Didalam banyak peristiwa, fakta menunjukkan bahwa ketika umat Islam tertindas, mulai dari lembaga-lembaga lokal yang mengklaim sebagai �pembela’ HAM sampai lembaga internasional diam seribu bahasa. Sebaliknya, teriakan mereka demikian lantang bila hal yang sekalipun jauh lebih kecil menimpa umat lain. Lantas, perlukah umat Islam berharap kepada slogan HAM yang digembar-gemborkan Barat? Bagaimanakah Islam mensikapi hal ini?
HAM Memang Bukan Untuk Umat Islam
Banyak peristiwa meyakinkan bahwa HAM bukanlah diperuntukkan bagi umat Islam. Kondisi terakhir pemilihan presiden Turki, Kasus FIS yang diberangus atas nama demokrasi, embargo ekonomi terhadap Irak, dan kasus Bosnia Herzegovina merupakan secuil contoh standar ganda HAM. Demikian pula di dalam negeri, hal ini ditunjukkan dengan amat jelas dalam banyak peristiwa seperti peristiwa Doulos, penyelidikan kasus Tanjung Priok, dan peristiwa Maluku. Jelas, dilihat dari segi penerapannya, sesuatu termasuk HAM atau tidak tergantung kepada lembaga yang berwenang memberikan penilaian. Dan secara umum, memang HAM bukan diperuntukkan bagi umat Islam, melainkan bagi kafir Barat imperialis dan para pengikutnya.
Tidak sebatas ini. Secara paradigmatik, HAM ini bertentangan dengan Islam. Sebab, dalam HAM yang berhak menentukan mana yang menjadi hak bagi manusia dan mana yang tidak adalah manusia itu sendiri. Jadi, di dalam konsep HAM agama (Islam) tidaklah menjadi satu perkara yang diperhatikan. Sebaliknya, agama dan hukum-hukum Allah SWT disingkirkan atas nama HAM. Padahal, manusia merupakan hamba Allah SWT yang tugas utamanya adalah beribadah, yaitu tunduk, patuh dan taat kepada seluruh aturan-aturan yang diwahyukan oleh-Nya. Firman Allah SWT :
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepada-Ku” (Adz Dzariyat [51] : 56).
Di sisi lain, landasan HAM adalah 4 kebebasan: kebebasan ber’aqidah, kebebasan memiliki, kebebasan pribadi (berperilaku) dan kebebasan berpendapat. Melalui dalih kebebasan ini setiap orang bebas berpindah-pindah dan mencla-mencle dalam menganut agama, siapapun boleh memiliki apapun dengan cara apapun tanpa lagi memandang apakah yang dimilikinya itu tergolong pemilikan individu, umum, atau pemilikan negara. Melalui HAM itu pula legal bagi siapa saja untuk berbuat apapun selama tidak mengganggu orang lain, dan boleh berpendapat apapun sekalipun menentang, menghina, dan mengolok-olok hukum Allah SWT karena dijamin oleh kebebasan berpendapat. Padahal, dalam ajaran Islam, seluruh perbuatan manusia tidaklah bebas, melainkan harus senantiasa terikat dengan aturan dan hukum dari Allah SWT. Karenanya, dari bebagai dalil dalam Al Quran maupun As Sunnah para ulama menegaskan satu kaidah ushul yang berbunyi:
“Hukum pokok dari setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’.”
Ditinjau dari segi politis, slogan HAM merupakan upaya negara-negara imperialis pimpinan Amerika untuk menutup-nutupi kebobrokan mereka sekaligus sebagai sarana untuk mencampurbauri urusan dalam negeri negara lain. Seperti diketahui, persoalan lingkungan hidup, HAM, dan demokrasi di dunia merupakan salah satu kebijakan politik luar negeri Amerika. Dengan demikian, tidak mengherankan bila mereka hendak mengintervensi Indonesia lewat permasalahan Maluku dengan dalih HAM.
Berdasar hal tersebut, berharap kepada Barat dengan konsep HAM-nya untuk menyelesaikan masalah umat Islam hanyalah akan mendatangkan malapetaka dan murka Allah SWT saja.
