Thursday, 21 November 2024, 19:27

gaulislam edisi 312/tahun ke-6 (9 Dzulhijjah 1434 H/ 14 Oktober 2013)

Sobat muda, tanpa terasa waktu telah membawa kita menapaki Hari Raya Idul Adha tahun ini. Hari raya kedua bagi Umat Islam yang identik dengan semangat pengorbanan. Semangat pengorbanan yang ditularkan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam ketika ikhlas mengorbankan anak satu-satunya, yang begitu dicintai, yang kehadirannya telah lama ditunggu. Namun, demi menjalankan ketaatan pada Allah Swt., semuanya menjadi ringan untuk dikerjakan. Catet ya, Bro en Sis!

Masa itu memang sudah lama berlalu. Meninggalkan jejak kebaikan yang senantiasa menjadi pelajaran berharga untuk generasi sekarang dan masa depan. Namun, apakah semangat Nabi Ibrahim itu benar-benar menjadi pelajaran bagi kita semua? Terutama bagi dunia kita, dunia remaja yang kata orang ibarat dunia yang berapi-api ini? Mari kita lihat (ciee serius amat ya? Hehe…).

Di era globalisasi dan modernisasi ini, kehidupan para remaja seolah berada di ujung tanduk. Gimana nggak, setiap hari melalui media massa yang melingkupi kehidupannya, remaja digempur dengan pemikiran-pemikiran dangkal yang hanya mengutamakan kesenangan sesaat yang melahirkan sikap egois alias hanya mementingkan diri sendiri.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Padahal, kalau mau direnungkan, sikap egois itu sungguh tidak sejalan dengan sikap berkorban. Dalam hal belajar misalnya. Banyak dari remaja yang ingin nilai tinggi tapi ogah berkorban. Akhirnya apa? Malas belajar. Kerjanya hanya ngandelin teman buat nyontek pas ujian. Pengen hasil gede tapi ogah belajar. Hari-harinya malah dihabiskan untuk main game di warnet. Prinsipnya, yang penting diri sendiri happy. Nggak peduli sama teman sendiri yang sudah susah payah mengorbankan waktunya untuk belajar.

Hal lain, misalnya juga ngerokok. Nggak mutu banget kan? Masih remaja SMP atau SMA saja sudah ngerokok. Pakai duit orang tua hanya untuk dibakar begitu saja. tidak peduli lagi apakah orang tuanya pontang-panting, peras keringat banting tulang untuk mencari uang. Mungkin uang dari orang tua harusnya untuk bayar SPP dan beli perlengkapan belajar. Eh, kok malah dipakai buat beli rokok. Kalau sudah begini, di mana letak pengorbanannya? Kamu jadinya malah egois dan nggak menghargai pengorbanan orang tua.

Sobat gaulislam, kita juga bisa lihat dalam hal ketaatan pada ortu. Di jaman yang katanya modern ini, jumlah remaja yang benar-benar menjunjung tinggi ketaatan pada orang tuanya berada dalam urutan teratas. Masih banyak kita jumpai remaja yang ketika disuruh oleh orang tuanya, malah asik dengan dunianya sendiri. Disuruh nganterin ortu ke pasar, eh jawabnya malah ‘ntar dulu, lagi seru!’. Masih asik namatin level game kesayangan. Pengorbanan mentaati perintah orang tua telah berganti keegoisan menyenangkan diri sendiri dengan game kesayangan.

Masih banyak sebenarnya contoh dari ogahnya berkorban alias egois ini. Baik itu dalam hal pergaulan dengan kawan-kawan, dengan ortu, dalam hal belajar, bahkan dalam hal dakwah sekalipun. Seolah-olah dakwah menjelma menjadi lahan basah untuk mengeruk keuntungan materi yang sebanyak-banyaknya. Tidak mau ngisi pengajian kalau bayarannya secuil, tidak mau hadir kalau ustaznya dari harokah (gerakan Islam) lain, tidak mau hadir karena tempatnya jauh dan terpencil, dsb.

