gaulislam edisi 658/tahun ke-13 (9 Syawal 1441 H/1 Juni 2020)
Duh, ini judul beneran kayak gini? Bener, Bro en Sis. Kamu nggak sedang ngimpi. Kamu nyadar. Kamu juga nggak salah baca. Emang judulnya gitu, kok. Hmm.. emang berat ya? Nggak juga sih. Tergantung sudut pandang aja. Zaman sekarang udah biasa. Daripada di dunia maya, bikin judul heboh duluan, bombastis, eh, nggak tahunya zonk. Cuma buat ngangkat traffic website doang. Isinya kagak ada, seringnya juga nggak nyambung dengan judul. Nah, kalo di buletin kesayangan kamu ini sih, insya Allah nggak akan zonk. Kamu bakalan dapat manfaat, dan tentu judul sama isinya sama dong, ya. Insya Allah.
Oya, kalo orang sih udah banyak yang masuk Islam, ya. Banyak kan ya, organisasi Islam yang mengislamkan seseorang. Tadinya kafir, jadi muslim. Nah, itu sih kita udah kenal dan tahu banget. Namun, ini judul kok “mengislamkan negara”? Piye, Jal?
Jadi begini, Bro en Sis. Sains aja ada yang diislamkan. Pernah dengar kan tema pembahasan: mengislamkan sains. Jadi, sains yang ada saat ini, yang nggak islami, harus diislamkan dengan cara menyisipkan akidah Islam di dalamnya. Contoh, Islam menolak Teori Evolusi yang digagas Charles Darwin. Nah, berarti dalam sains pun harus diisi dengan akidah Islam. Dijelaskan bahwa asal-usul manusia itu ya dari Allah. Bukan dari evolusi makhluk lain yang justru nggak berakal. Kan, aneh ya. Ini satu contoh saja.
Lalu, bagaimana dengan mengislamkan negara? Memangnya saat ini negara masih kafir atau belum Islam? Hehehe.. istilahnya bukan negara kafir ya, tapi negara kufur. Why? Karena sistem atau aturan yang digunakan untuk mengatur kehidupan manusia, bukan berasal dari Islam. Seluruh dunia, saat ini, sejak runtuhnya Kekhilafahan Islam Turki Ustmany pada 1924, nggak ada lagi yang namanya Negara Islam (Daulah Islam). Kalo pun ada sebagian besar wilayah memiliki jumlah penduduk beragama Islam, hanya bisa disebut negeri, bukan negara. Apa bedanya? Ya, beda lah.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dijelaskan kedua kata tersebut. Pengertian ne.ga.ra /nêgara/ adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Pengertian yang kedua, yakni kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
Nah, kalo pengertian ne.ge.ri /nêgêri/ adalah tanah tempat tinggal suatu bangsa; kampung halaman; tempat kelahiran.
Berdasarkan pengertian ini, maka saat ini jumlah negeri muslim di seluruh dunia cukup banyak. OKI alias Organisasi Konferensi Islam aja menaungi lebih dari 50 negeri muslim. Namun, secara institusi (negara), ya tidak menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Baru sebatas pelaksanaan bagian kecil dari urusan masyarakat dan individu masyarakat saja.
Di negeri kita nih, kalo urusan nikah bagi muslim memang berdasarkan syariat Islam. Dilaksanakan kok. Namun, urusan hukum dan tata kelola negara? Ya, bukan Islam. Atau nggak sepenuhnya Islam. Di negeri kita masih menerapkan sistem Kapitalisme. Akidahnya bernama sekularisme alias memisahkan urusan agama dengan aturan kehidupan. Agama cuma di masjid, shalat, zakat, nikah, dan sejenisnya yang sifatnya ibadah. Kalo urusan pelaksanaan hukum bagi pencuri, bagi pezina, bagi pembunuh, di negeri kita nggak diterapkan syariat Islam. Silakan kamu cek sendiri, ya. Beneran lho. Bukan hoax.
Kalo pun ada hukum jilid (cambuk) dan rajam, bisa jadi pernah (dan mudah-mudahan masih) diterapkan di Aceh sebagai bentuk kewenangan tersendiri. Diatur dalam perda syariah. Namun, secara nasional nggak diterapkan. Lagi pula, kalo dalam Islam, kekuasaan negara itu meliputi banyak tempat, tidak terkotak-kotakkan dengan bangsa atau suku bangsa. Jadi negara itu bisa luas dan terus berkembang seiring dengan penaklukan berbagai negeri yang kemudian bergabung dalam negara Islam.