Hak-Hak Syar’iy Bagi Manusia Dalam Perspektif Islam
Allah SWT menciptakan manusia dari tanah. Lalu, ditiupkan nyawa. Hiduplah manusia dengan karakteristik yang juga diciptakan Allah SWT berupa kebutuhan jasmani, gharizah, dan kemampuan berpikir. Allah SWT Dzat Maha Adil mengutus Rasulullah SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir untuk menyampaikan Islam yang berfungsi sebagai petunjuk, jalan lurus dan pembeda antara haq dan bathil. Siapapun yang mengelaborasi ajaran Islam akan menyimpulkan bahwa Islam telah menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang hamba. Demikian pula, Allah SWT telah mensyari’atkan hak-hak yang layak dimiliki oleh manusia melalui lisan Nabi Muhammad SAW. Dan kelak pada hari kiamat hak-hak tersebut akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Jadi, yang menetapkan hak apa saja yang dimiliki oleh manusia bukanlah manusia itu sendiri melainkan Allah SWT. Itulah hak-hak syar’iy bagi manusia (huququsy syar’iy lil insan).
Hak-hak yang dimiliki manusia yang dijamin oleh syara ada 3 jenis, yaitu hak dharuriyat, hak hajiyat, dan hak tahsinat.
Hak dharuriyat merupakan hak-hak yang berhak dimiliki oleh manusia yang menjadi landasan bagi kemuliaan hidup manusia, tegaknya dan stabilnya masyarakat dengan benar. Bila hak ini tidak terlaksana maka sistem hidup akan hancur, masyarakat akan kacau dan rusak, serta kenestapaan di dunia dan adzab di neraka akan disandangnya. Diantara hak dharuriyat ini adalah :
Hak dipelihara agamanya. Islam tidak memaksa seseorang non muslim untuk masuk Islam. “Tidak ada paksaan dalam menganut agama,” begitu makna firman Allah SWT di dalam surat Al Baqarah [2] ayat 256. Ini tidak berarti sebagai kebebasan beraqidah seperti dalam ideologi kapitalis. Sebab, seorang muslim yang murtad dari agamanya harus diajak diskusi oleh pengadilan, disuruh taubat, dan bila dalam jangka waktu tiga hari tidak kembali kepada Islam berhak dibunuh. Kata Nabi seperti diriwayatkan Imam Muslim : “Siapa saja yang mengganti agamanya (Islam) maka bunuhlah ia.” Jadi, dalam Islam tidak dibenarkan adanya kristenisasi atau westernisasi dalam keyakinan. Perkara-perkara yang dapat merusak â€?aqidah dan menjauhkan masyarakat dari Islam tidak boleh ada. Jika tidak, berarti melanggar hak syar’i’ bagi manusia dalam hal ini hak dipelihara agamanya.
Hak untuk dipelihara jiwanya. Allah SWT menegaskan dalam surat Al Isra [17] ayat 70 : “Dan sungguh Kami telah memuliakan anak-anak Adam (manusia)”. Allah SWT mengharamkan segala bentuk perkara yang mengakibatkan rusaknya nyawa manusia. Untuk itu, ada hukum qishash bagi pembunuh. Firman Allah SWT : “Dan bagi kalian di dalam hukum qishash itu terdapat kehidupan, wahai ulul albab” (QS. Al Baqarah [2] : 179). Jelaslah setiap orang —muslim mapun kafir dzimmi— berhak dilindungi nyawanya dari pembunuhan ataupun pembantaian.
Berhak dipelihara akalnya. Islam sangat meninggikan derajat akal. Sampai-sampai akal merupakan tolok ukur seseorang terkena beban (taklif) hukum. Islam juga mengangkat derajat ilmu, serta mengharamkan segala perkara yang dapat merusak akal seperti khamr, ganja, morphin, dan lainnya. Karenanya, keberadaan barang-barang tersebut di tengah masyarakat melanggar hak syar’iy bagi manusia.
Berhak dipelihara nasab keturunannya. Setiap orang berhak mengetahui ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Islam melarang mendekati zina dan melakukannya dan menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya. Bila belum menikah dicambuk 100 kali, dan jika sudah pernah menikah dirajam sampai meninggal. “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera” (QS. An Nur [24] : 2). Hal ini jelas berbeda dengan kebebasan pribadi dalam HAM yang memang serba boleh itu.
Hak dipelihara hartanya. Islam membolehkan manusia memiliki apapun asalkan dengan cara yang dibolehkan dan barang-barangnya dihalalkan. Di sisi lain Islam, Islam melarang siapapun mengambil barang milik orang lain dan memberikan sanksi pada pelakunya. Ajaran Islam pun membedakan jenis pemilikan individu, pemilikan umum, dan pemilikan negara. Semua ini adalah dalam rangka menjaga harta setiap orang.
