Saturday, 23 November 2024, 16:45
gi826

gaulislam edisi 826/tahun ke-16 (5 Shafar 1445 H/ 21 Agustus 2023)

Alhamdulillah, kalo dibilang merdeka dan bebas dari penjajahan militer bangsa lain, kita setuju. Sebab, secara fakta saat ini kita nggak dijajah dalam artian ada operasi militer di negeri kita. Patut disyukuri. Bahkan setiap tahun kita memperingati dan merayakan hari kemerdekaan. Sudah 78 tahun negeri kita merdeka dari penjajahan militer bangsa lain.

Pendidikan juga bagian dari sejarah yang udah lama banget menyertai kehidupan kita. Sejak dari rumah, di lingkungan sekitar, hingga di sekolah dan perguruan tinggi, kita udah terbiasa mendapatkan pendidikan. Banyak yang berhasil terdidik dan mendapatkan banyak ilmu pengetahuan. Bahkan ada yang berkiprah di mancanegara dengan ilmu yang dimilikinya. Negeri kita nggak kekurangan orang-orang pintar. Alhamdulillah.

Bagaimana dengan adab? Nah, ini yang sepertinya kita perlu menggaris bawahi. Ada yang bagus, tetapi tak sedikit yang minim adab. Kita bisa saksikan sendiri sebenarnya hasilnya. Celakanya pula, yang minim adab itulah yang terekspos di media massa maupun media sosial. Sebab, secara fakta memang ada dan kita akui sebagai sebuah kegagalan. Meski tentu bukan secara umum, ya. Tetapi kebanyakan masih minim adab.

Contoh nih, belum lama ada beredar di media sosial dan kemudian media massa, ada guru yang dirundung alias di-bully siswanya sendiri. Dalam video yang diunggah itu tergambar seorang guru yang dirundung belasan siswanya sendiri. Di sebuah sekolah negeri di negeri kita. Miris dan prihatin. Kok bisa, ya? Siswa “ngerjain” gurunya. Mempermalukan gurunya dan itu direkam lalu disebarkan.

Ada juga guru yang dilabrak bahkan dijeplak (diketapel) oleh orang tua siswa yang nggak rela anaknya ditegur gurunya. Dari kabar yang beredar, guru tersebut menegur siswanya yang kedapatan melanggar, yakni merokok di lingkungan sekolah. Info lainnya, malah kabarnya merokok di kelas. Jelas dong, itu pelanggaran, ya ditegurlah. Rupanya siswa yang ditegur nggak terima lalu menunjukkan sifat pengecutnya dengan melaporkan kejadian tersebut ke ayahnya. Sang ayah panas hati, lalu melabrak ke sekolah dan begitu ketemu sang guru yang dimaksud, langsung diketapel. Ternyata, sang ayah tak jauh beda dengan anaknya, pengecut. Usai mengketapel guru dan berhasil melukai matanya, dia kabur. Untung ketangkep.

Belum lagi perundungan alias bullying antar siswa. Udah sering banget terjadi. Malah ada yang berakhir tragis dengan korban nyawa karena remaja yang di-bully nggak tahan lalu bunuh diri dengan melompat dari lantai atas bangunan sekolah. Ngeri.

Kalo mau diceritain ya banyak banget. Silakan kamu searching sendiri dengan kata kunci “perundungan” atau “bullying”. Jadi mikir. Sekolah ada, bahkan banyak. Murid yang pintar di sekolah nggak keitung jumlahnya. Namun, mengapa persoalan adab sangat minim? Bahkan ada juga di sebagian kecil pondok pesantren? Mengapa bisa begini? Padahal tujuan dari pendidikan di antaranya membentuk moral dan keadaban peserta didiknya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno dalam bukunya “Dibawah Bendera Revolusi” (1964) yang menjelaskan bahwa pendidikan merupakan arena untuk mengasah akal dan mengembangkan intelektualitas atau renaissance paedagogie serta keadaban. Sementara Sosiolog Durkheim dalam bukunya “Pendidikan Moral” (2003), optimis meyakini bahwa pendidikan adalah instrumen pembentukan moral manusia. (tempo.co, 21/8/2023)

 

Apa penyebabnya?

