gaulislam edisi 443/tahun ke-9 (10 Rajab 1437 H/ 18 April 2016)
Apakah kamu sering mendengar ketiga istilah ini dalam obrolan sehari-hari di pergaulanmu dengan teman-temanmu? Saya rasa harusnya sering mendengarnya, minimal pernah mendengarnya. Gimana pun juga, istilah ini termasuk yang biasa terlontar dalam kehidupan keseharian kita. Misalnya aja nih, mending ngaji aja daripada nongkrong. Ketimbang bengong melulu nggak ada manfaatnya, ayo belajar! Mending pilih diam deh, daripada kalo ngomong malah jadi nggak terkontrol nih ucapan akibat mudah tersulut kemarahan. Nah, itu contoh-contohnya. Kamu pernah menggunakan ketiga istilah ini untuk apa saja? Silakan diingat-ingat, ya. Tetapi yang pasti, istilah ini dalam level tertentu sudah seperti ‘logika’. Padahal, kadang bedanya tipis dengan lo gila. Hehehe….
Sobat gaulislam, apa pentingnya membahas ketiga istilah ini, kayak pelajaran bahasa saja? Penting banget Bro en Sis. Mengapa? Sebab, saat ini dalam kehidupan sehari-hari kita sering dibenturkan dengan kondisi tersebut. Dari mulai kondisi yang wajar seperti contoh pernyataan di paragraf sebelumnya, sampai yang nyerempet-nyerempet bahaya dan bahkan yang udah kacau bin parah banget. So, jadinya kamu perlu tahu urusan ini. Beneran!
Kondisi yang wajar
Wajar di sini artinya lumrah alias udah biasa dan no problemo. Misalnya aja: daripada tidur mulu di pagi hari, mending kita olahraga. Kalo ajakan seperti ini sih bagus banget. Supaya gerak badan dan ngilangin rasa malas. Selain itu, ada contoh lain: ketimbang berburuk sangka terus sama orang lain, mending tunjukkan prestasi diri sendiri di hadapan orang lain. Asik banget, kan? Pastinya, dong!
Masih banyak contoh lainnya: daripada kamu malas sekolah, mending kamu nggak usah sekolah aja. Eh, ini nganjurin nggak bener atau ngasal sih pernyataannya? Hehehe.. kalo dipikir-pikir ada benarnya juga kok. Kalo malas sekolah, mending nggak usah sekolah aja. Sayang uangnya. Kalo dalam sebulan masuknya cuma seminggu ya kebangetan sekali. Berarti 3 minggu nggak masuk sekolah, entah karena alasan malas atau nggak mau. Tuh, model gini, bayarannya pasti tetap wajib per bulan. Tetapi sayang aja karena kamu nggak memanfaatkan kesempatan untuk bisa sekolah dengan benar dan baik. Seharusnya kan, kamu sekolah dengan benar dan baik, lalu tunjukkan hasilnya.
Sekadar kamu tahu aja ya, di luaran sana banyak lho anak seusiamu yang nggak punya kesempatan untuk belajar. Bukan karena nggak mau, tetapi nggak bisa mendapatkan akses untuk bisa belajar. Itu sebabnya, banyak juga orang yang peduli terhadap nasib mereka. Maka, diajaklah anak-anak yang kesehariannya ngamen di jalanan atau jadi pemulung untuk belajar dan mendapatkan ilmu. Sewaktu saya ikut pelatihan bagi pengelola Program Paket B dan Paket C saya bertemu dengan seseorang yang mengelola kelompok belajar untuk anak jalanan. Berbagi ceritalah kami dalam acara itu. Kebetulan saya yang ikut pelatihan memang diutus oleh pihak PKBM tempat saya mengajar. Dari cerita beliau, bahwa sebenarnya ada banyak anak jalanan yang punya semangat untuk belajar, hanya saja terkendala uang dan waktu. Itu sebabnya, ketika ada lembaga yang mau mendidik mereka tanpa perlu keluar biaya dan waktunya fleksibel, kontan saja mereka antusias. Tuh, kamu yang udah nyaman di sekolah favorit sesuai keinginan, harusnya bisa lebih semangat lagi karena dukungan dana dan fasilitas yang berbeda dengan kawan kita yang saya ceritain di atas. Ayo, semangat ya. Daripada malas, mending kamu mulai bergerak untuk semangat belajar. Ok?
