Thursday, 21 November 2024, 19:45

Aktor kawakan Roy Marten, yang pernah membintangi film �Roda-roda Gila’ ini memang tengah apes. Polisi memergokinya ketika pria kelahiran 1 Maret 1952 bernama asli Wicaksono Abdul Salam ini tengah nyabu (istilah beken jika tengah menikmati shabu-shabu). Selain tertangkap telah menikmati narkotika jenis psikotropika itu, polisi juga menemukan barang bukti berupa 2 gram shabu-shabu di lokasi kejadian. Roy Marten ditangkap Kamis (2/2) di daerah Ulujami, Jakarta Selatan. (http://waspada.co.id, 03/02/06)

Kasus selebriti yang pake narkoba emang bukan yang pertama terjadi di negeri kita. Sebelum Roy Marten, sejumlah seleb pemakai narkoba yang ketangkep aparat terus kudu nginep di LP terekam rapi oleh media massa. Ada komedian Sudarmaji alias Doyok, Polo yang udah dua kali masuk bui, Ibrahim Azhari alias Ibra Azhari (adik kandung Ayu Azhari) atau Derri �4 sekawan’. Di kalangan seleb cewek ada Zarima sang �ratu’ ekstasi dan Ria Irawan yang terbukti menjadi pengedar sekaligus pemakai Dan masih banyak lagi.

Di luar negeri, seleb yang doyan pake narkoba juga bejibun. Mulai dari para personel The Beatles atau Guns N Roses sampe yang tewas lantaran over dosis seperti dialami oleh Brian Jones dari Rolling Stone atau gitarist legendaris, Jimmy Hendrix dan pentolan Nirvana, Curt Cobain. Bahkan putri Ozzy Osborena mengatakan “Saya ingin semua orang tahu bahwa jika kalian pikir wanita-wanita pirang (selebritis) itu bukan pecandu narkoba, percayalah, mereka pecandu. Karena saya pernah memakai narkoba bersama mereka,� aku Kelly blak-blakan seperti detikhot lansir dari Contact Music, Kamis (11/8/2005). Tuh kan!

Kenapa seleb pake narkoba?
Secara mental ternyata nggak sedikit selebriti yang belon siap dengan popularitasnya kemudian pake narkoba sebagai pelariannya. Terutama kesiapannya dalam menghadapi beban-beban psikologi yang menjadi konsekuensi profesinya. Di antaranya:

Pertama, toleransi antar teman. Berdasarkan penuturan selebriti yang udah sembuh dari kecanduan narkoba kebanyakan mengaku dirinya dulu mengonsumsi barang haram itu lantaran bujukan teman. Banyak di antara mereka yang terang-terangan menolak menggunakan bubuk atau pil setan itu, karena sadar benar akan akibatnya. Tetapi mereka yang â€?hard to say no’ dengan bujukan teman, akhirnya terperangkap dalam fatamorgana (Suara Merdeka, 03/08/05).? 

Kedua, untuk menggenjot kreativitas demi memenuhi permintaan fans. “…ketika baru memakai, kami merasa menjadi sangat hebat karena dalam sehari bisa menciptakan puluhan lagu. Kami merasa sangat luar biasa berkat narkoba. Tanpa kami sadari, hidup kami sedikit demi sedikit dihancurkan oleh barang haram itu,â€? ungkap Bimbim â€?Slank’. (idem)

Ketiga, kurang pede menghadapi tuntutan fans. “Semula aku pakai biar lebih pede aja ketika nyanyi di atas panggung. Kebayang nggak sih, nyanyi di depan ribuan orang yang mengelu-elukan kita. Kadang tiba-tiba kita merasa menjadi sangat takut dan kecil. Ketika memakai narkoba, aku menjadi lebih santai dan nggak peduli dengan jumlah penonton yang membludak. Penampilanku menjadi lebih baik di atas panggung. Tapi hidupku hancur,� kenang Ari Lasso mantan vokalis Dewa 19. (idem)

Sobat, secara umum sepertinya beban psikologi terberat yang dihadapi setiap selebriti adalah perasaan takut kehilangan ketenaran yang menjadi sumber penghasilannya. Sehingga mereka merasa harus selalu tampil sempurna di hadapan para pemujanya. Kondisi ini yang dikeluhkan Candil â€?Seurius’ dalam penggalan lirik â€?rocker juga manusia’: â€?…Mungkin orang menyangka ku tak pernah terluka/Tegar bagaikan karang, tabu cucurkan air mata/Kadang kurasa lelah harus tampil sempurna…’

