari, gaya hidup yang penuh persaingan, tuntutan ini dan itu, maka wajar bila anak pun ingin dimengerti. Belum lagi gejolak hormon masa muda yang labil, remaja pun seringkali menjadi galau dan butuh sandaran untuk tempat curhat. Siapa lagi yang peduli dengan sebenarnya bila bukan ortu sendiri?

Bisa saja sih, anak curhat dengan orang lain. Tetapi statusnya tetap saja orang lain yang bukan orang tua sendiri, meskipun itu guru, misalnya. Rasanya tetap beda. Bahkan mungkin ada yang justru malah menjerumuskan. Tidak semua orang yang mengulurkan tangan akan membantumu, bisa saja mereka justru akan memanjakan kamu karena curhatmu didengar tanpa memberikan solusi, bahkan mengamini apa yang kamu lakukan, padahal yang kamu lakukan itu salah. Sebab, yang baik—siapapun ia, apalagi ortu sendiri, adalah orang yang memberikan nasihat, walau nasihat itu menyakitkanmu.

 

Karena ortu pun ingin dimengerti

Sobat gaulislam, bukan hanya dari sisi remaja, ortu pun merasa ingin dimengerti oleh anaknya. Segala apa yang menjadi keinginan, harapan dan cita-cita mereka ingin sekali bisa dipenuhi oleh sang anak. Tidak boleh ada bantahan, pembangkangan, protes atau apapun itu namanya yang bikin ortu makin kalap.

Susah-payah mencari nafkah, demi sang anak. Berkorban ini dan itu juga demi sang anak. Maka ortu merasa wajar bila mereka menaruh harapan tinggi pada sang anak tanpa bantahan. Seolah-olah semua yang direncanakan ortu akan berlaku dan baik pada diri si anak.

Nah, bila masing-masing pihak sama-sama egoisnya untuk melihat dari sudut pandang masing-masing, maka tidak akan pernah ada titik temunya. Jalan keluar dari masalah ini adalah komunikasi. Ayo antara anak dan ortu duduk bersama dan berbincang dengan kepala dingin dan hati yang penuh dengan cinta. Bila masing-masing ego bisa dipinggirkan sejenak, maka komunikasi akan terjalin dengan lancar dan tidak ada lagi pihak yang merasa diabaikan.

Di pihak ortu, apabila sudah merasa melakukan segalanya tapi tetap saja seolah menemui jalan buntu untuk memahami dan berkomunikasi dengan anak, cobalah untuk menepi. Diskusikanlah dengan ahlinya untuk mencari jalan keluar. Di atas semua itu, cobalah introspeksi diri dan mendekat pada ilahi. Allah-lah pembolak-balik hati manusia, termasuk anak-anak kita. Minta pada-Nya agar dilembutkan hati mereka supaya memahami apa yang dimaksud oleh sang ortu.

 

Belajar dari Ayah Luqman

Wah… ada pakar parenting baru nih, Ayah Luqman. Jangan salah, Ayah Luqman adalah pakar parenting segala zaman yang kisahnya diabadikan di dalam al-Quran. Eh, ini boleh nggak sih kita ngasih label gini untuk orang sehebat Luqman? Soalnya masyarakat kita udah kadung ngasih label ke orang tua lelaki yang jadi pakar parenting dengan menyematkan kata “Ayah” di depan namanya. Terlepas kontroversi dari sebutan itu, perhatikan bagaimana lembutnya Ayah Luqman dalam mendidik dan berkomunikasi dengan anaknya. Apapun masalah anak, satu  hal yang selalu ditekankan dalam pengajaran tersebut: jangan menyekutukan Allah (silakan lihat QS Luqman [31]: 13).

Ajaran dasar tauhid inilah yang menjadi pondasi kuat untuk mendidik dan berkomunikasi antara ortu dan anak. Dengan tauhid yang benar, maka akan ada rem bila anak akan berpolah tingkah yang melanggar syariat, misal.

Poin berikutnya dari ajaran Ayah Lukman adalah berbuat baik dan taat pada ortu terutama ibu. Taat kepada ortu selama tidak dalam kemaksiatan, misalnya saja dalam hal menyekutukan Allah. Bila ini terjadi, maka tidak ada lagi kewajiban taat pada ortu, walau tetap harus menghormati (silakan buka QS Luqman [31]: 14-15). Pahami isinya dengan benar dan baik ya. Itu super sekali, Beneran!

Dari poin-poin tersebut Ayah Lukman mengajari orang tua bagaimana berbicara terhadap anak yaitu dengan kelembutan. Hal apa yang menjadi prioritas adalah ketauhidan dan ajaran ketaatan terhadap ortu serta berbuat baik pada mereka. Itu dari segi ortu.

Dari anak sendiri, juga harus memperhatikan hal tersebut. Bukan tidak mungkin, ortu tidak memahami bagaimana berkomunikasi dengan anak apalagi mendidik dengan baik. Sebagai anak, kalian tidak boleh belagu. Tanamkan kedua hal poin di atas dalam berperilaku terhadap orang tua. Tauhid dan ketaatan pada orang tua selama itu tidak menyalahi syariat. Ya, tetap taati walau kadang tak sesuai dengan keinginan kamu. Sabar sambil mencari cara untuk memahaminya.

 

Finally…

Sobat gaulislam, tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Mendamba ortu yang pengertian bukan hanya khayalan semata. Bila ortu belum bisa memberi teladan, jangan segan dari pihak anaklah yang memberi teladan dengan cara tetap berbuat lembut dan baik pada ortu. Selama tidak mengajak kepada kemaksiatan, usahakan taat dan terus berbuat baik pada mereka. Insya Allah, lama-lama akan muncul celah yang indah untuk komunikasi yang lebih baik sehingga satu sama lain bisa saling mengerti dan memahami.

Semoga dengan tulisan sederhana ini hubungan kamu dan ortu bisa terjalin dengan baik dan penuh rasa pengertian, ya. Ingat, memulai untuk memahami posisi ortu itu akan lebih baik untuk hubungan kalian selanjutnya daripada memaksakan kehendak. Ambillah hati ortu dengan melakukan apa yang membuat mereka senang sehingga dari situ pintu komunikasi bisa terbangun dengan baik, insya Allah. Dan satu hal yang paling penting dari semua itu adalah doa yang tak putus dari seorang anak salih/salihah untuk ortunya. Selamat mencoba! [Ria Fariana | riafariana@gmail.com]