Sobat gaulislam, istilah daripada, mending, ketimbang ini kalo digunakan dengan benar dan baik sesuai kondisinya, insya Allah nggak bakalan ribet. Mereka yang bikin ribet dan meributkan itu adalah yang nggak ngerti teknis, biasanya. Kalo yang tahu konsekuensinya sih nggak masalah, kok. Daripada bengong dan hobi melamun, mending baca al-Quran. Ini baru ngajak kepada kebaikan. Keren, kan? Ketimbang tiap malam begadang di pos ronda dengan bersila dan maen kartu gaple, mending belajar dan shalat tahajud. Tuh, ini juga keren. Beneran.
Intinya, mending, ketimbang, daripada yang masih wajar seperti contoh-contoh di atas, ada baiknya. Jadi emang tergantung penggunaannya dan tujuannya untuk apa. Ini yang masih kategori wajar. Tapi ada juga lho, yang nggak wajar alias masuk lampu kuning. Itu artinya, udah warning dalam menggunakannya. Seperti apa? Baca berikutnya ampe tuntas ya. Jangan sampe dilewatkan.
Kondisi “warning”
Penggunaan istilah mending, ketimbang, dan daripada yang masuk kategori waspada adalah seperti ini contohnya: daripada shalat tapi korupsi, mending yang nggak shalat tapi rajin nabung dan dermawan. Daripada pake kerudung ngegosip melulu, mending nggak pake kerudung tapi hatinya bersih dan baik hati. Daripada jadi santri tapi kelakuannya kayak preman, mending tampilan kayak preman tapi perilakunya kayak santri. Wedew, apa benar cara pandang kayak gini? Nggak banget! Kita bahas pernyataan tersebut, ya.
Ungkapan pertama, “daripada shalat tapi korupsi, mending yang nggak shalat tapi rajin nabung dan dermawan.” Sekilas pernyataan ini sepertinya benar, menjustifikasi adanya orang yang seperti itu. Tetapi, kalo diteliti lebih dalam, ini justru membahayakan dan udah kategori waspada alias warning, tuh. Why?
Begini penjelasannya. Benar, bahwa korupsi itu dosa. Tapi tak benar kalo shalat ditinggalkan. Maka, kondisi yang benar itu adalah: rajin shalat dan tinggalkan korupsi. Kalo shalat rajin tapi korupsi juga, berarti ada yang salah dengan cara pandang, dan bisa jadi shalatnya itu sendiri nggak benar. Mungkin saja caranya benar, tetapi niatnya yang nggak benar. Bisa juga sekadar shalat saja, nggak meresap dalam dirinya kenapa melakukan shalat, untuk apa shalat. Padahal, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-‘Ankabuut [29]: 45)
Itu sebabnya nih, bagi muslim yang cara berpikirnya benar nggak bakalan muncul pernyataan “mending dan daripada” yang salah penempatan. Seharusnya yang terjadi, daripada shalat tapi masih korupsi, mending shalatnya dibenerin supaya nggak korupsi, dan sebaliknya jadi dermawan. Nah, kalo yang terakhir ini logikanya bener. Betul nggak?
Begitu juga dengan pernyataan, “Daripada pake kerudung ngegosip melulu, mending nggak pake kerudung tapi hatinya bersih dan baik hati.” Kata siapa pernyatan tersebut benar? Kalo menurut hawa nafsu dan nggak pake ilmu bisa saja dianggap benar atau dibenarkan. Padahal, itu menyesatkan. Bahwa pake kerudung (apalagi lengkap dengan jilbabnya) bagi muslimah ketika keluar rumah, itu kewajiban dan memang benar adanya. Tetapi ngegosip alias ghibah alias ngomongin kejelekan orang lain, itu salah. Maka, yang nggak pake kerudung (dan lengkap dengan jilbabnya), tetap salah walau dia nggak ngegosip.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Nggak ada mendingnya kalo yang model begini. Harusnya: muslimah yang mengenakan kerudung dan jilbab, harus jauhi gosip alias ghibah. Kalo yang nggak ngegosip tapi belum pake kerudung dan jilbab, ya wajib segera pake. Jangan ngeyel bikin logika ngawur: mending nggak pake kerudung dan jilbab tapi nggak ngegosip. Ini salah, Sis. Beneran!