Jadi bagaimana memulainya?
Sobat gaulislam, nah ini pertanyaan yang perlu dijawab. Beneran. Begini, harus ada tahapannya. Nggak langsung ujug-ujug jadi berdiri negara yang menerapkan Islam atau negara yang mejadikan Islam sebagai ideologinya. Ada prosesnya. Apalagi pemahaman masyarakat saat ini masih belum ngeh terkait kenegaraan, khususnya masih awam tentang kekhilafahan Islam. Banyak yang takut akibat ketidaktahuan yang mendalam. Akibat kebodohan yang ekstrem. Udah gitu nggak mau belajar. Disodorkan solusi Islam, malah ngibrit nggak mau denger. Jadinya ya, bodo katotoloyo alias bodohnya itu jiddan bener. Eh, bukan ngeledekin lho. Namun, ini sekadar ngasih fakta aja.
Oya, sekadar menekankan aja nih, bahwa nggak ada keraguan kalo akidah Islam tuh menjelaskan bahwa sebelum ada kehidupan dunia ini ada Allah Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan; bahwa Allah Pencipta manusia telah menurunkan aturan-aturan-Nya ke dunia ini untuk mengatur kehidupan manusia; dan bahwa manusia akan menuju alam akhirat dengan dimasukkan ke dalam surga atau neraka—begantung pada terikat-tidaknya dirinya dengan aturan-aturan-Nya. Itulah realitas akidah Islam yang harus diyakini oleh setiap Muslim.
Karena itu, agama Islam tidak boleh dipisahkan dari kehidupan. Seorang Muslim diperintahkan untuk menaati Allah Ta’ala di rumah, di pasar, di mal, di kendaraan, di kantor, di sekolah, di masjid, di ruang pertemuan, di mess, di hotel, dan di setiap tempat. Demikian juga ketika makan, minum, berpakaian, berakhlak, beribadah, dan berbagai muamalah.
Bro en Sis rahimakumullah, Islam adalah agama yang nggak bisa diceraikan dari politik (baca: negara). Itu sebabnya, Imam al-Ghazali berkata: “Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.” (dalam kitabnya, al-Iqtishad fil I’tiqad hlm. 199)
Nah, kalo udah tahu begitu pastinya kita nggak mau dong jadi orang yang punya semangat minimalis dalam memperjuangkan Islam, apalagi ini tugasnya adalah mengislamkan negara. Qonaah boleh saja, tapi jangan sampe merasa puas dengan kondisi kita saat ini. Celakanya justru kondisi kita sekarang ini lagi ada di bawah. Kan aneh dong kalo nggak mau bangkit. Kamu yang gagal lulus ujian, jangan putus asa. Masih ada hari esok untuk kita. Tapi tentunya, hari esok yang lebih baik tak akan pernah ada bagi mereka yang malas untuk bangkit. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’d [13]: 11)
Bangkit itu perlu, bahkan wajib sobat. Apalagi bila kita bicara tentang masa depan Islam. Ya, Islam. Agama yang selama ini kita anut, belum kembali ke puncak kejayaan setelah mengalami kemunduran. Dan yang berperan selama ini—di saat maju dan mundur—adalah kita, kaum muslimin.
Ketika Islam mencapai kegemilangan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafa ar-Rasyiddin serta pemimpin-pemimpin setelahnya, umat Islam sedang getol-getolnya menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam udah menyatu dalam pemahaman dan tingkah laku kaum muslimin di masa lalu. Mereka sama sekali tak mau melepaskan diri dari Islam. Islam maju, ketika umatnya juga lengket dengan ajaran Islam. Daripada melepaskan akidah Islam, lebih baik nyawa melayang. Lebih mulia kok di hadapan Allah.
Eh, begitu umat Islam menjauhi agamanya, saat itulah Islam perannya mulai pudar. Semakin hari semakin hilang wibawanya. Umat Islam berlomba-lomba meninggalkan Islam. Maklum, pada saat yang bersamaan serangan terhadap Islam semakin gencar. Sebagai contoh, umat Islam dicekoki dengan pemahaman bahwa jihad tidak wajib lagi. Jihad itu defensif, alias bertahan. Padahal, jihad bisa opensif, alias melakukan berbagai penaklukan seperti di masa Rasulullah, para khulafa ar-Rasyidin, dan pemimpin setelahnya. Jihad juga bisa berarti defensif, alias bertahan.
