gaulislam edisi 310/tahun ke-6 (24 Dzulqa’dah 1434 H/ 30 September 2013)
Sobat gaulislam, ini bukan kisah guru dengan nama Andilau. Sori kalo ada kesamaan nama ya buat bapak/ibu guru yang kebetulan namanya ada di judul ini. Ini sekadar ungkapan saja, untuk memberikan empati kepada para guru yang kondisinya sedang “Andilau” alias “antara dilema dan galau” Waduh, guru bisa dilema dan galau juga ya? Hehehe.. selama masih manusia, guru tentunya bisa berada pada kondisi tersebut, sobat.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Nah, apa itu dilema? Aduh, nulis kata dilema jadi inget lagunya Nelly (lagu jaman dulu, hehehe). Meski isi syairnya di lagu Dilemma-nya Nelly nggak terlalu berhubungan dengan yang akan kita bahas di sini. Masih belum ngeh juga arti dilema? Baiklah, saya buka kamus aja ya. Menurut penyusun KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), dilema itu artinya: situasi yang sulit dan membingungkan—harus menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan. Oya, kalo istilah galau sih kamu semua pada ngeh dah. Iya nggak? Hah, ada juga yang belum tahu definisi galau? Okelah, saya buka kamus lagi: ternyata galau itu artinya pikiran yang kacau tidak keruan. Nah, bukan tak mungkin kamu juga seringnya adalah galau. Hadeuuh.. jadi akur ama gurunya dong? Ooppss…
Wah wah, repot juga ya kalo ternyata guru kita kondisinya “andilau” alias antara dilema dan galau. Hehehe.. saya juga pengajar, Bro en Sis. Jadi insya Allah tahu betul kondisi guru-guru dengan status atau kondisi “andilau”. Misalnya nih, bagi guru yang udah punya keluarga, suatu ketika ada saatnya dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena pendapatan ekonominya kurang, tetapi juga harus membimbing murid-muridnya karena tugasnya emang mengajar. Nah, biasanya kalo nggak tahan dengan kondisi itu, dan nggak bisa bagi-bagi waktu untuk mengerjakan kedua tugasnya, jadinya bapak/ibu guru kita “andilau” tuh. Kasihan juga sih.
Oya, kondisi “andilau” yang menimpa guru juga bisa beragam. Kalo yang saya sebutkan di atas hanya salah satunya saja. Kondisi lainnya adalah guru yang masih lajang. Nah, guru lajang juga rawan terjebak dalam kondisi “andilau” ini. Umur sudah beranjak tua, tetapi Allah Ta’ala belum memberikan jodohnya buat guru lajang tersebut. Pada kondisi seperti ini, kalo nggak kuat nahan bebannya, bisa-bisa dilema dan galau deh. Mau berhenti ngajar nggak tega ninggalin murid-muridnya. Mau nerusin juga kadang sering nggak enak ati karena suka disindir teman sesama guru soal statusnya yang masih lajang, atau bahkan ada pula muridnya yang meledek. Aduh, kasihan pula kondisi guru kita ini. Namun demikian, banyak pula guru yang tak menampakkan kegalauan dan dilema dalam kehidupannya ini kepada murid-muridnya atau guru lain dengan alasan menjaga kehormatan diri dan juga harga dirinya.
Guru juga manusia
Sobat gaulislam, guru kita juga manusia. Itu sebabnya, tetap aja merasakan kondisi-kondisi psikologis seperti kecewa, marah, kesal, sedih, jengkel, termasuk galau dan dilema. So, ini artinya kita juga harus empati kepada guru-guru kita. Ternyata nggak cuma kamu aja yang butuh perhatian, guru juga butuh perhatian, orang tua juga butuh perhatian, bahkan pimpinan di jenjang pemerintahan atau di perusahaan pun tetap butuh perhatian dari bawahannya. Iya nggak sih?
