Thursday, 21 November 2024, 20:29

Ujian Nasional untuk siswa SMA digelar pada 17-19 April 2007. Sampai tulisan di buletin kesayangan kamu semua ini dibuat, Ujian Nasional hari kedua sedang berlangsung. Namun, seperti udah bisa ditebak sebelumnya, sudah ada berita yang menodai penyelenggaraan ujian nasional kali ini. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, ada saja noda yang muncul dalam pelaksanaan ujian nasional. Pelanggaran paling banyak adalah bocornya soal sebelum ujian berlangsung. Supaya pas ujian berlangsung pelakunya bisa memberikan contekan jawaban kepada para siswa yang mengikuti ujian nasional.

Ambil contoh kasus di Ngawi, Jawa Timur. Mendiknas mengakui adanya kebocoran UN. Di sana, seorang kepala sekolah kedapatan mengambil soal ujian. “Saya telah mendapatkan laporan dari Irjen bahwa ada kepala sekolah di Ngawi yang mengambil soal ujian nasional. Polisi berhasil menangkap kepala sekolah itu sebelum sempat menggandakan soal yang dicuri, kata Mendiknas (Koran Seputar Indonesia, 18 April 2007)

Bahkan dalam program berita Reportase Malam Trans TV, 17 April 2007, sempat menginvestigasi beberapa oknum pelaku yang memberikan kunci jawaban via SMS kepada para siswa yang ikut UN. Tentu saja, kunci jawaban itu ada bandrol harganya yang berkisar antara puluhan ribu rupiah hingga jutaan rupiah per mata pelajaran. Halah!

Sobat muda muslim, tentu saja fakta ini bikin kita malu, plus tentunya sangat sedih. Kalo emang kayak gitu, buat apa ada ujian. Buat apa kita kudu belajar setiap hari, kalo akhirnya pas UN �diminta’ nyontek. Iya nggak?

Oya, denger-denger sih, UN ini kerap jadi persaingan gengsi antarsekolah lho (termasuk tentunya dinas pendidikan di daerah). Saingan gengsi? Yup, sebab, pihak dinas pendidikan setempat dan (terutama) pihak sekolah lebih mementingkan citra. Tentu kalo para siswa di sebuah sekolah banyak yang lulus UN apalagi dengan nilai yang sangat memuaskan, maka citra sekolah dan juga dinas pendidikan setempat jadi terangkat bagus.

Sebenarnya jika proses persaingannnya sehat jadi bagus kan dengan adanya kompetisi tersebut? Tapi yang terjadi, justru pada pengen hebat namun dengan cara instan, jadinya yang muncul adalah kecurangan. Waduh!

Seorang teman penulis yang hadir di sebuah acara sosialisasi tentang UN dari dinas pendidikan di sebuah kota, doi menyampaikan bahwa di acara tersebut oknum dari dinas pendidikan malah menyarankan agar para pengawas UN membiarkan jika ada para siswa yang kedapatan mencontek. Lebih parah lagi adalah cerita dari seorang teman penulis yang kebetulan berprofesi guru. Doi diminta jadi pengawas UN tapi harus membiarkan jika ada kunci jawaban yang berseliweran di antara para peserta ujian. Sebab, pasti kunci jawaban itu diedarkan atas sepengetahuan pihak sekolah. Lha, buat apa ada pengawas? Trus, buat apa ada ujian kalo �direstui’ untuk nyontek? Phew!

Sobat, ini sekadar sedikit pemaparan fakta noda-noda yang ada di UN alias Ujian Nasional. Menyedihkan memang. UN memang masih diperlukan. Tapi jangan dijadikan standar satu-satunya kelulusan, sehingga akan memicu kecurangan bagi orang-orang yang pendek akal dan kendor iman. Emang sih, saat ini UN bukan satu-satunya penentu kelulusan siswa, masih ada faktor penentu lainnya, yakni lulus ujian akhir semester yang diadakan oleh sekolah dan juga lulus secara etika atau kepribadian. Sebagaimana tercantum dalam PP 19/2005 tentang standar nasional pendidikan yang memuat empat faktor penentu kelulusan siswa, yakni ujian nasional, ujian sekolah, nilai rapor semester terakhir, dan sikap anak dalam proses belajar-mengajar.

Tapi, kenapa masih juga ada noda di UN? Wah, kalo gitu, oknum kepala sekolah yang di Ngawi itu mencuri soal ujian, atau oknum dinas pendidikan yang menganjurkan siswa mencontek, atau pihak sekolah yang meminta pengawas ujian membiarkan berseliwerannya kunci jawaban soal ujian, mereka malah yang bisa ditunjuk hidung sebagai biang perusak etika dan kepribadian. Setuju nggak? Mengenaskah sekali, Bro!

Lingkaran setan
Boys and gals, problem tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan UN ini ibarat lingkaran setan. Udah nggak jelas lagi ujung-pangkalnya karena udah saling berkaitan dan beririsan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Jadinya makin kompleks.

Siswa yang ikut UN tentu nggak mau dong kalo nilai ujian nasionalnya jeblok. Sebab, bakalan mengganggu masa depannya di dunia pendidikan. Maka, ditempuh segala cara buat meningkatkan nilai ujian nasional. Tentu saja ini adalah sebuah peluang emas.

Maka, seperti kata Bang Napi, kejahatan bukan hanya karena niat pelakunya tapi juga karena ada kesempatan. Pihak sekolah jelas udah ada niat, apalagi kalo ngeliat dan ngerasakan langsung kualitas dan kemampuan para siswa, sementara tuntutan dari Depdiknas yang mensyaratkan kelulusan peserta UN dengan mematok angka tinggi, maka kecurangan adalah jalan keluar. Siswa butuh, pihak sekolah juga perlu. Siswa butuh lulus, pihak sekolah perlu menjaga citra sekolahnya. Klop.

