Sunday, 24 November 2024, 09:16

Artikel berikut ini adalah karya ustadz Muhammad Shiddiq Al Jawi yang pernah disampaikan dalam acara Bedah Buku Nasional Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, yang diselenggarakan oleh Penitia Ramadhan di Kampus Lembaga Eksekutif Mahasiswa UII, hari Kamis, 14 Desember 2000, di Auditorium UII Pusat, Yogyakarta, semoga bermanfaat.

Ide-ide yang dikemukan Fazlur Rahman seputar negara Islam sebenarnya sulit dikatakan sebagai konsep negara, apalagi konsep negara Islam. Sebab apa yang dikemukannya hanyalah sekedar percikan ide-ide tentang negara yang masih sangat global serta tidak tersistematisir secara komplet. Di samping itu, ide-ide yang dikemukakan pun  banyak diliputi kekaburan dan ketidakjelasan. Karena itu, siapa pun yang mempelajari ide-idenya tentang negara Islam, akan lebih banyak memainkan interpretasi dan analisisnya sendiri guna memahami apa yang dimaksud Fazlur Rahman daripada mendapatkan kejelasan ide menurut Fazlur Rahman sendiri.

Sebagai contoh, Fazlur Rahman tidak menyatakan secara gamblang pendapatnya mengenai konsep Islam mengenai negara, meskipun nampaknya dia lebih cenderung berpendapat bahwa Islam tidak memerintahkan dan juga tidak mengajarkan secara jelas mengenai sistem kenegaraan, tetapi mengakui terdapatnya sejumlah tata nilai dan etika dalam Al Qur`an (h. 82). Fazlur Rahman tidak menjelaskan secara detil bagaimana yang dimaksud dengan metode langsung pemilihan kepala negara dari bawah (h.94). Dia juga tidak merincikan secara detil syarat-syarat kepala negara (h.94). Fazlur Rahman tidak pernah menyinggung lembaga yudikatif dalam tulisan-tulisannya tentang negara (h. 97). Fazlur Rahman tidak pernah menjelaskan argumentasinya mengapa dia memilih bentuk negara kesatuan dan mengapa pemerintah harus mempunyai kedudukan yang besar dan kuat (h. 98). Fazlur Rahman juga tidak menjelaskan, mengapa sistem parlementer tidak cocok dengan Al Qur`an dan tidak pula menjelaskan apakah yang dimaksud pemerintah terpusat itu adalah sistem presidensil (h. 99).

Ini membuktikan bahwa apa yang dikemukakan Fazlur Rahman sebenarnya sangat sulit dikatakan sebagai konsep negara. Sebab sebuah konsep mengharuskan adanya kejelasan yang komprehensip agar dapat dipahami dan dapat diaplikasikan secara praktis, misalnya kejelasan definisi sekaligus argumentasi dari terminologi-terminologi yang digunakan maupun deskripsi content pemikiran secara ekstensif dan mendalam. Kejelasan konsep di samping merupakan tuntutan akademis dan tuntutan ilmiah agar dapat dimengerti secara baik juga merupakan suatu faktor yang akan membuat konsep itu operasional. Dengan demikian, kekaburan konsep hakikatnya adalah tanda kecacatan  ide secara akademis dan ilmiah, di samping tentunya mengakibatkan suatu konsep menjadi tidak operasional sama sekali.

Maka dari itu, ide-ide Fazlur Rahman seputar negara Islam belumlah layak dianggap sebagai konsep negara. Menurut Taqiyuddin An Nabhani dalam Nizham Al Hukm fi Al Islam (1990) konsep tentang negara Islam haruslah menjelaskan tentang bentuk negara (syakl al hukm), sifat negara, dasar negara, prinsip-prinsip (qawa’id)  pemerintahan, struktur pemerintahan, asas yang menjadi landasan pemerintahan, berbagai pemikiran (afkar) dan persepsi (mafahim) untuk menjalankan kehidupan bernegara, standar-standar (maqayis) yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, serta undang-undang dasar (dustur) dan perundang-undangan (qanun) yang diberlakukan. Dalam kitabnya Nizham Al Islam (1953) Taqiyuddin An Nabhani mengemukakan bahwa dalam UUD itu harus tercakup penjelasan tentang bagaimana mengatur kekuasaan negara, pembagian kekuasaan negara, juga penjelasan tentang lembaga-lembaga tinggi negara dan wewenangnya masing-masing, serta penjelasan tentang hubungan hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyat serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah.

Semua ini sulit ditemukan dalam serpihan ide-ide Fazlur Rahman tentang negara. Karenanya, ide-idenya belumlah dapat dikatakan sebagai sebuah konsep negara, melainkan hanya sebatas mozaik ide-ide tentang negara yang tidak lengkap dan masih sangat global yang tidak terformulasi secara komprehensip.