Singkatnya, begitu kaum muslimin terbuai dengan pemahaman itu, Palestina diserbu dan direbut Pasukan Salib Eropa. Saat itu, kaum muslimin lengah. Memang, meski akhirnya Palestina kembali bisa menjadi milik kaum muslimin pada perang berikutnya, tetapi ide sesat kadung udah menyebar di kalangan kaum muslimin. Akhirnya apa yang terjadi? Kita lihat sekarang, giliran Zionis Isreal yang mengacak-ngacak tanah Palestina. Dan kita semua hanya mampu diam. Padahal jumlah Yahudi Israel tuh sedikit tapi berani ngelawan kita (mereka yang berani apa kitanya aja yang pengecut?). Ini salah satu contoh, lho. Masih banyak kasus lain yang menunjukkan keterpurukan kita saat ini.
Jadi, upaya membangkitkan Islam dan kaum muslimin serta ke depannya mengislamkan negara, adalah syarat mutlak untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan handal di dunia ini. Dan ini tanggung jawab kaum muslimin, khususnya para ulama. Bagaimana dengan kita? Ya, berjuang juga ngikut dan manut sama ulama. Siap, ya?
Langkah praktis
Sobat gaulislam, untuk mewujudkan kebangkitan yang kita cita-citakan memang butuh keseriusan dari kita semua, kaum muslimin. Meski kamu masih remaja, bukan berarti nggak boleh serius. Justru seharusnya, masa remaja kamu gunakan untuk mengasah diri supaya bisa mempertajam kemampuan berpikirmu. Lebih khusus lagi kemampuan untuk berpikir islami. Ada beberapa tahap yang bisa kita jadikan sebagai jalan untuk meniti kebangkitan yang hakiki. Syaikh Hafidz Shalih (dalam kitab an-Nahdhah, hlm. 132-155), menjelaskan sbb.:
Pertama, setiap muslim kudu menyadari tugasnya sebagai pengemban dakwah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl [16]: 125)
Kedua, setiap muslim harus memahami Islam sebagai sebuah mabda, alias ideologi. Dengan begitu, kita bisa menjadikan Islam sebagai pedoman hidup kita. Islam bukan hanya mengatur urusan sholat, zakat, puasa aja, tapi sekaligus mengurusi masalah ekonomi, politik, pendidikan, hukum, peradilan, pemerintahan, dsb. Ketiga, kita kudu berjuang menegakkan Islam. Keempat, melakukan kontak pemikiran dengan masyarakat, nggak cuma diem doang. Sebarkan ide-ide Islam kepada mereka. Kalo ternyata timbul pro dan kontra, itu wajar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah merasakannya. Tenang. Kita di jalur yang benar. Kelima, harus jelas dalam berjuang. Artinya, kita kudu fokus dan membatasi mana yang pokok, dan mana yang cabang. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yusuf [12]: 108)
Keenam, harus berani melakukan shiraul fikriy (pertarungan pemikiran) dengan berbagai ide sesat yang ada di masyarakat. Misalnya, sampaikan bahwa demokrasi sesat, nasionalisme itu tercela, sekularisme adalah bagian dari kekufuran dan sebagainya. Itu sebabnya, perjuangan Boedi Oetomo yang katanya sebagai tonggak kebangkitan, ternyata malah menuju kemunduran. Kenapa? Karena menyerukan nasionalisme. Nah, pemuda Islam, harus berani melawan itu semua!
Ketujuh, selalu meng-update perkembangan yang terjadi di masyarakat dan berikan solusinya dengan ajaran Islam. Kedelapan, kita harus bisa menunjukkan kelemahan dan kepalsuan sistem kufur yang tengah mengatur kehidupan masyarakat kita saat ini. Supaya mereka juga ngeh, bahwa selama ini ternyata hidup dalam lingkungan yang tidak islami. Itu sebabnya kita juga mengajak kaum muslimin untuk berjuang melanjutkan kehidupan Islam.
Oke deh. Semoga ada manfaatnya. Jadi mengislamkan negara ini, tentu erat kaitannya dengan kebangkitan Islam. Yuk, sama-sama berjuang. Meski berbeda kelompok dakwah, yang penting tujuannya sama. Cara boleh berbeda, selama cara itu sesuai dengan tuntunan Islam. Siap menjadikan Islam sebagai ideologi negara? Memang harus disiapkan, ya. Saatnya kaum muslimin bersatu. Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]