30 pakar Islam dari berbagai Negara menyoroti fenomena geliat politik umat Islam di Asia pasca 11 september 2001. Dimasa depan politik Islam akan berada di tangan kelompok non-liberal. Bukan kelompok radikal liberal
Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi *
Pada tanggal 15-17 Oktober yang lalu Japan International Institute of International Affairs (JIIA) mengadakan simposium tentang Islam in Asia, Revisiting the Socio-Political Dimension of Islam. Acara ini khusus untuk menyoroti fenomena bergeliatnya politik umat Islam di Asia, pasca peristiwa dramatis 11 september 2001.
JIIA? mengundang berbagai tokoh dari umat Islam yang dapat mewakili cara pandang umat Islam kebanyakan di masing-masing Negara. ?Simposium ?dibagi menjadi tiga sesi: Pertama tentang dimensi politik dalam Islam dalam kaitannya dengan demokrasi, sekularisme dan peraturan perundang-undangan (Rule of Law). Kedua meninjau peran dan partisipasi organisasi, kelompok dan partai Islam dalam politik negara yang memfokuskan pada studi kasus gerakan, organisasi dan kelompok Islam di beberapa Negara dengan fokus Indonesia, Mesir dan Singapore. Dan terakhir membahas tentang tingkat moderasi Muslim termasuk meninjau kelompok-kelompok radikal dan ekstrim dalam masyarakat Muslim.
Diskursus dalam simposium ini diarahkan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok dalam gerakan politik Islam baru kemudian mengkaji kelompok mana yang akan memimpin dimasa depan. Namun, dalam mengidentifikasi kelompok para peserta mempersoalkan klassifikasi umat Islam yang selama ini didominasi oleh terminologi dan stigmatisasi Barat.
Undangan dibatasi masing-masing Negara satu orang. Kecuali Malaysia, dalam hal ini IKIM (Institut Kefahaman Islam Malaysia) yang telah menjalin kerjasama dengan JIIA selama 10 tahun. Total peserta sekitar 30 orang itu terdiri dari 7 orang utusan Malaysia, 8 orang dari utusan universitas di Jepang dan 8 orang utusan Negara-negara.
Diantaranta Wakil dari Negara Tunis Prof. Abdelmajid Bedoui, dari Turki Yasar Yakis, dari Pakistan Dr. Sohail Mahmud, dari Iran Dr. Seyed Rassoul Mousavi, dari Mesir Dr. Diaa Rashwan, dari Muslim Inggeris Dr. Azzam Tamimi, dari Singapore, Dr. Syed Muhd. Kahirudin al-Juned, dari Jepang Dr.Takayuki Yokota dari Indonesia diwakili oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Direktur INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization) dan dari Amerika diwakili Dr. Angel Rabasa, Senior Policy Analiysty, Rand Corporation. LSM yang selama ini menawarkan strategi kepada pemerintah Amerika bagaimana meliberalkan negara-negara Islam. Sementara wakil dari Malaysia diantaranya terdiri dari oleh Tun Datok Seri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid, Dr. Syed Ali Tawfik al-Attas, Prof.Dr. Mohd? Nor Wan Daud, Dr. Mohd Sani Badrun dan lain-lain.
Demokrasi, Sekularisme dan Islam
Masalah yang mendasar sebelum mengkaji gerakan politik Islam adalah meninjau hubungan konseptual demokrasi, sekularisme dan Islam. Yang menjadi pertanyaan penting adalah apakah Islam dan demokrasi itu sesuai (compatible). Bagi Dr. Syed Ali Tawfik al-Attas, istilah demokrasi dan juga sekularisme yang kini mulai dipertanyakan sebagai standar kehidupan politik modern, sebenarnya membingungkan ketika harus didefinisikan. Sebab definisi pun tergantung kepada cara pandang masing-masing ilmuwan. Namun, kajian serius tentang kedua prinsip itu ujung-ujungnya adalah kebebasan dan keadilan, kesimpulan yang sama ketika orang mengkaji politik Islam, meskipun dalam pengertian yang berbeda. Namun ini tidak berarti bahwa sistem demokrasi Barat sepenuhnya sesuai dengan Islam, ungkapnya.