Sobat gaulislam, kalo kita pikir memang agak mengherankan. Gimana nggak, sekolah banyak, bahkan sejak tingkat PAUD alias Pendidikan Anak Usia Dini. Dilanjut ada TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK, dan perguruan tinggi dari level S1 sampai S3, bahkan ada yang pascadoktoral. Namun, adab tetap menjadi persoalan besar. Sebab, banyak yang level pendidikan tinggi saja, untuk buang sampah masih sembarangan, lho. Lempar gitu aja dari dalam mobil, atau dibuang ke tanah saat melintas di jalanan. Padahal, itu penting banget. Disiplin dan tanggung jawab. Kalo nggak ada tempat sampah, ya minimal ditaro dulu di dalam mobil, lalu buang nanti pas di rest area atau saat sampe rumah.

Itu baru soal buang sampah, yang masih ada aja yang sembarangan buang. Belum lagi kalo soal tanggung jawab. Jadi pengecut. Berani berbuat tapi nggak berani bertanggung jawab. Nggak tertib di antrean, pengennya nyerobot aja. Ngerokok sembarangan di mobil umum, menuliskan kata-kata kasar di media sosial, saling caci maki, menghina dan seabrek sumpah serapah. Belum lagi yang miskin empati, hilang kepedulian dan sebagainya. Orang tua nggak dihormati, yang muda malah di-bully. ini darurat adab.

Pertanyaannya, apa penyebabnya? Padahal lembaga pendidikan banyak dan orang pinter hasil pendidikan juga bejibun jumlahnya.

Dari literatur yang pernah saya baca, ada beberapa yang mungkin bisa menjadi penyebabnya.

Pertama, minim pendidikan karakter. Sistem pendidikan saat ini sering kali fokus pada aspek intelektual dan akademis, tetapi kurang memberikan penekanan pada pengembangan karakter, etika, dan nilai-nilai sosial. Ini dapat mengakibatkan individu memiliki pengetahuan yang baik namun kurangnya disiplin dan tanggung jawab. Coba deh kamu perhatiin, di sekolahmu ada yang model begitu? Pinter sih secara akademik, tetapi minim etika dan empati. Nggak semua, tetapi banyak.

Kedua, aspek lingkungan sosial dan budaya. Lingkungan di mana seseorang tumbuh dan berkembang dapat memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku dan adab mereka. Nilai-nilai, norma sosial, dan ekspektasi dalam lingkungan tersebut mungkin tidak selalu mendukung perkembangan adab yang baik. Maaf aja nih, kalo anak dibesarkan di lingkungan yang buruk, maka besar kemungkinan akan menyerap lebih banyak keburukan. Jadi, ini bahaya banget.

Ketiga, pengaruh media dan teknologi. Era digital dan media sosial dapat berkontribusi pada pergeseran nilai dan norma sosial. Paparan terhadap konten yang kurang mendukung nilai-nilai positif atau perilaku yang sopan juga dapat berdampak pada adab seseorang. Ini udah jelas terbukti, ya. Sekarang anak kecil aja, apalagi yang model kamu yang remaja, gampang untuk bisa akses ke internet. Padahal, konten di Youtube aja banyak yang nggak bermanfaat kalo nggak bisa memilih dan memilah. Bahasa dan perilaku buruk lebih mudah diserap. Aneh memang.

Keempat, ketidakcocokan antara teori dan kenyataan di lapangan. Adakalanya, apa yang dipelajari dalam pendidikan formal tidak selalu mudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa menghasilkan ketidakselarasan antara pengetahuan yang dimiliki dan kemampuan untuk berperilaku dengan adab yang baik. Ada disonansi kognitif. Ini juga bahaya. Di rumah misalnya diajarkan berbuat baik kepada teman, eh di lingkungan (baik lingkungan tempat tinggal maupun sekolah) malah banyak melakukan perundungan. Jadinya bingung, kan?

