Saturday, 23 November 2024, 15:17

Oleh Kang Hari Moekti

Menjadi bagian dari sebuah keluarga besar memang menyenangkan, tapi sekaligus bikin kita ketar-ketir. Kenapa? Karena hubungan di antara anggota keluarga akan semakin kompleks. Hidup berdampingan dalam sebuah ikatan yang bernama keluarga juga bisa menciptakan benih-benih konflik. Ini sangat wajar mengingat anggota keluarga yang banyak dan beragam pendapat. Namun, bukan berarti hal itu tak bisa dikendalikan. Pendapat dan keinginan boleh berbeda selama hal itu masih dalam batas kewajaran dan bisa dipertanggungjawabkan. Tapi hubungan kekeluargaan atau silaturahmi harus tetap terjalin.

Sangat boleh jadi, dalam kondisi tertentu, muncul konflik. Tapi yakinlah, munculnya konflik itu adalah hal yang amat wajar. Bahkan bisa semakin mendewasakan kita dalam bersikap. Kita diuji untuk menyelesaikan setiap konflik yang terjadi dengan bijak. Tidak membela salah satu, atau menjerumuskan yang lain. Karena tujuan kita adalah melanggengkan ikatan tali kasih di antara keluarga.

Saya pernah mengalami masa-masa yang amat sulit dalam hubungan dengan keluarga. Dan saya kira semua keluarga pernah merasakan hal ini. Entah itu konflik antara anak dengan orangtua, kakak dengan adik, antara orangtua kita dengan paman, kakek, nenek, bahkan mungkin menantu dan mertua. Semua hubungan itu bisa menumbuhkan benih-benih konflik. Saya dengan saudara pernah tak harmonis. Itu terjadi karena perbedaan pendapat dan keinginan. Ini sangat berbahaya jika dikompori pihak ketiga. Untungnya, hubungan ‘panas’ itu tak berlangsung lama, dan memang saya tidak menginginkan untuk terus terjadi. Sayangnya, dalam kondisi seperti itu kadang di antara kita rada segan jika harus lebih dahulu minta maaf. Akhirnya, masing-masing ‘bertahan’ dalam pendapatnya. Apa nggak ada jalan untuk mencari titik temu?

Tapi yang saya lakukan, dalam kondisi seperti itu, adalah memulai untuk mendekati. Agak sulit jika masing-masing diam. Memulainya berat memang, tapi saya tetap mencobanya. Misalnya dengan sekadar menelepon atau kirim-kirim SMS. Jika masih belum cukup ada respon, saya coba mengirimi hadiah, bahkan menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumahnya. Yang terjadi saat itu, kebetulan anaknya sakit, jadi saya ada alasan untuk menengok. Ternyata, dengan pendekatan yang proaktif dari kita itu bisa menjadi jalan untuk memperbaiki hubungan. Jadi intinya kita sendiri kudu ngambil inisiatif lebih dulu. Mungkin ini mempraktikkan teori jemput bola, bukan menunggu bola.

Hasilnya, alhamdulillah tali kasih antara keluarga yang tadinya hampir putus terjalin kembali. Ternyata memang, hubungan dengan keluarga itu seperti benci tapi rindu. Kadang kita benci dengan sikap seseorang atau sebagian saudara kita, tapi kita juga rindu jika tak pernah bicara, tak pernah bertemu. Itu pula yang pernah saya rasakan. Saat terjadi konflik, biasanya malas bicara dan malas bertemu. Tapi, setelah kita coba untuk menyambungkan tali kasih itu, kerinduan itu serta-merta memenuhi suasana hati masing-masing.

Sobat pembaca, tali silaturahmi di antara keluarga kita harus tetap terjalin. Allah menyukai orang-orang yang memperkokoh hubungan di antara keluarga. Jadi, tak ada alasan untuk konflik berkepanjangan tanpa akhir dengan keluarga. Apalagi kita sudah dibina dengan ajaran Islam yang memang mengatur masalah ini.[]

[pernah dimuat di Majalah PERMATA, edisi Februari-Maret 2003]