Jauh dari kehidupan yang telah diatur-Nya memang penuh dengan penderitaan. Berbagai hal yang dapat merusak diri dan terjerumus ke dalam lembah hitam terasa nikmat untuk dilakukan. Namun setelah itu, penyesalan akan datang menghantui siapa saja yang telah terjebak jurang kesesatan. Jika bukan karena hidayah Allah, tentunya kita takkan pernah kembali.
Kehidupanku yang penuh dengan noda dimulai sejak aku masih SD. Diawali faktor keluarga serta lingkungan sekitarku yang kondusif dengan rokok, miras, dan drugs. Pada saat itulah aku memasuki lubang hitam perjalanan hidupku. SMP aku bertemu dengan teman-teman yang suka hura-hura dan nongkrong di mall. Setiap hari aktifitas kami hanya untuk senang-senang tanpa memikirkan halal dan haram apalagi dosa. Aku mulai bolos sekolah, berbohong, membuat tato, melawan orangtua dan guruku. Akibatnya aku tidak naik kelas. Melihat kondisiku yang berantakan, orangtua menarik aku keluar dari pergaulan di mall. Beberapa saat aku mengalami masa tenang. Kemudian aku kembali ke kehidupan liar dan berteman dengan pemakai ganja. Uang yang diberikan orangtua pun aku habiskan untuk membeli ganja dan minuman. Bahkan aku sampai mencuri ketika tidak punya uang untuk membeli ganja. Naik ke kelas 3 SMP, aku menjadi siswa yang arogan dan disegani. Sampai-sampai aku lulus sekolah tanpa memiliki teman.
Mengenal ‘Obat’
SMA, kehidupan gelapku semakin menghitam. Aku bertemu teman yang sejalan dengan hidupku. Dilingkungan rumahnya ada bandar ganja. Jika SMP aku sulit mendapatkan ganja, maka di SMA dengan mudah aku dapatkan karena mengenal sang bandar. Karena keimananku yang tipis, waktuku kuhabiskan bersama teman-teman sekolahku hanya untuk mengganja dan mengganja. Pada saat jam pelajaran, di rumah, atau dimanapun termasuk diskotik.
Kelas dua aku mulai mengenal putaw, heroin, ampetamin, ectasy, LSD, dan mulai menggunakannya. Karena ketagihan akan ‘kenikmatan’ barang setan, aku membutuhkan uang untuk membeli barang-barang tersebut. Aku pun akhirnya ikut jual barang guna mendapatkan uang untuk aku belikan barang yang akan aku pakai. Suatu saat, orangtuaku mengetahui bahwa aku adalah pemakai, aku dibawa berobat jalan pada sebuah rehabilitasi. Beberapakali aku berobat, namun tak kunjung sembuh dan sembunyi-sembunyi aku menggunakan drugs. Apa mau dikata, pihak sekolah akhirnya mengetahui keadaanku. Akhirnya pihak sekolah mengeluarkan aku bersama beberapa temanku yang juga pemakai. Lalu, orangtuaku membawa aku ke sebuah pasantren untuk di obati.
Mencoba Bunuh Diri
Di pasantren aku hanya bertahan 2 bulan. Mungkin karena pengaruh obat-obatan otakku terasa gila. Pada akhir tahun 1999 aku melakukan percobaan bunuh diri. Konyolnya keinginanku untuk mati hanya karena terobsesi ingin bertemu Kurt Cobain, vokalis Nirvana yang mati karena over dosis. Aku melakukannya di kamarku dengan menyayat kedua pergelangan tanganku menggunakan silet. Kucoba berkali-kali namun ajal tak kunjung menjemput. Orangtuaku mengetahui perbuatanku dan aku dibawa ke rumah sakit untuk di obati. Setelah itu aku mendapat perawatan di Rumah Sakit Jiwa Jakarta, tapi bukan karena aku gila. Waktu itu aku ditempatkan pada bagian yang menangani pecandu dan mengalami gangguan psikologi. Bukan kesembuhan yang aku dapatkan, malah keinginan untuk bertemu dengan Cobain semakin kuat. Akhirnya saat ruang dokter sepi, aku masuk ke dalam dan menemukan sebuah silet. Pada malam harinya aku pergi ke kamar mandi. Di situ aku bertekad harus mati malam ini. Walau darah sudah mengucur deras dari kedua lenganku, namun kematian tak kunjung menyapa diriku. Karena kelelahan, aku kembali ke kamar dan lukaku aku tutupi dengan sebuah kain. Kuceritakan perbuatan bejatku kepada teman sekamarku. Ia panik dan memanggil perawat yang sedang jaga pada malam itu. Akhirnya pergelanganku di jahit, dan keesokannya aku di pindahkan ke rehabilitasi di sawangan. Baru dua bulan aku sudah tidak tahan dan melakukan aksi mogok makan untuk bisa keluar dari rehab tersebut. Selanjutnya aku hanya mengikuti rehab jalan.