Kelima, kurangnya teladan. Ketika seseorang kurang memiliki teladan yang baik dalam hal adab dan tanggung jawab, hal ini bisa berdampak pada perilaku mereka. Teladan dari lingkungan keluarga, teman, dan masyarakat umumnya berperan penting dalam membentuk adab seseorang. Mestinya memang sejak dari rumah sudah ada teladan. Orang tua dan anggota keluarga yang lebih dewasa mestinya sudah mengajarkan adab sejak dini bagi anak-anak. Di sekolah sebagai bonus pendidikan dan tambahan wawasan adab. Mestinya begitu. Namun kenyataannya tak seindah harapan.

Kata Bung Karno, “Men kan niet onderwijezen wat men wil, Men kan niet oderwijzen wan men weet, Men kan allen onderwijzen wat man is.”

Terjemah bebasnya kira-kira, “Manusia tidak bisa mengajarkan sesuatu sekehendak hatinya, manusia tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, manusia hanya bisa mengajarkan apa yang ada padanya”. Ini kutipan Ir. Soekarno dalam bukunya berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” Djilid I, hlm. 613-614.

Keenam, faktor individu. Setiap individu memiliki karakteristik dan pengalaman unik yang dapat mempengaruhi perkembangan perilaku. Beberapa orang mungkin menghadapi kesulitan dalam mengembangkan keterampilan adab, meskipun memiliki pendidikan yang baik. Nah, kalo ini sih jarang terjadi, ya. Kecuali memang bebal banget. Kalo diajarkan, insya Allah bisa berubah. Sedikit demi sedikit, berproses. Namun, kalo memang nggak mau berubah, murni karena individunya, ya memang berat. Ini juga penyumbang masalah.

 

Solusi Islam

Sobat gaulislam, dalam Islam, peran orang tua sangat vital. Sebab, pendidikan pertama bagi anaknya akan diberikan oleh orang tua masing-masing. Kalo salah di awal, akan sulit (bukan tidak bisa), untuk mengubahnya.

Itu sebabnya, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya—belahan hatinya—di dunia dan di akhirat karena tidak memberi perhatian dan tidak memberikan pendidikan adab kepada mereka. Orang tua justru membantu si anak menuruti semua keinginan syahwatnya. Ia menyangka bahwa dengan berbuat demikian berarti dia telah memuliakan si anak. Padahal sejatinya dia telah menghinakannya. Bahkan, dia beranggapan, ia telah memberikan kasih sayang kepada anak dengan berbuat demikian. Akhirnya, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anaknya. Si anak justru membuat orang tua terluput mendapat bagiannya di dunia dan di akhirat. Apabila engkau meneliti kerusakan yang terjadi pada anak, akan engkau dapati bahwa keumumannya bersumber dari orang tua.” (dalam Tuhfatul Maudud, hlm. 351).

Berat memang bagi para orang tua, tetapi jelas ada pahalanya bila siap menerima konsekuensinya. Artinya, siap untuk mendidik anak-anaknya. Sebab, harus sudah rapi adabnya terlebih dahulu sebelum dia menimba ilmu.

Imam Sufyan ats-Tsaury adalah tokoh besar tabi’ at-tabi’in. Beliau seorang fakih yang disebut dengan amirul mukminin fil hadits (pemimpin umat Islam dalam hadits Nabi). Di balik ulama besar generasi ketiga ini, ada seorang ibu yang shalihah. Ibu yang mendidik dan menginfakkan waktu untuk membimbingnya.

Ketika Sufyan ats-Tsaury ragu untuk menuntut ilmu karena butuh modal, ibunya menyemangati dengan mengatakan, “Wahai Sufyan anakku, belajarlah! Aku yang akan menanggungmu dengan usaha memintalku”.

Ibunya menyemangati, menasihati, dan mewasiatinya agar semangat menggapai pengetahuan. Di antara ucapan ibunya adalah “Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, lihatlah! Apakah kau jumpai dalam dirimu bertambah rasa takutmu (kepada Allah), kelemah-lembutanmu, dan ketenanganmu? Jika tidak kau dapati hal itu, ketahuilah ilmu yang kau catat berakibat buruk bagimu. Ia tidak bermanfaat untukmu”.

