Wednesday, 4 December 2024, 00:16

gaulislam edisi 670/tahun ke-13 (5 Muharram 1442 H/ 24 Agustus 2020)

Alhamdulillah, sudah di bulan Muharram lagi. Tahunnya sudah berubah. Kemarin masih 1441 H, sekarang jadi 1442 H. Usia kamu dan kita semua juga ikutan tambah angkanya. Walau, tentu saja jatah umur kita di dunia jadi berkurang dari yang telah ditetapkan Allah Ta’ala. Itu artinya, perjuangan kita untuk berlomba dalam beramal shalih, baik dari segi kuantitas maupun kualitas makin sedikit waktunya. Semoga kita bisa mengupayakan yang terbaik untuk kehidupan akhirat kita. Insya Allah.

Sobat gaulislam, tahun demi tahun terus berganti. Umat Islam di negeri ini masih tetap yang terbanyak secara jumlah dibanding kaum muslimin di negara lain. Namun demikian, belum tampak benar tanda-tanda kebangkitan Islam. Sudah ada, namun belum “creng” terlihat. Adakalanya malah antar sesama muslim masih juga berantem. Kok bisa? Ya, begitulah.

Jadi begini, masalahnya hanya dalam soal uslub dakwah alias cara berdakwah. Apalagi kalo ngomongin metodologi alias thariqah, banyak juga bedanya. Saling mengklaim yang terbaik dan paling benar. Hasilnya? Ya, perang di medsos. Masih mending ada yang menjadi penengah, walau beberapa malah jadi bikin tambah ruwet. Maklum, ngasih tahu mana yang benar dan mana yang salah, tetapi dengan cara yang nggak baik, bahkan lost adab. Jadi gimana tuh? Masyarakat awam ya nggak suka. Gagal? Ya, belum berhasil aja sih. Eh, sama ya?

Nah, mumpung momennya pas nih. Sebab, hampir semua kalangan kaum muslimin dari berbagai ormas, ragam kelompok dakwah, dan lintas madzhab lagi seneng-senangnya ngomongin masa depan Islam. Tepatnya, kebangkitan Islam. Era ini memang eranya kebangkitan Islam. Insya Allah.

Keistimewaan bulan Muharram

Mumpung bulan Muharram, yuk manfaatkan untuk beramal shalih sebaik dan sebanyak mungkin. Perjuangan dakwah juga kudu digencarkan untuk mengedukasi masyarakat bahwa kaum muslimin harus disadarkan agar mau berjuang bersama untuk menyongsong kebangkitan Islam.

Berdasarkan banyak literatur yang sudah tersebar, kamu kayaknya udah tahu dan paham juga kalo bulan Muharram ini adalah bulan yang istimewa. Supaya jelas, nih saya kutipkan dari rumaysho.com beberapa keterangan seputar keistimewaan bulan Muharram.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS at-Taubah [9]: 36)

Bulan haram yang dimaksud adalah bulan yang disucikan bagi kaum muslimin. Ya, seperti kalo menyebut Makah dan Madinah sebagai tanah haram, maksudnya adalah tanah suci. Haramain, berarti dua tanah suci (Makkah dan Madinah).

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakrah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)

Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram; dan Rajab.

Kenapa 4 bulan tersebut disebut bulan haram? Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat at-Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir)

Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan shalih yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latha-if al-Ma’arif, Ibnu Rajab al-Hambali)

Nah, dengan demikian, mumpung Bulan Muharram, juga sebagai awal tahun baru hijriah, inilah kesempatan kita untuk memanfaatkannya dengan banyak amal shalih. Dakwah, salah satunya. Mengapa dakwah? Sebab, dakwah adalah jalan untuk menyampaikan kebenaran. Baik lisan maupun tulisan. Kebenaran Islam, agar dipahami sebagai ideologi dan the way of life, jalan hidup. Semoga ketika Islam dipahami sebagai ideologi dan diperjuangkan agar tegak syariatnya, maka kebangkitan Islam tinggal menunggu waktunya. Semangat!

Bangkitkan kesadaran umat!

Sobat gaulislam, jangan merasa bahwa kamu masih muda lalu tidak perlu ikut terjun dalam dakwah. Itu keliru, Bro en Sis. Sejatinya, justru karena masih muda semangat biasanya masih kenceng. Nyali masih kuat dan idealisme mengakar kokoh. Itu sebabnya, banyak kebangkitan dipelopori oleh para pemuda. Ya, remaja seusia kamu. Ini terlepas dari caranya jitu atau kurang jitu, ya. Intinya ada upaya untuk meraih kebangkitan Islam. Ini yang perlu dicatat.

Oya, kesadaran itu bisa dimulai dari mana, ya? Bisa dari fakta sehari-hari. Kehidupan sehari-hari. Dieksplor dalam obrolan ringan berkualitas. Misalnya nih, diajak untuk berpikir: “apakah kemiskinan itu mutlak atau relatif?”

Nah, untuk menjawab pertanyaan ini tentunya dibutuhkan cara berpikir. Tentu nggak asal dong, ya. Nggak asal njeplak ngasih komen atau pendapat. Perlu dipikirkan matang-matang sebelum dilontarkan. Ini yang saat ini mulai hilang di tengah masyarakat. Sudah kehilangan daya kritis dan kesulitan menyampaikan pesan kebenaran dalam bahasa yang unik dan menarik, tetapi bisa dipahami maksudnya.

