Sunday, 24 November 2024, 09:10

logo-gi-8.jpgEdisi 014/tahun I (19 Muharam 1429/28 Januari 2008)

Seorang penjual gorengan langganan saya bilang: “Mas, karena terigu dan minyak goreng mahal, mungkin awal bulan depan nih bakalan seribu rupiah sebiji,” katanya saat saya tanya harga tempe dan bakwan goreng, yang dijualnya saat ini kok udah naik jadi lima ratus rupiah sebiji, padahal ukurannya segede-gede upil (backsound: ih, itu masih mending dong, daripada upil yang segede-gede bakwan!)

Sobat, kita bisa ngerasain sih gimana susah dan beratnya kondisi ekonomi saat ini. Penjual gorengan di atas sekadar satu contoh, kita masih yakin ada banyak ribuan pedagang lainnya yang kebingungan jualan. Naikkin harga atau ngurangi ukuran barang dagangannya, sama-sama nggak enak. Kasihan ya? Belum lagi di rumah tangga, kalo ini sih hampir seluruh rumah tangga di Indonesia kayaknya perlu deh yang namanya terigu dan minyak goreng. Total bisa jutaan orang yang merana gara-gara naiknya harga sebagian bahan pokok tersebut.

Bro, kita juga kemarin-kemarin sempat dibuat kalang-kabut waktu tempe dan tahu ngilang dari peredaran, padahal bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah, kebutuhan protein paling mungkin adalah disuplai dari tahu dan tempe. Kalo ngarepin daging kayaknya tinggal impian aja (iya, masa’ sih mo nekat makan daging sendiri?”), terus berhenti berharap juga untuk dapetin telur karena harganya latah ngikut naik. Tapi gimana jadinya kalo sumber protein yang murah-meriah macam tempe dan tahu aja susah didapat? Sedih banget deh nasib kita-kita.

So, sebagai remaja bukan berarti kita berhenti atau ngelewatin pembahasan kayak beginian. Justru sebaliknya kita wajib peduli dengan kondisi seperti ini. Syukur-syukur kalo kemudian bisa memberikan kontribusi atau sumbangan pemikiran untuk nyadarin masyarakat tentang kondisi kita saat ini dan sebaiknya apa yang kudu dilakukan untuk menghadapi persoalan ini. Tul nggak sih? Jangan diem aja, apalagi PPH (Puluhak Polohok Heuay-itu bahasa Sunda, artinya: Bengang-Bengong, Nguap aja! Hihihi).

Boys and gals, remaja macam kita seharusnya nggak usah malu ngebahas dan tahu soal ini. Jangan cuma bisanya ngabisin duit jatah dari ortu untuk jajan menuhin perut aja atau untuk dugem semata. Kalo kita udah ngeh dengan persoalan ini, kan kita bisa ngasih pendapat untuk nyari jalan keluar dari problem ini. Setuju kan, Bro en Sis?

Kita bisa mandiri, kok

Tempe dan tahu yang sempat ngilang dan dicari-cari banyak orang ternyata bahan dasarnya, yakni kacang kedelai malah diimpor. Sekitar 60% adalah hasil impor dari Amerika Serikat. Maklum, konon kabarnya lebih baik ngimpor karena harganya murah ketimbang harus memberikan subsidi untuk produksi pertanian kedelai di dalam negeri yang belum tentu hasilnya bagus. Padahal, sekadar tahu aja ya, kebijakan impor ini bisa berdampak nggak sehat dan rawan manipulasi serta mudahnya mempermainkan harga. Bener lho. Bagi pengusaha importir yang nakal, atau kalo pun dikelola oleh badan negara tapi mental pejabatnya bobrok, ya bisa juga tuh barang ditimbun dulu. Nggak disalurkan langsung. Nah, ketika masyarakat panik nyari, baru deh dikeluarin tuh kacang kedelai kemudian dijual dengan harga mahal. So, yang menanggung derita adalah pengusaha kecil pembuat tempe dan tahu, penjualnya, serta end user macam kita-kita ini. Hmm.. itu sih ?pembunuhan’ massal secara perlahan-lahan namun pasti.

Bro, kalo emang kita ingin lebih mandiri, sebenarnya bisa kok. Iya, kita nggak mesti bergantung terus kepada orang lain atau pihak lain. Sementara kita hanya ongkang-ongkang kaki pengen nerima enaknya aja sambil berharap harga-harga murah. Beuuuh itu sih namanya Pungguk merindukan planet pluto (backsound: kalo pluto masih dianggap planet saat ini). Iya, maksudnya susah alias nyaris mustahil bisa menyelesaikan masalah, gitu lho.