Dr. Azzam Tamimi, Direktur London Based Institute of Islamic Political Thought (IIPT), London, dan Dr.Sohail Mahmud, Dekan Fakultas Politik dan Hubungan Internasional di International Islamic University Islamabad Pakistan sependapat bahwa prinsip-prinsip demokrasi telah terdapat dalam politik Islam. Bahkan menurut Tamimi Barat telah memodifikasi sistim shura dalam Islam menjadi demokrasi. Hanya saja jika Syed Ali Tawfik mempersoalkan teori demokrasi Barat, Sohail memandang bahwa praktek teori demokrasi ini dalam sejarahnya selalu saja bermasalah, sehingga tidak heran jika diantara umat Islam ada yang menerima dan ada yang menolak.
Itulah sebabnya Yasar Yakis, Ketua Komisi Uni Eropah pada parlement Turki, memandang bahwa hanya sekedar adanya prinsip shura kita tidak dapat menyimpulkan bahwa Islam sesuai dengan demokrasi, sebab dalam demokrasi masih terdapat makna kebebasan, kejujuran, keterbukaan dalam pemilihan umum. Berbeda dengan ketiga pendapat sebelumnya Yakis memandang bahwa secara teoritis demokrasi dapat dilaksanakan di Negara Islam tanpa merusak ajaran agama. Hanya saja prakteknya banyak Negara-negara Islam yang bukan merupakan contoh Negara demokrasi yang baik, demikian pula banyak Negara non-Muslim yang tidak dapat menjadi contoh demokrasi. Oleh karena itu tidak adanya demokrasi tidak dapat selalu dikaitkan dengan Negara Islam.
Bergandengan dan selalu digandengkan dengan demokrasi adalah sekularisme. Setiap negara sekuler pasti demokratis, untuk menjadi demokratis suatu negara harus menjadi sekuler sebeb demokrasi hanya dapat ditrapkan di negera sekuler. Persoalannya sekularisme sebagai sebuah konsep juga dianggap bermasalah. Tidak seperti demokrasi, sekularisme ditolak oleh semua pembicara sesi pertama sebagai sebuah konsep yang sesuai dengan Islam. Konsep ini datang kedunia Islam bersamaan dengan istilah-istilah lain seperti modernitas, Westernisasi, dan modernisasi dalam kaitannya dengan kolonialisasme.
Bagi Syed Ali, sekularisme adalah produk worldview Barat yang tidak cocok dengan Islam sama sekali. Sebab worldview Barat dan Islam kenyataannya memang sangat berbeda. Menurut Sohail sekularisme di Barat digunakan untuk memisahkan Negara dari otoritas agama, tujuannya agar kedamaian dapat dipertahankan dalam masyarakat yang plural. Dengan menganut sekularisme juga kewargaan Negara tidak ditentukan oleh agama dan kepercayaan, tapi tergantung kepada hak dan kewajiban masing-masing warganegara. Namun, kenyataannya di Negara-negara Islam sekularisme dipahami sebagai anti-agama dan anti-Islam. Mensitir Fazlurrahman, bagi Sohail sekularisme adalah “kutukan modernitas” yang menghancurkan universalitas dan kesucian semua nilai moralitas. Jadi sekularisme adalah bersifat atheistik.