Kembali ke pertanyaan tadi, kemiskinan itu mutlak atau relatif? Kalo ada yang menjawab relatif, insya Allah pas. Jadi begini. Memang sebenarnya kemiskinan itu tak disukai banyak orang. Nggak ada yang sudi miskin terus. Pasti akan berusaha menjadi lebih baik dari itu, dan bila perlu kaya raya. Bener, nggak sih?

Lalu, bagaimana caranya agar bisa lebih baik alias nggak miskin-miskin amat? Ada niat, ikhtiar dan doa. Cuma itu? Ya, silakan dicari pendapat lain bila belum meyakinkan. Misalnya nih, tahapan awal adalah belajar sungguh-sunguh. Punya target juga. Kalo belajarnya optimal, maka ilmu yang didapat bisa banyak. Kalo ilmunya banyak, berarti tinggal memanfaatkanya untuk kebaikan. Rezeki insya Allah nyusul mendatangi. Asyik banget, kan?

Lalu apa tahap berikutnya? Akan mempertahankan apa yang sudah dimiliki agar bisa membantu sesama. Sehingga tak ada lagi di sekitarnya yang miskin. Ini yang dinamakan kebangkitan, Bro en Sis.

Bagaimana dengan kasus lain? Tetap sama, Allah Ta’ala nggak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang berusaha untuk mengubahnya.

Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka berusaha mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’d [13]: 11)

Menurut Imam Ibnu Katsir (nama lengkap beliau: Ismail bin Umar al-Quraisyi bin Katsir al-Bashri ad-Dimasyqi) rahimahullah dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan ayat ini. Beliau mengutip Ibnu Abu Hatim yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Asy’as, dari Jahm, dari Ibrahim yang mengatakan bahwa Allah pernah memerintahkan kepada salah seorang nabi dari kalangan kaum Bani Israil, “Hendaklah kamu katakan kepada kaummu bahwa tidak ada suatu penduduk kota pun —dan tidak ada penghuni suatu ahli bait pun— yang tadinya berada dalam ketaatan kepada Allah, lalu mereka berpaling dari ketaatan dan mengerjakan maksiat kepada Allah, melainkan Allah memalingkan dari mereka hal-hal yang mereka sukai, kemudian menggantikannya dengan hal-hal yang tidak mereka sukai.”

Selanjutnya Jahm ibnu Ibrahim mengatakan bahwa bukti kebenaran ini dalam Kitabullah (al-Quran) ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala, yang mengatakan (yang artinya): “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Nah, jika disederhanakan pembahasannya, perubahan ini bisa terjadi dari baik menjadi buruk. Perubahan tersebut disebabkan karena kedurhakaan mereka kepada Allah, atau disebabkan karena maksiat kepada Allah. Padahal, sudah ada ancaman juga, jika berubah dari taat menjadi durhaka, maka Allah akan memalingkan dari apa yang mereka sukai kepada hal-hal yang tidak mereka sukai. Ini sebagai konsekuensi atas perbuatannya.

Ini cocok dengan kondisi zaman sekarang. Kaum muslimin, meski secara jumlah banyak, namun seperti buih di lautan. Terombang-ambing dihempas gelombang. Tak punya arah dan tujuan. Banyak jumlahnya, tetapi mudah dipermainkan golongan minoritas di negeri ini. Jadi bagaimana bisa bangkit? Ini pertanyaan serius yang harus dijawab.

Lalu, apakah ayat ini bisa diterapkan pada kondisi sebaliknya? Maksudnya, dari buruk menjadi baik, juga melibatkan kaum tersebut. Allahu a’lam. Mungkin yang dimaksud misalnya saat ini durhaka dan banyak maksiat, lalu jika ingin menjadi orang yang bertakwa atau taat, konsekuensinya harus berusaha sekuat kemampuannya untuk mengubah dirinya jadi takwa. Itu artinya, memang ada peran dari kita sebagai manusia. Tidak serta merta begitu saja berubah. Ada upaya. Selain tentunya yang utama, niat yang ikhlas.

Ini seperti kondisi seseorang ingin mengubah karakter buruknya jadi karakter baik, tentu perlu upaya maksimal dari diri orang tersebut dengan niat kuat untuk berubah jadi baik. Jika tidak, maka nasihat dan motivasi dari orang lain–berapa pun jumlahnya–rasanya tidak mempan. Apalagi jika dinasihati dan dimotivasi sudah menutup mata dan telinga karena kesombongannya. Sulit.

Intinya sih, kebangkitan Islam pasti datang. Namun bukan berarti tak diupayakan untuk mewujudkannya. Maka, siapkan diri untuk menyambutnya. Kamu sudah siap? Mulai dari ngaji, lho. Lalu belajar banyak ilmu islami. Siapkan diri untuk terjun dalam dakwah. Mumpung momennya pas, bulan Muharram bulan hijrah. Beramal shalih jangan disia-siakan. Menyusun kekuatan untuk tegaknya Islam sebagai ideologi negara. Harapannya, seluruh kaum muslimin di seluruh dunia bisa menyatukan pikiran dan perasannya demi mewujudkan kebangkitan Islam. Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]