gaulislam edisi 442/tahun ke-9 (3 Rajab 1437 H/ 11 April 2016)
Alhamdulillah, bisa ketemu lagi dengan gaulislam ya. Ehm, judulnya mengingatkan pada salah satu judul buku saya yang terbit lima tahun lalu (2011), judulnya lumayan panjang: Ngaji, Sampai Nanti Sampai Mati. Ya, buku itu sudah diterbitkan lama sekali, jauh sebelum broadcast dan woro-woro kencang en semarak zaman kiwari berisi ajakan untuk ngaji. Bukunya sih tipis, nggak sampe 200 halaman. Itu buku saya yang kesebelas yang diterbitkan di penerbit yang sama. Isinya berupa pengalaman saya, pengalaman teman-teman saya sesama aktivis pengajian, juga pengalaman unik dan menarik selama ikut ngaji. Kalo mau beli bisa hunting, ada di toko buku online kok. Halah, ujung-ujungnya promosi. Hehe…
Oya, istilah ngaji sebenarnya unik lho. Ada pengaruh dari bahasa daerah. Selain itu, ketika dimasukkan ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah ngaji secara khusus tidak ada. Tetapi yang ada adalah mengaji dan mengkaji. Itu sama-sama berasal dari kata dasar kaji, lho. Tetapi ketika mendapat awalan “me” jadi dua tulisan: mengaji dan mengkaji. Padahal, dalam teori tata bahasa, awalan “me” jika bertemu kata yang berawalan huruf KPST ditulis lebur alias luruh. Contohnya: kontrak jadi mengontrak; paku jadi memaku; sapu jadi menyapu; dan tulis jadi menulis. Nggak ada dua model alias nggak ada untuk makna lain. Tetapi berbeda untuk istilah mengaji. Ini istilah untuk mengaji al-Quran atau mempelajari ilmu agama Islam. Sementara mengkaji, digunakan untuk hal-hal umum dan ilmiah.
Ini memang ada penjelasannya juga lho. Waktu itu saya mendapat penjelasan langsung dari salah seorang praktisi bahasa dari Badan Bahasa Kemendikbud, saat saya mengikuti workshop penyegaran Bahasa Indonesia bagi wartawan. Dijelaskan bahwa perbedaan penggunaan itu tersebab istilah yang sudah lama dipahami masyarakat dalam berkomunikasi. Nggak elok dan mungkin akan janggal, jika misalnya dalam makalah ilmiah ditulis: “Pengajian Dampak Sosial di Lokalisasi Kalijodo”. Padahal, maksudnya adalah penelaahan dampak sosial, maka seharusnya yang digunakan adalah “pengkajian”. Hehehe.. kok ngelantur jadi belajar bahasa ya? Nggak juga sih, ya ini sekadar tambahan wawasan aja. Kalo belum ngerti, bisa ditanyakan ke guru Bahasa Indonesia di sekolahmu. Ok?
Sobat gaulislam, kita balik lagi ke istilah ngaji yang selama ini memang kita pahami ya. Yakni istilah yang sudah menjadi trademark untuk umat Islam belajar seputar agamanya. Itu sebabnya, bagi kita sebagai muslim, ngaji itu menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Sejak kita dalam buaian ibu, sampai berakhir ketika maut menjemput. Artinya, kalo sekarang ada banyak orang yang sudah berusia lanjut, bukan berarti beliau-beliau berhenti ngaji. Banyak tuh tetangga saya yang sudah berusia tua tetap semangat ibadahnya mantap, ngaji mingguan juga getol. Kita yang masih muda, jangan kalah semangat ngajinya ya. Harus lebih giat lagi. Jika Allah Ta’ala berikan kesempatan kepada kita hingga berusia lanjut, tetap semangat untuk ngaji ya. Lebih keren lagi, ilmu yang didapat dari ngaji, lalu didakwahkan. Top markotop, dah!
Ngaji itu wajib
Ya, ngaji itu memang wajib, sobat. Belajar ilmu agama itu fardhu ‘ain alias kewajibannya dibebankan kepada setiap individu muslim. Harus bisa dan harus tahu. Misalnya, tata cara ibadah, lengkap dengan teori dan prateknya sekaligus. Termasuk semua hal dalam ajaran agama kita. Sehingga seorang muslim tidak bisa mewakilkan pelaksanaan ibadah shalat kepada muslim lainnya. Memang sih, ada beberapa ajaran Islam yang juga sifatnya fardhu kifayah, di antaranya proses pengurusan jenazah, yang tidak semua orang bisa terampil melakukannya. Kalo yang ini bisa diwakilkan kepada muslim yang kompeten. Nggak semua orang berani memandikan jenazah, lho. Ada banyak yang takut.
Sementara untuk ilmu umum seperti: kimia, fisika, kedokteran, nuklir, astronomi dan sejenisnya masuk kategori fardhu kifayah alias kewajiban yang sifatnya ada syarat tercukupi. Misalnya, jika sudah ada dokter—apalagi jumlahnya banyak—maka yang lain yang belum jadi dokter sudah gugur kewajibannya jadi dokter. Walau demikian, kalo mau belajar dan memang berminat banget di situ, nggak dilarang asalkan diniatkan untuk kebaikan. So, buat kamu yang udah dapetin kesempatan belajar ilmu-ilmu umum, serius belajar sampai bisa dan terampil dengan tetap berharap ridho Allah Ta’ala. Apalagi kalo sampe jadi ilmuwan handal di bidangnya dan bermanfaat bagi masyarakat. Itu baru keren!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR Ibnu Majah)
Sobat gaulislam, nih ada penjelasan bagus yang saya kutip dari website muslim.or.id (dengan bahasa yang dimodifikasi sedikit). Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja, lho. Sekali lagi, setiap muslim. Lantas, “ilmu” apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting banget kita ketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam al-Quran atau as-Sunnah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang terdapat dalam hadits di atas.