 

Berkorban juga harus benar

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Mungkin ada juga yang berkilah, loh! nyontek ini kan bagian pengorbanan saya untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Nggak gampang loh nyontek. Kalau ketahuan, bisa-bisa distrap guru di halaman sekolah sambil melototin matahari. Itu kan pengorbanan juga. Atau mungkin berkilah bahwa  ngerokok atau main game sampai tidak mengindahkan perintah ortu itu adalah salah satu bentuk pengorbanan diri untuk mencari kesenangan.

Atau juga mungkin ada juga yang berkilah bahwa dakwah dengan memungut bayaran tinggi itu adalah dalam rangka pengorbanan memenuhi kebutuhan ekonomi. Sebagai bentuk pengorbanan mencari nafkah. Apakah itu bukan bentuk pengorbanan?

Jawabannya iya. Itu adalah bentuk pengorbanan. Tapi tentu saja pengorbanan ke arah yang salah. Yup! Sebab sebenarnya sama sekali tidak pantas untuk disebut pengorbanan. Bagaimana disebut pengorbanan kalau menyusahkan orang lain. Pun apa pantas disebut pengorbanan bila perbuatan bahkan kelak merugikan kita sendiri.

Remaja yang terlibat tawuran misalnya, sekilas ia nampak melakukan sebuah pengorbanan. Pengorbanan untuk membela temannya, gengnya, kelompoknya, atau sekolahnya. Sepertinya mereka rela mati untuk sesuatu yang dibelanya itu. Namun, pengorbanan macam ini sebenarnya adalah bentuk pengorbanan ke arah yang salah. Istilah gampangnya salah berkorban.

Loh, bagaimana bisa disebut salah berkorban? Memang begitu adanya. Coba kita lihat. Seorang pelajar itu tugasnya adalah belajar dengan baik. Menuntut ilmu yang benar, sesuai dengan amanah orang tua. Eh, ini kok malah main anarkis di jalanan. Merusak fasilitas umum. Mencederai atau bahkan membunuh orang-orang yang juga mungkin tidak tahu menahu tentang urusan dua kubu yang bertikai. Hanya kebetulan lewat saja di lokasi tawuran. Dan tiba-tiba, batu melayang menghantam jidat. Huft! (bocor deh!)

Sobat gaulislam, tinggalkan berkorban untuk sesuatu yang sudah jelas dosanya macam itu. Sebaliknya kita fokuskan energi muda kita untuk sesuatu yang berguna. Istilahnya berkorban untuk sesuatu yang benar. Daripada pusing dengan tawuran, alangkah lebih baiknya bagi kita para remaja untuk berkorban dalam menuntut ilmu. Belajar dengan serius agar tidak perlu lagi kita bersusah payah untuk mencontek teman ketika ujian. Sungguh, pengorbanan macam ini akan membuat kita semakin pintar, memperjelas masa depan, dan membanggakan orang tua. Setuju? Akuuur!

Itu sebabnya, ketimbang menghabiskan energi untuk berkorban ke arah yang salah, alangkah lebih baik kita fokuskan energi itu untuk melakukan pengorbanan yang benar, pengorbanan yang diperintahkan syariat, yakni:

Contoh pertama, misalnya pengorbanan dalam susahnya mencari ilmu. Menjadi pintar memang bukanlah sesuatu yang instan. Tidak ada manusia di dunia ini yang begitu lahir langsung pintar. Bahkan untuk berbicara saja, sang bayi masih harus susah payah belajar. Juga untuk bisa berjalan, membutuhkan pengorbanan untuk mau belajar berjalan. Meskipun kadang ia harus jungkir balik, berkali-kali jatuh, tapi ia harus mau mencoba lagi dan lagi. Namun, semua pengorbanan itu tidak akan terasa manakala si anak sudah merasakan hasilnya, bisa berjalan.

Contoh kedua, misalnya dalam berbakti pada ortu. Tak jarang, seringkali kita mendapati orang tua kita menjengkelkan. Perintah sana-perintah sini. Ngatur sana ngatur sini. Membuat kita kesal. Namun di sinilah letak sebuah ujian. Ujian bagi kita untuk mau berkorban demi memenuhi apa yang diperintahkan oleh ortu pada kita.