Padahal, seleb juga manusia. Punya rasa punya hati alias punya keterbatasan. Nggak ada yang sempurna. Kalo nggak bisa terima keadaan ini, bisa berabe urusannya. Belum lagi �secuil’ iman yang masih nempel di hati juga jarang dirawat. Apalagi di-update. Walhasil, mudah termakan oleh mitos narkoba sebagai ramuan mujarab untuk meningkatkan percaya diri dan menghadirkan kemampuan yang tersembunyi. Kenyataannya, cuma fatamorgana. Ngerasa jadi hebat padahal mah lagi sekarat. Kacian deh situ!

Bagian dari gaya hidup seleb
Sobat, sepertinya penderitaan menjadi budak narkoba yang dituturkan Bimbim dan Kaka Slank, atau Ari Lasso gak ngefek ama seleb yang laen. Ada aja yang nekat tetep make. Kita jadi mikir, mungkinkah narkoba sudah menjadi bagian dari gaya hidup dunia selebriti? Hmm… ada baiknya kita liat dulu. Yuk?

Kalo kita amati, ternyata proses terjadinya penggunaan narkoba itu sederhana banget. Asalkan ada peluang alias kesempatan, ada yang nyediain, dan ada duit, narkoba dengan mudah merajalela. Parahnya, tiga faktor ini semuanya akrab dalam kehidupan seleb. Masa’ sih?

Pertama, adanya peluang dan kesempatan. Sudah umum diketahui kalo kehidupan seleb deket dengan kegiatan pesta pora semisal clubbing atau dugem. Padahal tempat itu jadi lahan subur bagi para bandar buat mencari mangsa baru. Dengan penawaran masa promosi dan MLM alias Marketing Lewat Mulut, pengunjung yang penasaran bisa mencobanya secara gratis. Apalagi situasi pesta yang hingar-bingar bin hura-hura bikin orang gampang terlena untuk pake narkoba. Udah deh, kalo nggak kuat iman, bisa-bisa dapet door prize yang bertuliskan: “Selamat anda memenangkan paket “PUTAUW HOLIDAYâ€?. Anda akan terbang dengan “INEX AIRLINESâ€? menembus awan “SABU-SABUâ€? menuju “LONG ISLANDâ€? dan bermalam di “POLDA!â€? huehehe…

Kedua, ada yang nyediain. Saat ini, jaringan pengedaran narkoba udah ada di mana-mana. Nggak harus ke dikotek atau club malam, kalo udah kejerat, info keberadaan �BD’ alias bandar gampang dicari. Bisa janjian di sekolah, stasiun, terminal bis, mal, pasar, atau tempat-tempat umum lainnya. Malah sang bandar bisa sampe ngejar-ngejar pemakai yang insyaf biar tetep jadi pelanggannya.

Seperti penuturan bintang sinetron Novia Ardhana yang telah insyaf dan kini aktif di LSM Granat alias Gerakan Anti Madat. “…mereka pasti akan melakukan segala cara agar kita kembali dan menggunakan narkoba lagi. Saya sempat merasa ketakutan setiap kali teman-teman dulu yang sama-sama menggunakan narkoba mencari ke rumah. Tapi akhirnya mereka jera dan saya benar-benar terbebas dari narkoba,â€? ujar ibu satu anak itu. (Suara Merdeka, 03/08/05)

Ketiga, ada duit. Banyaknya uang dan materi yang dimiliki selebriti dengan mudah memancingnya mencicipi gaya hidup hedonis. Kehidupan yang memuja kenikmatan jasadi ini sangat akrab dengan narkoba. Lantaran narkoba pada waktu pertama penggunaannya, akan membuat pemakainya sangat euphor, senang dan bahagia sekali. Meski kelanjutannya timbul ketagihan, kecanduan atau adiksi. Tapi apa peduli mereka ketika hawa nafsu dan duit udah bicara, mereka tetep ngotot mengejar kenikmatan sesaat sebelum akhirnya kualat dan sekarat. Waduh!

Nah sobat, keliatan kan kalo gaya hidup seleb yang cenderung bebas dekat sekali dengan narkoba. Meski nggak semua seleb pake narkoba, namun kehidupan sekuler yang mereka geluti bisa menjadi bom waktu yang dengan mudah akan menghanyutkannya dalam dunia maksiat demi merengkuh kenikmatan sesaat yang bikin sekarat. Gaswat!