Mandiri di sini maksudnya adalah kita bisa memberikan kesempatan kepada para petani kedelai di sini untuk menanam kedelai dan menjualnya dengan harga yang layak, bukan lewat para tengkulak tapi langsung ke badan pemerintah yang menangani persoalan ini seperti Bulog, misalnya. Jangan dibiarkan seperti sekarang, petani berjuang alone alias sendirian melawan importir yang jaringannya sudah menggurita di mana-mana. Kasihan deh para petani kedelai yang harus berjuang sendirian, wong klub sepakbola Liverpool aja masih punya dukungan dari liverpudlian alias fans berat Liverpool dan punya lagu ‘kebangsaaan’ You Will Never Walk Alone untuk menyemangati tim kesayangannya saat bertanding melawan rival-rivalnya.

Jika mekanismenya benar dan baik, insya Allah kita nggak usah berharap banyak kedelai buatan asing, gitu lho. Sebab, kalo dibiarin kayak gini-berharap dari barang impor, kita nggak punya bargaining position alias posisi tawar, bahkan untuk ngurus makanan “rumahan” dan murah seperti tempe dan tahu kesannya jadi nunggu jatah dan belas kasihan pihak lain. Hehehe, kalo dipikir lebih lanjut, mungkin kita bisa ketawa sendiri, jangankan bersaing di bidang teknologi komunikasi dan militer, wong mau produksi tempe dan tahu aja bahan bakunya nunggu jatah dari Amerika. Tragedi buanget, rek!

Memang sih nggak semudah ngebalikkin telapak tangan ngurus kayak ginian, tapi bukan berarti nggak bisa dilakukan kan? Asal ada kemauan dan usaha yang dilengkapi dengan doa, insya Allah nggak ada yang nggak mungkin untuk diraih. Kita jadi mandiri ke depannya dan nggak manut saja dengan kebijakan yang ada jika hal itu memang merugikan bahkan menyengsarakan diri kita dan seluruh masyarakat di negeri ini. Setuju?

Jangan impor budaya dan gaya hidup

Yup, kalo kekurangan beras dan kekurangan kacang kedelai sebagai bahan baku tempe dan tahu kemudian jalan keluarnya adalah ngimpor dari negara lain, mungkin kita masih bisa bertahan hidup dan sehat jasmani walaupun kudu keluar duit lebih banyak. Tapi gimana jadinya kalo yang diimpor adalah budaya dan gaya hidup yang rusak bin bejat?

Hmm.. kita udah bisa saksikan sendiri bahwa beberapa budaya negeri ini udah kalah pamor dengan budaya asing. Apalagi kalo bicara budaya Islam, mengingat sebagian besar penduduk negeri ini adalah kaum muslimin, wuih, jauh banget deh. Budaya Islam sebagai identitas kehidupan malah diilangin dan diganti dengan budaya sekuler yang jelas-jelas hasil impor dari bangsa lain.

Oya, impor-mengimpor sebenarnya boleh-boleh aja, selama yang diimpor adalah hal yang mubah macam barang kebutuhan pokok golongan pangan, atau ngimpor barang sandang sekalipun termasuk teknologi nggak masalah selama hal itu memang nggak ada hubungannya dengan akidah atau ideologi tertentu yang bertentangan dengan ajaran Islam saat harus menggunakan produk tersebut.

Nah, yang jadi masalah adalah kalo yang diimpor itu adalah sesuatu yang berbahaya, seperti gaya hidup yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oya, untuk yang mubah sekalipun, tapi kemudian upaya impor itu bikin kita nggak mandiri dan malas tentu bisa membahayakan juga. Karena kita jadi tergantung banget dengan negara lain untuk memenuhi hajat hidup kita tersebut. Tul nggak sih?

Sobat muda muslim, jangan sampe kita diperparah di berbagai sisi. Udah mah kita merana karena kebutuhan bikin tempe dan tahu aja harus nunggu jatah impor, untuk makan nasi aja harus menanti kucuran beras impor, eh untuk ngatur kehidupan kita pun malah rela menggunakan produk impor. Lengkap sudah penderitaan kita.

Kaum muslimin, tentunya hanya wajib menggunakan produk budaya dari Islam, bukan dari impor budaya asing yang bertentangan dengan Islam. Maka, aneh bin ajaib kalo ada seorang muslim yang menjadi aktivis berat seks bebas. Sebab, seks bebas tak pernah ada dalam ajaran Islam, dan itu hanya ada di jaman pra Islam dan jaman sekarang yang menganut ide liberalisme. Tentu saja, itu produk impor budaya yang membahayakan kehidupan kaum muslimin jika diadopsi oleh kaum muslimin untuk mengatur kehidupannya.

Demokrasi, HAM, sekularisme, liberalisme dan segala turunannya sama sekali bukan produk budaya Islam, tapi itu produk impor dari ideologi lain. Namun amat disayangkan, ternyata banyak kaum muslimin yang lebih bangga menyandang gelar liberal atau sekuler ketimbang menyandang gelar muslim yang taat kepada ajaran Islam. Anehnya pula, ternyata banyak intelektual muslim yang lebih merasa percaya diri berpegang teguh kepada demokrasi dan HAM ketimbang kepada al-Quran dan produk akidah dan syariat Islam lainnya. Tapi, inilah kenyataan di depan mata kita, di lingkungan yang setiap hari kita diami dan kita terlibat di dalamnya. Betapa parahnya kehidupan kaum muslimin. So, hentikan diam kita. Jangan sampe nasib “bangsa tempe” berpenduduk muslim terbesar ini mentalnya makin lembek dan kian keropos digerus liberalisasi gaya hidup dan dihempas kemiskinan yang kian menjadi-jadi.