Jika ide-ide Fazlur Rahman seputar negara sulit dikatakan sebagai konsep negara, maka lebih sulit lagi untuk mengatakan ide-idenya sebagai konsep negara Islam. Sebab, bentuk negara yang diajukannya adalah bentuk pemerintahan republik yang menjalankan demokrasi (h. 92 dan 149) yang sebenarnya merupakan konsep-konsep yang berakar pada tradisi dan budaya Eropa yang sekularistik. Kedua konsep itu secara historis muncul sebagai antitesis dari budaya politik abad pertengahan yang didominasi oleh agama (kristen), yakni antitesis dari bentuk negara monarki yang ada di Eropa pada abad pertengahan dan dari dominasi ide Hak Ketuhanan (divine rights) di mana hak memerintah ada di tangan raja dan kaisar –dengan legitimasi gereja—dan bukan di tangan rakyat (Abdul Qadim Zallum, 1983).

Atas dasar itu, bentuk negara republik dan konsep demokrasi sebenarnya tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan agama manapun , karena kemunculannya justru merupakan reaksi dari dominasi agama (Kristen) di Eropa. (Abdul Qadim Zallum, 1983)

Dengan demikian, tidak masuk akal bila bentuk negara republik dan konsep demokrasi dijadikan sebagai representasi dari konsep negara Islam. Secara hati-hati dapat dikatakan bahwa konsep negara republik yang demokratis adalah lebih tepat dikatakan sebagai konsep negara sekuler, daripada konsep negara Islam.

Implikasi logisnya, argumentasi Razlur Rahman yang menerima konsep negara republik yang menjalankan demokrasi patutlah kiranya dibongkar dan dikritisi kembali. Fazlur Rahman menerima kedua konsep itu karena dia beranggapan justru Islamlah yang memerintahkan kita untuk berdemorasi dalam wadah negara republik. Demokrasi menurutnya menunjukkan adanya hak rakyat untuk memilih pemimpinnya dan keharusan menjalankan syura, sementara bentuk negara republik berarti setiap warga negara berhak untuk menjadi pemimpin, berlainan dengan sistem monarki yang membatasi hak kepemimpinan hanya pada keturunan atau kerabat raja. Semua ini menurutnya adalah ajaran Islam itu sendiri (h. 116, 124, 149)

Fazlur Rahman mungkin tidak cermat menangkap esensi demokrasi, yang cenderung dipandang hanya dari sisi kekuasaan (as sulthan) daripada sisi kedaulatan (as siyadah). Dari sisi kekuasaan, memang ada kemiripan Islam dengan demokrasi. Keduanya menyatakan bahwa rakyatlah yang berhak memilih penguasa. Namun ada perbedaan prinsipal di antara keduanya yang sering diabaikan orang. Dalam demokrasi, rakyat memilih penguasa, yang akan menjalankan hukum buatan rakyat. Sebab, rakyatlah yang membuat hukum, sebagai manifestasi konkrit konsep kedaulatan rakyat. Dalam Islam, rakyat memilih penguasa, yang akan menjalankan ketentuan syariat, bukan hukum buatan rakyat. Sebab, rakyat tidak berhak membuat hukum. Yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT semata (Abdul Qadim Zallum, 1983). Allah SWT berfirman :

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS Al An’aam : 57)

Namun demikian, manusia diberi kewenangan mengistinbath hukum syara’ dari dalil-dalil syar’i yang terinci melalui proses ijtihad yang shahih. Sedang dalam kehidupan bernegara, Khalifah (Imam) diberi kewenangan untuk mengadopsi (tabanni) hukum dan undang-undang syar’i untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat (An Nabhani, 1953).

Sedangkan bentuk negara republik bukanlah sistem pemerintahan yang Islami (An Nabhani, 1990). Sistem ini tidak diakui oleh Islam sebab berdiri atas dasar sistem demokrasi yang kedaulatan¬nya berada di tangan rakyat (as siyadah li asy sya’bi). Sedangkan sistem Khilafah berdiri atas dasar sistem Islam, yang kedaulatannya berada di tangan syara’ (as siyadah li asy syar’i).  Oleh karena itu seorang Khalifah tidak dapat diberhentikan oleh umat, walaupun umat memiliki hak untuk memilih dan mengawasi serta menasehatinya. Khalifah diberhenti¬kan oleh ketentuan hukum syara semata, yaitu apabila ia menyalahi hukum syara’ yang jenis  kesalahan mengharuskan untuk diberhentikan. Pemberhentiannya dilakukan melalui (keputusan) Mahkamah Madzalim, sesui QS An-Nisaa` : 59.