Yang lebih gawat lagi, media sering kali nggak nyadar kalo keakraban seleb dan narkoba yang mendominasi pemberitaan media sama saja dengan mensosialisasikan citra narkoba dan gaya hidup modern. Padahal selebriti adalah orang yang paling banyak diidolakan. Bagi penggemarnya, idola nggak cukup sebatas sosok yang dikagumi aja. Biar lebih afdol dan trendi, perlu sampe nyontek dandanannya, cara berbicara, sampe gaya hidupnya. Begitukah?

Kalo infomasi yang disajikan kepada pemirsa—terutama remaja—nggak seimbang dengan dampak buruk narkoba dan ketegasan hukuman dari pemerintah terhadap pemakai maupun pengedar narkoba, malah bisa bikin penasaran. Berabe banget kan?

Say no to Capitalism-Secularism
Sobat muda muslim, bahaya narkoba emang udah jadi masalah kita bersama. Nggak cuma bagi kalangan selebritis. Kalo kita cuek, lambat laun kita juga yang bakal ngerasain akibatnya. Nggak cuma si bandar atau pemakainya aja. Kalo kita peduli, selain pahala dari Allah Swt., kita juga bakal dapet bekal tambahan buat mewaspadai dan menghindari jebakan-jebakan yang bisa menjerumuskan kita dan orang-orang yang kita sayangi.

Salah satu cara untuk membatasi penggunaan nakoba adalah memutus mata rantai peredarannya dengan menghancurkan pabriknya terus disegel alias ditutup. Kalo perlu, peralatannya dihancurin biar nggak dicontek atau dipake lagi ama orang laen. Dalam hal ini, negara paling bisa diandelin. Tapi dengan catatan, nggak boleh tanggung-tanggung ngeberantasnya. Jangan kayak yang udah-udah, yang digerebek cuma sampe para pelaku dan bandar kelas teri jengki. Sementara bandar-bandar kelas kakapnya yang dapet perlindungan oknum aparat enak aja lenggak-lenggok menjajakan barang dagangannya.

Nah, biar negara bisa diandelin kita wajib nyadar kalo benih-benih kehancuran masyarakat kita masih mungkin terjadi selama aturan Islam dijauhkan dari kehidupan. Sengsaranya hidup di bawah naungan sekulerisme dengan mudah mendorong orang untuk pake narkoba sebagai pelarian. Keuntungan dari bisnis narkoba yang menggiurkan bikin air liur para peracik, bandar, pengedar, sampe kurir tak mau berhenti menetes. Meski udah sering keluar masuk bui. Euleuh-euleuh teu kapok-kapok nya?

Ya, kalo mau pada kapok harusnya pemerintah jangan tetep ngotot pake aturan sekulerisme-kapitalisme dong. Buang jauh-jauh tuh aturan hidup buatan manusia yang belumuran hawa nafsu itu ke dalam recycle bin alias tempat sampah. Bakar, abunya dikumpulin, terus buang deh ke laut. Sebagai gantinya, pake aturan Islam yang udah pasti mujarab untuk ngatasin setiap persoalan hidup kita.

Khusus untuk kasus narkoba, sistem sanksi dalam Islam mengelompokkannya dalam perbuatan-perbuatan yang membahayakan akal. Sebagai hukumannya, di antaranya, : “Setiap orang yang menjual, membeli, meracik, mengedarkan, atau menyimpan nakotika, maka ia akan dikenakan sanksi jilid (cambuk) dan dipenjara selama 5 tahun, ditambah dengan denda yang nilainya ringan� (Sistem Sanksi dalam Islam, Hlm 294)

Penerapan syariat Islam oleh negara juga akan meminimalisasi dorongan orang untuk pake narkoba sebagai pelarian dari persoalan hidupnya yang tengah dihadapi. Lantaran individu masyarakat nggak sendiri ngadepin setiap masalah hidupnya, negara punya tanggung jawab besar untuk membantunya sampe masalahnya kelar.

Itu sebabnya, masuk akal dong kalo kita sama-sama mengkampanyekan penerapan syariat Islam sebagai undang-undang negara. Biar masalah nakoba maupun masalah laen yang diakibatkan negara salah urus rakyatnya tak lagi membuat hidup kita sengsara. So, nggak cuma say no to drugs, tapi juga say no to capitalism-secularism. Oke? [Hafidz]

(Buletin STUDIA – Edisi 289/Tahun ke-7/17 April 2006)