Karena masih gelisah dengan kondisi hidup yang berantakan, aku mencoba kembali bunuh diri dengan menyuntik putaw di lengan. Pada saat over dosis (OD), orangtuaku tahu dan membawaku ke rumah sakit. Aku di bawa kembali ke rehab, dan masuk sekolah asrama khusus untuk pecandu. Karena masih gelisah, aku minta obat tidur ke dokter dan kukumpulkan hingga 30 butir. Pada suatu malam aku mulai berfikir apakah benar aku ingin mati. Ternyata aku lebih memilih ingin meneruskan hidup ini secara berani. Akhirnya pil tidur aku buang.
Noda Itu Kembali
Pada tahun 2000 aku kembali ke rehab selama enam bulan. Di sana aku diajari berbagai macam keahlian untuk bekerja. Setelah itu, dengan izin orangtua pada bulan oktober 2000 aku pergi ke Belanda dengan tujuan domisili dan cari kerja. Tetapi dari pihak sana tidak memberi ijin. Sebulan aku di Belanda, kemudian pulang ke Jakarta dan memulai kembali menggunakan ganja dan alkohol. Karena sedih melihat ibuku yang sakit hati lagi melihat kondisiku, aku berusaha untuk berhenti total. Kupikir sudah cukup pengalaman buruk itu dan aku harus berubah. Akhirnya aku mulai sholat kembali yang selama ini terlalaikan, dan aku mulai belajar baca Qur’an serta berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Namun, pada tahun 2001 aku kembali menggunakan putaw karena teringat ‘kenikmatannya’. Pada saat itu ibuku mengetahui dan aku di bawa kembali ke rehab.
Karena belum menemukan sebuah arti hidup, kondisiku makin strees. Ayahku berinisiatif mengajak liburan ke sebuah hotel di Bandung. Di sana sekali lagi aku melakukan kemaksiatan yang sungguh sangat aku sesali. Penyesalan datang menyerangku dengan sedemikian hebatnya. Hingga aku hanya bisa meringkuk seperti bayi, menyesali jalan hidupku yang malang. Hingga aku benar-benar bertobat.
Hidayah Datang
Kemudian bagaikan panas setahun tersiram hujan sehari, beban depresi yang selama ini menghantui diangkat oleh Allah dan digantikan dengan senyuman tulus di bibir yang menandakan bahwa aku telah kembali. Akhirnya aku pindah ke Bogor, dan aku shalat kembali berjamaah di sebuah mushola dekat rumah. Di situlah rupanya hidayah datang. Aku mulai mengenal arti hidup dan Islam secara kaffah dari anak kampus yang sering kumpul di mushola dekat rumahku itu. Mereka membantu aku menemukan jalan hidup yang pasti bagi seorang muslim. Aku mulai tau, ternyata kondisi yang terjadi pada diriku dan mungkin teman-temanku yang terjebak arus kebebasan tidak lepas dari penerapan sistem yang ada. Dan pada detik itu aku menekadkan diri untuk totalitas hidup secara Islami, berdakwah, dan menata hidup aku kembali. Tentunya dalam rangka mencari ridho Allah. [Seperti diceritakan Muhammad Yusuf Isa kepada eftur]
[pernah dimuat di Majalah PERMATA, edisi Oktober 2003]
Cerita ini bagus…hatimu digodai Allah swt penciptamu. Seorang hamba yang amat kepayahan…sengsara….namun demi doa kedua orang tuamu…kamu dipilih kembali dalam hidayahNya. Syukur…amat bersyukur atas kasih Pencipta kepada hambanya. Moga kamu terus di bawah lindunganNya…Amin..