Jalan keluar

Sebenarnya kita bisa mandiri dan bahkan kehidupan kita akan mendapat berkah dari Allah Swt. jika kita tetap berpegang teguh (beriman dan bertakwa) pada keyakinan agama kita. Allah Swt. berfirman:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS al-A’raaf [7]: 96)

Tapi yang terjadi sekarang? Beeuuh! Malu banget deh kalo harus ngomongin keimanan dan ketakwaan di antara kita. Bisa dibuktiin sendiri faktanya. Mana mungkin kalo beriman dan bertakwa dengan mantap masih aktif seks bebas, korupsi, membunuh, mencuri, memperkosa, menipu, ngisep ganja, pamer aurat, dan ragam tidak kriminal dan perilaku asusila lainnya yang nyaris setiap hari bisa kita tahu beritanya di media massa atau menyaksikan sendiri di lingkungan sekitar.

Maka, untuk memperbaiki nasib kita saat ini, ada beberapa langkah yang kudu ditempuh dengan benar dan baik: 1) perkokoh akidah islamiyah; 2) taat syariat Islam; 3) semarakkan dakwah Islam. Sementara untuk menempuh tiga jalan di atas, cara paling efektif adalah belajar. So, kalo emang mau berubah, tekadkan dengan kuat untuk mulai belajar tentang Islam dengan benar dan baik. Agar kehidupan kita lebih baik lagi dari sekarang. Lebih mandiri dan lebih kuat. Cukup sudah nasib buruk “bangsa tempe” sampe di sini saja. Kita songsong kehidupan yang lebih baik dan mandiri dengan landasan keyakinan dan prinsip hidup yang kokoh dan kuat, yakni akidah Islamiyah. Tetap semangat! [solihin: sholihin@gmx.net]

5 thoughts on “Nasib “Bangsa Tempe”

  1. Bagus! Isinya pas banget dengan kondisi yang ada sekarang. Kalau saja buletin ini sudah ada sejak saya SMA 10 tahun lalu, saya sangat yakin jika Islam akan diemban dengan mantap oleh para remaja. Salut buat Gaulislam dan penulis artikel ini. Bravo!

  2. Subhanallah….
    Saya sangat salut kepada penulis, semoga artikel ini dibaca oleh seluruh kaum muslim, terutama para remaja. Ditangan merekalah tanah air tercinta ini akan ditata. Banggalah menjadi bangsa tempe, karena tempe adalah makanan yang sangat membumi,sehingga hampir semua suku di Indonesia doyan makan tempe. Tempe lunak tapi bergizi, sampai-sampai negara lain telah mematenkan tempe sebagai makanan asli mereka.

  3. emang repot klo dah ngomong urusan perut. sayangnya pemimpin yang gi mimpin kita saat ne gi sibuk ngurusin urusan perutnya sendiri. jadi lupa klo yang laenjuga punya perut yangjuga musti diurusi urusannya. yah gene ene ktika urusan kita gak diurus dengan aturan yang benar, jadi sakit semua, eh…tapi yang laen ngrasa gak ya? ya rabb…..berilah kekuatan pada kami untuk memperjuangkan syariatMu agar segera terterapkan di bumi ini. kita dah bosen neh ya rabb, hidup zuuuuzaaaahhhh karena diurusi oleh pemenuh urusan ayang gak bener. hei….amin dunk sobat dahsyat ….!!!!!

  4. kalau soal tempe mau gimana lagi la wong kita ini aja ga’ bisa menuhi stok nasional. sekarang gini, para petani lebih memilih sawhnya untuk ditanami padi atau ga’ tebu yang dirasa lebih menguntungkan para petani itu sendiri, sedangkan para petani kedelai sendiri mulai beranjak untuk mengganti sawahnya dengan padi. pemerinatah sendiri meletakan kedelai sebagai pertanian prioritas ke-3 setelah padi dan tebu. bagaiman kita bisa memeuhi stok nasional kalau petaninya aja ogah nanam kedelai dan pemerintah sendiri menetapkan kedelai sebagai tanaman prioritas ke-3. ya terpaksa kita impor karena dirasa lebih baik. itulah salah satu bentuk kemiskinan struktural dimana petani lebih memikirkam perutnya daripada hasil jangka panjang nanti, bukan hanya petani saja tapi kita semua.

  5. syukron… isinya bagus bgt. Itung2 bisa ditempel di mading skul. Smoga temen2 yg gak kebagian GI bisa baca ini.. Syukron kstir! Sukses terus buat GI!!

Comments are closed.