Iya. Sebabnya memang manusia itu butuh diperhatikan, tidak hanya dianggap bilangan—tetapi juga ingin diperhitungkan. Kalo dianggap bilangan aja sih namanya pelengkap kehadiran dalam sebuah komunitas. Tetapi kalo udah diperhitungkan, seseorang itu akan menjadi istimewa karena amat dibutuhkan keberadaannya di sebuah komunitas atau kelompok.
Namun, ngomong-ngomong soal guru dalam kondisi yang “andilau”, kita patut berupaya untuk bisa menolongnya juga lho. Gimana pun guru adalah orang yang termasuk dekat dengan siswa, setelah orang tua mereka. Bahkan di masyarakat kita, guru ditempatkan pada posisi istimewa: digugu lan ditiru (dituruti dan dijadikan teladan). Nah, mengapa perlu ditolong? Yup, karena kondisi itu akan mempertakut dan membuat labil ekonomi (eh, ini kok jadi pake bahasa Vicky Prasetyo sih? Hihihi….). Oppss! Maksudnya, kita berupaya membantu guru kita yang berada dalam kondisi “andilau” ini supaya tak mengakibatkan keburukan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama murid-muridnya. Lha iya dong. Gimana nggak bikin bahaya kalo guru yang “andilau” ini malas mengajar, ogah peduli dengan kondisi muridnya karena dirinya juga butuh perhatian. Bahaya ini sih, Bro en Sis!
Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong guru kita yang sedang “andilau”? Upaya yang paling sederhana adalah, berusahalah untuk empati jika melihat ada guru yang ‘kerjaannya’ ngelamun aja di kelas. Sepertinya sedang banyak yang dipikirkannya selain urusan belajar dan murid-muridnya. Tindakan kamu adalah mencoba memberitahu guru lain agar bisa menanyakan perihal kondisi guru yang “andilau” itu dan ikut membantu memecahkan masalahnya.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Ya, guru juga manusia. Bukan hanya butuh perhatian lho, tetapi juga guru bisa salah dan bisa berbuat yang tidak baik. Tetapi memang akan menjadi persoalan berat tersebab posisinya sebagai guru. Padahal kan kalo bicara tentang dilema dan galau, semua orang juga rasa-rasanya pernah mengalami. Namun jika kondisi itu dialami seseorang dengan posisi tertentu dan memegang ‘jabatan’ publik (alias yang berkaitan dengan kepentingan umum), maka persoalan akan kian pelik. Seorang guru yang dilema dan galau dalam hidupnya akan mengganggu proses belajar dan mengajar, terutama bagi murid-muridnya. Seorang pemimpin pemerintahan semacam bupati atau walikota, hingga gubernur dan presiden akan lebih membahayakan masyarakat jika mereka berada dalam kondisi dilema dan galau yang parah banget. Hadeeeuh… jangan sampe deh!
Tugas berat guru
Jadi guru itu tugas yang berat. Gimana pun juga seorang guru selain harus menguasai materi pelajaran yang akan diajarkan ke murid-muridnya, seorang guru juga dituntut untuk bisa mendidik dan membimbing murid-muridnya. Meski saat ini tugas yang kedua tak sepenuhnya dijalani para guru atau semua guru bisa melakukannya. Ini bisa dimaklumi karena kondisi saat ini yang tidak ideal. Ya, nggak ideal dalam sistem pendidikan, sekaligus tentunya nggak ideal sistem kehidupannya. Apa sebab? Karena saat ini sistem kehidupan yang diterapkan oleh negara adalah sistem kapitalisme-sekularisme. So, untuk sistem pendidikan pun pastinya ngikutin arah kebijakan dalam sistem kapitalisme-sekularisme.