Ini semua sebenarnya bisa dibantah. Hati-hati lho menempatkan istilah ini. Sebab, nanti bakal dibalikin, misalnya aja: daripada makan tapi lapar lagi, mending nggak usah makan. Nah lho, mau nggak kalo dibalikin kayak gitu? Itu sebabnya, harus diubah cara pandangnya. Kalo yang model gitu, dia berpikir nyalahin kondisi. Lalu dirinya merasa kudu salah karena kondisi salah. Ini aneh. Betul nggak? Harusnya kan, kalo ada yang rajin shalat didukung, yang udah taat berbusana muslimah, ya dimotivasi. Kalo di antara mereka masih melakukan maksiat ya dinasihatin supaya nggak maksiat lagi. Betul?
Kondisi parah
Penggunaan istilah mending, ketimbang, daripada bisa menyeret pada kondisi parah bila digunakan terkait prinsip hidup atau akidah. Misalnya aja nih, daripada pemimpin muslim tapi koruptor dan zalim, mending pemimpin yang kafir tapi anti korupsi dan baik hati. Ini pernyataan kacau balau bin parah. Kok bisa sih logikanya aneh gini? Ini sudah kondisi prinsip hidup, soal akidah. Nggak boleh maen-maen.
Penjelasannya begini. Bahwa perilaku korupsi dan zalim itu dosa dan dilarang. Tetapi membawa-bawa persoalan akidah dengan membandingkan bahwa yang kafir tapi nggak korupsi dan nggak zalim lebih baik dari muslim yang korupsi dan zalim. Tunggu dulu. Ini seperti ngomongin antara esensi dan aksesori. Bahwa mobil itu esensinya adalah mesin dan roda-rodanya serta setir. Sementara desainnya, kursi, cat, kaca, dan sebagainya adalah aksesori. Maka, mobil sebagus apapun desainnya kalo nggak ada mesinnya ya percuma. Ada mesinnya, tapi nggak ada roda dan setirnya juga sia-sia. Menjadi muslim itu esensinya, yang membedakan nilai dengan orang kafir. Sementara jujur, baik hati dan sejenisnya itu masuk aksesori. Percuma jujur dan baik hati tapi kafir. Jujurnya hanya kepada manusia, tetapi kepada pencipta manusia malah membangkang. Itulah yang membedakan antara muslim dan kafir, yakni pada kemuliaannya di hadapan Allah Ta’ala.
Itu sebabnya, pernyataan kayak gini harus dihapuskan. Selain nggak bermutu, juga kenapa tidak mencari peluang ketiga yang sebenarnya ada, yakni pemimpin muslim yang baik dan tidak korupsi. Ini yang harus dicari dan saya rasa ada. Jadi pernyataan membandingkan dengan istilah mending, ketimbang, dan daripada itu ada aturan mainnya. Nggak sembarangan dipake, apalagi untuk tujuan yang ngawur.
Sobat gaulislam, kalo ada yang bilang bahwa tulisan ini rasis dan SARA, itu salah besar. Justru sebagai muslim kita kudu bangga dengan Islam. Allah Ta’ala membedakan antara muslim dengan kafir. Tempat di akhirat juga berbeda: surga untuk muslim, dan neraka untuk kafir. Adil? Tentu saja itu keadilan Allah Ta’ala. Baca deh al-Quran surah al-Bayyinah ayat 6, 7, dan 8. Itu perbedaan orang kafir dengan muslim dan tempatnya di akhirat. Ok?
Yup, tetaplah dalam kemusliman kita sampai mau menjemput dan memisahkan kita. Istiqomahlah bersama Islam. Gimana, setuju? [O. Solihin | Twitter @osolihin]
bismillah.. Ana ijin Merepost buletinnya dalam bentuk buletin handout…