Tamimi juga? melihat sekularisme sebagai pembebasan politik dari otoritas agama. Kolonialis berperan sangat besar dalam menyebarkan sekularisme ini. Sebab dengan konsep ini mereka dapat memarginalkan Islam atau menyingkirkan Islam dari proses restrukturisasi masyarakat pada masa kolonial dan paska kemerdekaan.? Muslim yang terpengaruh oleh ide ini jelas berpandangan bahwa agar maju, Muslim harus mengikuti Kristen. Muslim harus membatasi dirinya pada masalah-masalah spiritiualitas dan kehidupan pribadi saja. Mereka juga beralasan jika Islam dikaitkan dengan masalah sosial dan politik ia akan bertentangan dengan sains dan teknologi. Padahal, lanjut Tamimi, kajian mutakhir menunjukkan bahwa sains dan teknologi Barat bagi Muslim hanyalah bagian dari ilmu dan amal yang dapat dipelajari dan digunakan tanpa harus menghilangkan identitas keagamaan mereka.
Persoalannya kemudian apakah dengan sekularisme yang memisahkan agama dari politik kemudian suatu Negara dapat dijamin dapat menghasilkan sistim politik yang demokratis? Yasar Yakis menolak adanya kausalitas ini, artinya sekularisme tidak menjamin wujudnya demokrasi. Masyarakat uni Sovyet, contohnya, dibawah komunis adalah sekuler, namun bukan masyarakat demokratis. Sebaliknya masyarakat atau Negara yang tidak sekuler seperti Inggeris tidak dapat kita katakan sebagai Negara yang demokratis, katanya. Jika suatu masyarakat dipimpin oleh pemuka agama, maka sekularisme dan demokrasi sulit dilaksanakan, karena ada perbedaan tajam antara nilai-nilai modern dan ajaran agama. Perbedaan tajam itu, katanya, karena wahyu dalam Islam tidak relevan lagi untuk dunia modern sehingga syariah (hukum Islam) perlu disesuaikan dengan nilai-nilai modern. Seperti kasus potong tangan bagi pencuri, perbedaan bagian warisan laki-laki dan perempuan dsb. jadi satu-satunya jalan untuk menghindari kontradiksi antara ajaran agama dan tuntutan modernitas adalah sekularisme. Disini Yakis, yang mengakui tidak memiliki latar belakang studi Islam, terjebak dalam pemahaman agama yang sempit.
Maka dari itu pendapat Yakis langsung mendapat tanggapan dari peserta lainnya. Menurut Syed Ali,? kita seringkali salah faham bahwa begitu menyebut syariah yang terbenak dalam kepada kita hukum potong tangan, warisan, posisi wanita dsb.? Padahal inti tujuan hukum Islam itu universal. Inti dari syariah dalam Islam adalah penjagaan nilai-nilai universal mengenai keadilan, kebebasan, kemanusiaan, persamaan hak, perlindungan diri, harta, nyawa dsb. Bagi Rashwan, dari Mesir, untuk menjembatani teks al-Qur’an dengan masalah-masalah kontemporer sudah tersedia alatnya yaitu ilmu Usul Fiqh (legal philosophy). Azam Tamimi sependapat dengan Rashwan menekankan bahwa persoalan di zaman modern dapat diselesaikan melalui cara ijtihad dan pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Jadi, karena Islam telah memiliki prinsip-prinsip sendiri yang tidak bertentangan dengan demokrasi, politik Islam tidak perlu dikaitkan dengan konsep demokrasi dan sekularisme. Namun, pertanyaan yang netral tapi cukup menyentak datang dari Kunihiko Miyake, Presiden, AOI Foreign Policy Institute, Tokyo. Menurutnya, jika hubungan konseptual antara Islam dan demokrasi bermasalah, nampaknya kita tidak perlu mendiskusikannya. Dan kritikan Barat terhadap politik Islam juga banyak yang tidak relevan. Anggap saja demokrasi adalah jalan atau sarana, tapi masalahnya sekarang bagi Muslim adalah bagaimanakah dalam sistim Islam sendiri masyarakat dapat mengoreksi kesalahan penguasa. Bagi Rasoul Mousavi, Direktur Center for Studies of Central Asia and Caucasus, Iran, Muslim dapat menerapkan demokrasi sekuler atau religious. Realitasnya di negara-negara Islam demokrasi dengan pengertian yang berbeda-beda dapat berjalan dan dengan itu memungkinkan bagi Muslim untuk mengoreksi penguasa. Mungkin, maksud Mousavi adalah demokrasi dapat dilaksanakan dalam perspektif Islam.