Bagi seorang guru muslim, pasti tugas ini tambah berat karena juga harus memikirkan masa depan murid-muridnya untuk memastikan mereka tidak saja menyerap ilmu dari seorang guru, tetapi juga memanfaatkan ilmu itu untuk bekal di akhirat kelak yang mengantarkannya ke surga. Hmm.. berat banget kan? Apalagi kalo gurunya nggak ngerti masalah ini. Ditambah pula gurunya sering mengalami “andilau”, khawatir tugas beratnya tambah nggak bisa dikerjakan.
Yup, itu bisa kamu pahami karena jika tugas berat seorang guru harus diganggu dengan seabrek dilema dan galau, gimana bisa mewujudkan tugas-tugas ideal sebagai seorang guru. Iya nggak sih?
Sobat gaulislam, sebagai murid kita harusnya memahami juga bahwa menjadi seorang guru itu sebenarnya bebannya berat karena tugas ideal yang dilakukannya juga nggak ringan. Namun demikian, para guru nggak boleh mudah mengeluh lalu putus asa. Nggak banget lah. Sebaliknya seorang guru harus bisa menjadikan murid-muridnya jauh lebih baik darinya. Maka, supaya guru bisa mengemban tugas beratnya dengan benar dan baik, maka perlu perhatian berlebih dari pemerintah, khususnya pihak berwenang yang bertanggung-jawab menangani sistem pendidikan.
Selain memberikan pelayanan kesejahteraan yang memadai, juga harus dibuatkan sistem pendidikan yang benar baik. Ya, sistem yang bukan saja memudahkan siswa bisa menyerap materi pelajaran, tetapi siswa wajib mengerti ilmu agama (Islam), memahaminya, dan yang terpenting mengamalkannya. Nah, ini hanya bisa diterapkan dalam sistem kehidupan Islam, bukan yang lain. Maka, buanglah kapitalisme-sekularisme, ganti dengan ideologi Islam. Jangan sampe menyesal kelak di akhirat ketika punya kesempatan untuk mengubah, kita tak melakukannya.
Oya, saya pernah dapetin keterangan di sebuah artikel bahwa dalam Islam, terdapat 4 level guru atau pendidik yakni: Pertama, Mudarris, yaitu guru yang hanya mengajar mata pelajaran kemahiran mereka saja. Kedua, Mu’allim, yaitu guru yang tidak hanya mengajar mata pelajaran mereka tetapi turut menyampaikan ilmu-ilmu lain. Ketiga, Mursyid, adalah guru yang menyampaikan ilmu dan menunjukkan jalan yang benar. Keempat, Murabbi. Ini lebih hebat lagi karena harus bisa menjadi guru yang mendidik, memelihara, mengasuh, mentarbiyyah anak didiknya menjadi manusia yang berilmu, bertakwa dan beramal shaleh.
Jadilah guru ‘super’
Bapak dan ibu guru, mohon maaf ini bukan menggurui, hanya sekadar memotivasi bahwa dalam kondisi apapun (termasuk saat “andilau” melanda dalam kehidupan pribadi bapak/ibu guru–dengan sebab apapun), tetaplah para guru bisa menunjukkan performa terbaiknya dalam mengajar, membimbing dan mendidik. Memang, kita juga harus memaklumi bahwa tak semua guru bisa melakukan semua tugas itu. Namun setidaknya, selain mata pelajaran utama yang diajarkan terserap murid, juga bisa membantu membimbing murid ke jalan yang benar menurut Islam. Ini super sekali. Sebagaimana murid, tetap ada yang bisa menghadapi kehidupannya dengan tenang dan bahkan berprestasi meski di sekelilingnya berpotensi bikin hidup mereka menjadi “andilau”. Mereka tetap bersabar meski hadapi dilema dan galau.
Sobat gaulislam, semoga Allah Ta’ala memudahkan tugas mulia bapak dan ibu guru kita untuk mengantarkan murid-muridnya menjadi orang yang sukses di dunia dan (tentu pastinya) di akhirat kelak, hingga kembali reuni di surgaNya Allah Swt. Aamiin. [solihin | Twitter @osolihin]