Ada nggak ya para ortu yang mendidik anaknya model begini di zaman sekarang? Insya Allah ada, tetapi yang terlihat saat ini lebih banyak yang abai terhadap pendidikan anaknya, sejak dari rumah.

Kita juga akan tercengang dengan pendidikan dari ibunda para ulama lainnya. Kamu pernah dengar nama Imam Malik bin Anas rahimahullah? Ya, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Uwais, “Aku mendengar pamanku, Malik bin Anas, bercerita, ‘Dulu, sewaktu aku kecil, ibuku biasa memakaikanku pakaian dan mengenakan imamah untukku. Kemudian ia mengantarkanku kepada Rabi’ah bin Abi Abdirrahman. Ibuku mengatakan, ‘Anakku, datanglah ke majelisnya Rabi’ah. Pelajari akhlak dan adabnya sebelum engkau mempelajari hadits dan fikih darinya’”.

Kisah lainnya yang sangat populer di kalangan para penuntut ilmu, adalah kisah masa kecil Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Beliau bercerita, “Ibundakulah yang telah menuntun diriku hinggal aku hafal al-Quran ketika masih berusia sepuluh tahun. Dia selalu membangunkan aku jauh lebih awal sebelum waktu shalat Subuh tiba, memanaskan air untukku karena cuaca di Baghdad sangat dingin, lalu memakaikan baju dan kami pun menunaikan shalat semampu kami.”

Usai menunaikan shalat malam, sang ibu pergi ke masjid dengan mengenakan cadar untuk menunaikan shalat Subuh bersama Imam Ahmad semenjak beliau masih berumur sepuluh tahun. Sejak pagi hingga tengah hari, Imam Ahmad terus diajari ilmu pengetahuan oleh sang ibundanya. Luar biasa. Dan, kita tahu hasilnya, kan?

Kita ini udah lama merdeka, tetapi pendidikan kita belum menghasilkan orang-orang yang beradab. Banyak yang pintar, tetapi juga sekaligus koruptor. Apa kamu pikir mereka bukan orang terdidik? Terdidik, kok. Bahkan ada yang kuliah segala. Tapi adabnya minim. Banyak anak sekolah yang pandai secara akademik, tetapi juga doyan kekerasan dan bahkan nge-bully gurunya sendiri. Aduh, ngeri.

Dinukil dari laman tempo.co (21/8), jika krisis keadaban publik ini tidak ditanggapi serius, maka akan terus kita saksikan dan tonton berbagai kisah kasus kekerasan yang pelakunya adalah peserta didik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2020 merilis data hasil penelitiannya yang setiap tahun terjadi 200.000 pembunuhan anak muda usia 12-29 tahun. Ada 84 persen kasus melibatkan laki-laki usia muda atau remaja laki-laki yang berstatus pelajar. WHO menyatakan kekerasan pada anak muda menjadi isu kesehatan global yang harus mendapat perhatian serius.

Kata Ustaz Adi Hidayat dalam satu ceramahnya yang saya dengar dan ingat, “Adab itu hasil dari proses pendidikan. Sementara akhlak, adalah hasil dari ibadah.” Artinya, adab itu bisa universal, karena orang kafir saja bisa memiliki sifat displin, tanggung jawab, peduli, empati, dan sebagainya. Tetapi kalo akhlak, itu hanya dimiliki muslim, karena lahir dari proses ibadah. Ibadahnya benar, maka akhlaknya benar. Shalat terutama, itu bisa mencegah perbuatan keji dan munkar, jika benar dalam melakukannya. Niatnya ikhlas karena Allah Ta’ala, dan caranya sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Islam sebenarnya udah banyak menawarkan solusi, tetapi masih banyak orang tak tertarik dan tergerak untuk menerapkan Islam sebagai ideologi negara. Baru sebatas penerapan di individu dan keluarga muslim, itu pun yang paham pendidikan dan perjuangan dakwah serta masa depan peradaban Islam. Yuk, mulai dari sekarang, dari hal kecil yang bisa kita lakukan. Semoga perubahan besar bisa kita perjuangkan dan saksikan hasilnya. [O. Solihin | IG @osolihin]