But, dengan kedua kondisi ini berarti kita langsung menyalahkan siswa dan pihak sekolah dan menjadikan mereka kambing hitam dari noda UN ini? Nggak juga. Masih ada pihak lain yang bertanggung jawab, yakni tentu saja pemerintah, dalam hal ini direpresentasikan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sebab, penentuan target angka kelulusan yang cukup tinggi nggak dibarengi juga dengan program pendidikan yang memadai.

Udah jadi rahasia umum bahwa mutu pendidikan di negeri ini sangat menyedihkan. Misalnya nih, lucu banget kan kalo misalnya di sekolah ada mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), tapi yang ngajarnya nggak ada. Kalo pun ada pengajarnya, tapi ia malah nggak menguasai materi pelajaran. Sementara dalam KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) tercantum materi tersebut. Wah, gimana nih?

Pemerintah juga kurang memperhatikan nasib para guru. Meski jasa yang diberikan guru tuh besar banget dalam membantu upaya mencerdaskan para punggawa bangsa kelak, tapi kehidupan ekonomi para guru malah termasuk golongan bernasib serupa Guru Oemar Bakri dalam lagu Iwan Fals. Akibatnya, banyak guru yang nggak fokus ngajar di satu tempat. Masih belum cukup banyak juga yang nyambi kerjaaan lain. Kalo nggak gitu, gimana bisa ngasapin dapur, euy. Jadi, wajar deh kayaknya kalo banyak guru (nggak semua lho) yang tidak menjadi pendidik yang baik. Mereka hanya sekadar melakukan transfer ilmu aja. Maka, tanggung jawab mengajar jadi rendah. Kalo dia nggak bisa datang ngajar di sekolah, cukup ngasih tugas mencatat pelajaran kepada para siswanya. Sebab, nggak bisa juga nyalahin seratus persen kepada guru yang bersangkutan (garuk-garuk kepala nih. Bingung!)

Pentingnya ujian
Sobat, meski ngeliat kondisi pelaksanaan UN yang masih ada nodanya, bukan berarti nggak perlu ujian. Ujian tetap perlu dan tentunya bisa dibilang penting. Salah satu alasannya adalah untuk mengukur seberapa pantas para siswa menguasai keilmuan yang dipelajari selama ini di sekolah. Ukuran ini hanya bisa dicek tentu lewat ujian.

Hanya saja, untuk mengukur kemampuan intelektual siswa melalui ujian, harus dibuat juga suasana belajar yang menyenangkan, kurikulum yang jelas dan mudah diterapkan, sarana pendukung belajar yang memadai, biaya pendidikan yang nggak mahal sehingga bisa dijangkau keluarga siswa yang ekonominya kurang begitu bagus, juga faktor lainnya seperti pembinaan mental dan keimanan siswa, seenggaknya mereka harus bersaing dengan cara yang sehat untuk meraih predikat siswa berprestasi di sekolahnya atau bahkan secara nasional. Oya, pembinaan mental dan keimanan juga perlu diberikan kepada guru dan pihak-pihak terkait lainnya dalam lingakaran yang ikut mendukung pelaksanaan program pendidikan yang berkualitas tinggi.

So, kalo emang sistem belajar dan sarana pendukung belajar udah oke, ujian bukan lagi masalah. Nggak kayak sekarang, dituntut lulus ujian dengan skor yang udah ditentukan tapi metode belajar dan sarana pendukung belajar nggak diperhatikan, ya ambil jalan pintas negatif, yakni bermain curang. Arghhh…!

Cacatnya penyelenggaraan UN
UN sejak digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003 emang menuai kontroversi alias perdebatan. Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan (Koran Tempo, 04-02-2005), setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN.

Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.

Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.

Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orangtua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.

Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun lalu, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.

Potret buram
Bro, inilah potret buram dunia pendidikan di negeri ini. Memang nggak mudah mengatur urusan seperti ini. Justru karena nggak mudah itulah seharusnya dibuat sistem yang seenggaknya bisa meminimalisir kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya kecurangan. Jangan dibiarkan kayak sekarang.

Ya, saat ini tujuan pendidikan kurang mantap karena hanya menitik-beratkan pencapaian yang terukur dari segi akademik semata, sementara aspek kepribadian yang merupakan penerapan dari aspek afektif (sikap) nyaris dikesampingkan. Padahal, kita juga ingin menyaksikan para siswa yang didik itu selain mantap ilmunya, juga kokoh keimanannya kepada Allah Swt. dan banyak amal sholehnya.

Lha, kalo sekarang, dalam negara yang menerapkan sistem Kapitalisme-Sekularisme? Hehehe kamu bisa saksikan dan rasakan sendiri kerusakannya yang memang sudah sistemik banget. Kasus UN yang ternoda dan kerap menimbulkan kontroversi ini memang lahir dari sistem yang rusak.

Jadi gimana? Saatnya mengubur Kapitalisme-Sekularisme sambil mengkampanyekan penerapan Islam sebagai ideologi negara demi mewujudkan peradaban yang benar dan mencerahkan kehidupan umat manusia seluruhnya.

Teknisnya gimana nih? Mulai sekarang, yuk hentikan diam kita dan segera beraksi. Kita bisa mengkaji Islam, mempelajari Islam, belajar menganalisis masalah yang terjadi di sekitar kita, mulai hobi belajar tentang ideologi dan Islam ideologis. Ayo, siapa di antara kamu yang ingin ngaji dan dakwah? Semangat! [solihin]

(Buletin STUDIA Edisi 338/Tahun ke-8/23 April 2007)