So, selama perintah ortu adalah perintah yang baik, tidak mengajak untuk berbuat maksiat pada Allah, maka sebagai seorang anak, apa pun kesibukan kita, kita wajib mengorbankan kesibukan itu guna memenuhi panggilan atau perintah ortu kita. Kenapa? Karena ini adalah sebuah pengorbanan yang diperintahkan oleh Allah Swt. Sungguh, ketika kita bisa memenuhi pengorbanan ini, maka pahala yang besar dari Allah Ta’ala sudah menunggu kita.

Contoh ketiga, misalnya dalam berdakwah. Aktivitas dakwah adalah aktivitas yang mulia. Ia adalah aktivitas yang dilakukan oleh para nabi. Mendakwahi manusia, menyeru mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Masalahnya, kadang orang enggan berdakwah karena menganggap dakwah adalah sesuatu yang tidak menghasilkan apa-apa. Alih-alih mendapatkan uang, seorang pendakwah kadang dituntut untuk mengeluarkan uang. Tentu saja bagi mereka yang mengerti, di sinilah letak kesempatan untuk berkorban dalam dakwah. Mereka secara ikhlas mengorbankan harta atau bahkan nyawa di jalan dakwah. Prinsip ‘hidupilah dakwah dan jangan mencari kehidupan dari dakwah’ seolah melekat di dada mereka.

Contoh terakhir, dan ini khusus buat mereka yang mampu secara materi, adalah dengan mengorbankan materi itu dengan ikut berkurban di Hari Raya Idul Adha. Sungguh, ini berat bagi yang tidak mengerti arti sebuah pengorbanan.

Sobat muda pembaca gaulislam, kita, para remaja yang hidup di jaman modern ini seharusnya bercermin pada kisah para sahabat yang dengan ikhas semata mengharap ridho Allah mengorbankan harta, tahta, bahkan nyawa mereka demi tegaknya Islam. Mereka serasa ringan saja melakukansemua itu.

Lihatlah, bahkan seorang Ali bin Abi Thalib ra. yang saat itu masih sangat muda, rela mengorbankan diri dengan menggantikan Rasul di tempat tidur beliau di malam Hijrah. Ia sadar betul bahwa dengan menggantikan tidur di tempat tidur Rasul di malam itu, itu sama artinya dengan menggantikan mati.

Mungkin di jaman ini orang-orang lebih suka jika menjadi pengganti  camat, lurah, atau presiden. Tapi kalau sudah ditawari untuk menggantikan mati, tak banyak orang yang mau atau bahkan lari pontang-panting menghindar.

Namun, para sahabat tidaklah gentar dengan kematian. Mereka bahkan mencari syahid dengan ikut dalam berbagai peperangan melawan orang-orang kafir. Tak terhitung lagi berapa korban nyawa para sahabat yang gugur dalam pertempuran di Perang Uhud, Perang Badar, dan perang-perang lainnya. Namun sekali lagi, mereka seakan ringan bahkan senang melaksanakannya. Kenapa? Karena mereka sudah sangat mengerti arti sebuah pengorbanan. Mereka yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan pengorbanan mereka. Akan membalasnya dengan balasan yang sempurna.

Itu sebabnya, masihkah kita berpikir panjang untuk berkorban demi apa-apa yang diperintahkan Allah? Ataukah kita masih antusias dengan jenis pengorbanan yang tidak jelas juntrungannya alias pengorbanan palsu? Sebagai remaja muslim yang baik, tentu kita memilih pilihan yang pertama. Berkorban di jalan yang benar dan ikhlas. Semoga. [Farid Ab | Twitter: @faridmedia]

1 thought on “Murnikah Pengorbananmu?

  1. TERIMA KASIH SUDAH BANYAK MEMBERIKAN WAWASAN KEPADA SAYA, SEKARANG SAYA UNTUK MENGIJINKAN SAYA UNTUK MEMBERIKAN WAWASAN INI KEPADA SAHABAT DAN MASYARAKAT DI DAERAHKU . TERIMA KASIH BANYAK BILA MENGIJINKAN (SEMOGA ALLAH MEMBALAS AMALMU)

    Silakan. Semoga memberi manfaat ilmu dan pencerahan berpikir 🙂
    Redaksi gaulislam

Comments are closed.