Berhak dipelihara kehormatan dirinya. Setiap orang tidak boleh dituduh dengan tuduhan dusta, tidak boleh difitnah, dan juga tidak boleh dicemarkan nama baiknya. Semua ini dijamin di dalam Islam. Makanya, siapa saja yang menuduh seseorang baik-baik berzina, misalnya, dihukum delapan puluh cambukan. Sedangkan, tuduhan bohong lainnya dikenakan hukuman ta’zir (Abdurrahman Maliki, Nizhamul �uqubat fil Islam).
Hak mendapatkan keamanan. Islam menjamin keamanan bagi setiap warga negara baik dalam perkara kehormatan, harta, maupun nyawa. Pengabaian terhadap hal ini merupakan pengabaian terhadap hak syar’iy bagi manusia. Berkaitan dengan hukum terhadap perusuh dan pengacau keamanan Islam dan kaum muslimin Allah SWT menegaskan: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya” (QS. Al Maidah [5] : 33). Merujuk hal tersebut, apa yang menimpa muslim di Maluku dan daerah lain yang diusir dan diganggu keamanannya tidak akan terjadi dan berlarut-larut bila hukum Islam yang ditegakkan.
Berhak terpelihara negaranya. Islam telah mewajibkan kepada kaum muslimin untuk hanya memiliki satu negara di dunia. Keterpecahbelahan umat Islam menjadi 56 negara seperti sekarang merupakan pelanggaran terhadap hak syar’iy bagi manusia.
“Barangsiapa membai’at seorang imam, meletakkan tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak merampasnya maka penggallah leher orang itu.”
“Bila datang seseorang, sedangkan urusan kalian berada pada seorang, hendak memisahkan kalian atau memecah belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia” (HR. Muslim).
Hadits-hadits tadi menjelaskan bahwa kaum muslimin tidak boleh memiliki lebih dari satu jamaah kaum muslimin, yakni khilafah. Inilah wahyu Allah SWT yang disampaikan lewat mulut Rasulullah SAW. Jadi, adanya satu kepemimpinan umat saja di dunia dan keutuhannya merupakan hak sekaligus kewajiban seluruh kaum muslimin. Hanya sayang, tidak sedikit kaum muslimin masih tertipu oleh perjanjian Sykes – Picot (yang memicu munculnya negara Yahudi) yang menetapkan batas-batas negara. Padahal, Allah dan Rasul-Nya justru memerintahkan hal sebaliknya.
Adapun hak hajiyat merupakan perkara yang diberikan oleh Allah SWT sebagai keringanan. Misalnya, pada waktu tidak ada makanan apapun maka seseorang berhak untuk memakan makanan yang haram seperti bangkai. Sedangkan hak tahsinat merupakan segala perkara yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia.
Semua hak-hak tersebut akan terlaksana dengan diterapkannya hukum-hukum Islam. Bukan hanya umat Islam yang menikmatinya, melainkan juga non muslim yang menjadi kafir dzimmi dalam pemerintahan Islam. Sebab, hak-hak tadi bukan hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin saja melainkan juga bagi non muslim yang menjadi warga negara. Nampaklah, ketakberdayaan, ketertindasan, dan tercerabutnya hak-hak umat Islam di tengah belantara sekularisme ini hanya akan berhenti dengan ditegakkannya hukum Islam. Inilah langkah strategis yang mutlak terus diperjuangkan. Namun, tentu saja langkah-langkah praktis untuk menyelesaikan masalah kekinian perlu diusahakan. Sebab itu, muslim yang berharta meninfakkan hartanya untuk membantu saudaranya yang tengah terusir dan haknya dirampas. Mereka yang punya kekuasaan gunakanlah kekuasaannya untuk menghentikan kezhaliman atas kaum muslimin. Setiap muslim penting dan wajib mencurahkan kemampuannya untuk menolong saudaranya. Dan do’a kepada Allah SWT demi ketinggian Islam dan kaum muslimin tidak layak terputus.
Khatimah
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam,” demikian makna firman Allah SWT dalam surat Al Anbiya [21] ayat 107. Melalui ayat tersebut Allah Dzat Maha Pengasih lagi Penyayang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW merupakan rahmat bagi seluruh alam. Artinya, ajaran Islam yang diturunkan Allah SWT kepadanya merupakan rahmat bagi seluruh alam. Oleh sebab itu, seluruh umat manusia bila benar-benar rindu akan datangnya maslahat dan menjauhnya madharat mau tidak mau harus menerapkan seluruh syariat Islam. Itulah satu-satunya pilihan! Sebaliknya, mengikuti jalan-jalan lain hanya akan mendatangkan derita seperti nampak dalam realitas kekinian. [Buletin Al-Islam – Edisi 15]