Jabatan seorang Khalifah dalam Islam tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu, tetapi dibatasi oleh (sejauh mana) pelaksanaan hukum Islam. Apabila dia tidak melaksanakan hukum Islam, maka dia diberhentikan, meskipun ia baru satu bulan diangkat. Sedangkan dalam sistem Republik, masa jabatan Presiden ditentukan dalam batas waktu tertentu.

Dari keterangan dan kenyataan ini, terdapat perbedaan yang sangat besar antara sistem Republik dengan sistem Khilafah. Oleh karena itu sama sekali tidak boleh menyebut bahwa pemerintahan Islam adalah Republik Islam, atau sistem pemerintahan Islam adalah sistem Republik dan bahwasanya Islam memiliki sistem Republik. Sebab, antara keduanya terdapat perbedaan dan pertentangan yang menyeluruh dan prinsipil.

Berdasarkan seluruh uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan, bahwa ide-ide Fazlur Rahman tentang negara Islam belumlah layak dikatakan sebagai konsep negara, apalagi konsep negara Islam. Lalu apa makna ide-ide Fazlur Rahman ini ? Dengan memperhatikan konstelasi politik  internasional yang ada sepanjang abad XIX- XX, di mana negara-negara Barat dengan ideologi kapitalisme-sekulernya telah mendominasi dunia termasuk Dunia Islam, semenjak hancurnya Khilafah Islamiyah di Turki 1924, maka ide-ide Fazlur Rahman hanya memiliki satu makna : melegitimasi dominasi dan hegemoni Barat atas Dunia Islam,  dengan cara melegitimasi sistem-sistem Barat yang sekuler agar seolah-olah nampak Islami dan diterima dengan ikhlas oleh umat Islam. Itu saja maknanya. Sederhana. Dan memang tidak ada makna lainnya. [Muhammad Shiddiq Al Jawi – Dosen STAIN Surakarta]

5 thoughts on “MENIMBANG KONSEP NEGARA FAZLUR RAHMAN

  1. Kalau saya pikir, sekedar memperkaya heterogenitas wacana konsep negara islam, tidak ada yang salah dengan konsep Fazlur Rahman sendiri. Toh taqiuddin an-nabhani sendiri hanya seorang dari sekian banyak penggagas konsep dakwah-ke-negara. Apa-apa yang dikatakannya bukan suatu hal yang lantas harus dipegang seratus persen. Perkembangan gagasan ini alangkah baiknya senantiasa di rombak lagi, disempurnakan dan kritisi, bukannya diterima bulat-bulat.

  2. Utk Innovabook :
    Anda mengatakan “apa-apa yang dikatakannya [taqiuddin an-nabhani] bukan suatu hal yang harus dipegang seratuis persen.”

    Pertanyaan saya, apa alasannya anda mengatakan demikian?

    Poinnya adalah, jika anda tidak setuju pemikiran An-Nabhani, tunjukkan kesalahan dia. Di mana letak kekeliruan an-nabhani? Jangan hanya mengatakan,”an-nabhani hanya satu dari sekian penggagas konsep dakwah ke-negara.”

    Kalau dikatakan bahwa an-nabhani hanya salah satu penggagas, apakah itu alasan yang cukup untuk menolak pemikiran an-nabhani?

    Berpikirlah wahai saudaraku! Sebenarnya TIDAK ADA HUBUNGAN antara proposisi :an-nabhani sebagai salah satu penggagas” dengan konklusi “tidak harus memegang pendapat an-nabhani 100 %.”

    JANGAN TERJEBAK PADA LOGIKA PALSU.

  3. salam,

    kapan bangsa ini akan maju, sementara satu sama lain saling gontok-gontokan.
    mengapa kita tidak menganggap “heterogenitas” ini sebagai rahmat.
    ga ada salahnya kl kita sedikit lebih dewasa

  4. Assalamu’alaykum wr. wb saudara Muslimku

    dear all,

    kita sebagai Ummat Muslim sudah sepantasnya membahas segala sesuatu berdasarkan syar’i, bukankah itu inti kita mengucapkan kalimah syahadat?

    demokrasi dari akar dan applikasinya sudah “terang-bederang” tidak sesuai syariat Islam (suara terbanyak menang).

    artikel ini sangat bagus bagi saya yang awam tentang sistem negara yg sesuai syariat Islam.

    bagi saudara Muslimku lain yg awam tntang syariat, mari kita sama-sama belajar, bukan malah menolak tanpa alasan

    semoga kita semua diberi hidayah-Nya, amiin

Comments are closed.