Gerakan politik Islam
Lalu bagaimanakah gerakan politik Islam berpartisipasi dalam proses demokrasi? Tiga Negara yang menjadi sorotan JIIA untuk di kupas secara khusus adalah Indonesia, Singapore dan Mesir. Penulis mendapat tugas untuk memaparkan fenomena kebangkitan politik Islam di Indonesia dan gerakan-gerakan yang dianggap radikal dan ekstrim. Sementara Dias Rashwan mengupas mengenai gerakan Islam di Mesir, khususnya Ikhwan Muslimun, sedangkan Kahiruddin al-Juned membahas mengenai gerakan Muhamadiyah di Singapore. Kebangkitan politik Islam di Indonesia paska Orde Baru penulis lacak pertama-tama dari fenomena global kebangkitan Islam. Kemudian dari dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan depolitisasi umat Islam Orde Baru yang opressif, dan dukungan terhadap ide pembaharuan yang membawa gagasan sekularisasi dan rasionalisasi.
Dari akibat fenomena global, Muslim Indonesia mengalami peningkatan kesadaran keagamaan yang cukup tinggi, wanita berjilbab bertambah, shalat Jum’at di masjid-masjid pernuh, ceramah kultum di kantor-kantor menjamur, jumlah media massa Islam meningkat dsb. Sementara dampak dari depolitisasi umat Islam dan juga mahasiswa Islam justru membangkitkan gerakan bawah tanah. Gerakan mahasiswa berpindah dari student center ke masjid-masjid dalam bentuk kelompok kajian. Sementara ormas-ormas Islam yang selama Orde Baru ditekan menahan diri untuk tidak berpolitik, tapi ada pula yang bersifat gerakan bawah tanah (underground) dan bahkan ada yang menjadi ekstrim dan radikal.
Gaya pemerintahan Orde Baru yang opressif dan sekularistis justru menelorkan beberapa fenomena menarik: pertama bangkitnya partai-partai politik Islam seperti PKS, PBB, PAN, PKB, PBR dsb., suatu yang tak terbayangkan di zaman Orde Baru. Ini juga merupakan bukti bahwa slogan Nurcholish Madjid tahun 70 an “Islam Yes Partai Islam No” tak dapat dipertahankan lagi, artinya sekularisasi telah gagal. kedua tumbuhnya gerakan-gerakan sosial Islam yang datang dari kampus dan masjid-masjid, seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), FPI, Hizbuttahrir, KAMMI dan sebagainya. Juga timbulnya gerakan-gerakan jihad seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Lasykar Jihad dan sebagainya. Dan ketiga timbulnya gerakan liberalisasi yang merupakan kelanjutan proyek sekularisasi yang gagal.
Penulis kemudian membuat klassifikasi gerakan berdasarkan cara pemahaman terhadap Islam menjadi dua: Liberal dan non-liberal. Gerakan liberal diprakarsai oleh Jaringan Islam Liberal dan LSM yang sealiran dalam bidang pluralisme, feminisme dan gender, kebebasan, dan sebagainya. Sedangkan non-Liberal adalah organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan lain sebagianya yang telah ikut berjuang mendirikan republik ini bersama dengan penganut agama lain dengan tingkat toleransi yang sangat tinggi. Kini kelompok non-liberal bertambah dengan tumbuhnya partai-partai politik seperti PKS, PBB, PAN, PKB, PBR dsb. Akhirnya penulis memprediksikan bahwa dimasa depan politik Islam akan berada di tangan kelompok non-liberal dan bukan kelompok radikal atau liberal. [bersambung/www.hidayatullah.com]
Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)
Penulis berfoto bersama Dr. Azzam Tamimi
kiriman tetang politik islam