Sebagai contoh, berkaitan dengan firman Allah Ta’ala,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمً
“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS Thaaha [20] : 114)
Itu sebabnya, Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Firman Allah Ta’ala (yang artinya),’Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan”. (Fathul Baari, 1/92)
Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah di atas, jelas banget bahwa ketika hanya disebutkan kata “ilmu” saja, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i. So, merupakan sebuah kesalahan sebagian orang yang membawakan dalil-dalil tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu dari al-Quran dan s-Sunnah, namun yang mereka maksud adalah untuk memotivasi belajar ilmu duniawi. Meskipun demikian, bukan berarti kita mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Sebab, hukum mempelajari ilmu duniawi itu tergantung pada tujuannya. Kalo digunakan dalam kebaikan, maka baik. Sebaliknya, kalo digunakan dalam kejelekan, maka jelek. (Lihat Kitaabul ‘Ilmi, hlm. 14)
Tuh, catet ya. Buat tambahan ilmu dan wawasan kamu semua. Keren banget dah kalo kamu jadi remaja yang rajin ngaji, apalagi kalo sampe berani untuk menyampaikan dakwah dengan bekal ilmu yang didapat dari ngaji.
Ngaji itu maknanya luas, lho
Sobat gaulislam, waktu saya kecil tradisi ngaji itu di mushola kampung, waktunya usai shalat Maghrib hingga menjelang shalat Isya. Kami biasanya belajar baca al-Quran dan adab. Dibimbing seorang guru ngaji yang kami hormati karena keilmuannya. Ngajinya nggak perlu bayar, yang penting mau serius belajar. Saya sih tahunya cuma disuruh ngaji sama ortu. Mungkin ortu saya dan ortu teman-teman saya yang ada akad khusus dengan guru ngaji kami. Alhamdulillah saya bisa baca al-Quran ketika kelas 2 SD. Mungkin bisa dikatakan telat bisanya kali ya kalo diukur zaman sekarang. Kalah sama anak-anak kecil yang tampil di televisi kalo Ramadhan, dalam lomba tahfiz. Tetapi guru ngaji kami waktu itu, lebih menekankan adab sebagai seorang muslim sambil memotivasi kami agar serius belajar al-Quran dan kitab kuning waktu itu. Oya, di mushola yang sama dan guru ngaji yang sama, saya dan beberapa kawan yang dianggap punya potensi sempat mengkaji kitab Tanqihul Qoul saat kelas 5 SD sampai kelas 2 SMP (pertengahan tahun 80-an), penjelasannya dalam bahasa Sunda tapi dengan tulisan Arab. Unik juga, ternyata.
Oya, sekadar tahu aja buat kamu yang belum familiar dengan kitab tersebut. Kitab Tanqihul Qoul merupakan salah satu kitab yang ditulis oleh ulama kenamaan asal Indonesia yang kemudian bermukim di kota Mekah yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani. Kitab ini merupakan kitab syarah dari kitab Lubbaabul Hadist karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Banyak pesantren di Indonesia yang menjadikan kitab ini sebagai salah satu kajian dalam bidang ilmu Hadist. Bab yang paling saya kenal dan resapi adalah tentang keutamaan ilmu dan ulama. Selain karena di bab awal dalam kitab itu, juga karena guru ngaji saya menjelaskannya dengan bagus banget. Sejak saat itu, saya berusaha mencari ilmu dan menghormati para ulama. Ah, jadi teringat pesan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, “Jika engkau bisa, jadilah seorang ulama. jika engkau tidak mampu, maka jadilah penuntut ilmu. Jika engkau tidak bisa menjadi seorang penuntut ilmu, maka cintailah mereka. Dan jika engkau tidak mencntai mereka, janganlah engkau membenci mereka.” Asli, meleleh nih!
Oya, ngaji juga bermakna luas. Bukan hanya sebatas baca al-Quran tanpa ngerti maknanya, bukan sekadar tahu hadits tanpa paham maksudnya. Ngaji juga berarti terampil membaca fakta dan menilainya dengan ukuran Islam dan ilmu dunia untuk menunjang utuhnya pemahaman. Misalnya nih, kenapa sih kasus terorisme selalu dihubungkan dengan Islam dan umatnya? Di sini kita perlu ngaji banyak hal selain ngaji seputar ajaran Islam, yakni ilmu komunikasi, ilmu politik, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya. Dukungan ilmu tersebut akan membantu menyusun kepingan puzzle informasi dan opini dan menilainya dari sudut pandang Islam. Sehingga bisa menyimpulkan dengan benar dan baik. Asik juga ya? Pastinya!
Ayo, kapan mau ngaji? Hubungi rohis di sekolahmu ya! Atau kalo mau online, tim gaulislam siap sedia nemenin kamu belajar Islam. Itu sebabnya, ikuti channel gaulislam di Telegram. Buat kamu yang punya smartphone dan tertanam aplikasinya, segera join di channel @gaulislam. Buruan, lho. Ditunggu! But, artikel-artikel di buletin gaulislam jangan juga kamu lupakan karena insya Allah hadir terus setiap pekan. Semangat mencari ilmu, ya! Ngaji sampai mati. [O. Solihin | Twitter @osolihin]