By: Imraatul Aziizah
Jujur saja aku paling tidak suka kalau ada orang yang nanya, “Berapa sebulan?” Apalagi ditambah celetukan, “Eh Nis, kamu sih enak bisa beli semua yang kamu suka. Kirimanmu kan gede, beda dengan kita-kita yang kiriman sebulan cuma cukup untuk makan dan sewa kamar doang.”
Dulu di tempat kos lama aku sering banget beradu mulut dengan teman-temanku gara-gara masalah fulus dan beasiswa dari ortu ini. Yang sering menjadi bahan pembicaraan teman-temanku yaitu penghuni baru, adalah koleksi bukuku tiap bulan paling tidak ada satu. But cuek aka. Aku kan membelanjakan hartaku bukan dalam rangka bermaksiyat kepada Allah.
Kadang aku heran dengan mereka. Katanya uangnya hanya cukup untuk makan dan sewa kamar, tapi setiap bulan mereka pasti pake baju baru atau kerudung baru. Padahal aku saja baru beli baju baru setelah dua semester (ngiri nih ceritanya).
Di kos baru ini aku lebih bahagia, pasalnya teman-temanku nggak ada yang mempermasalahkan beasiswaku. So, aku nyantai aja beli buku sebanyak yang aku suka.
Dengan berjalannya waktu aku sadar kalo ternyata teman sekamarku tak seberuntung diriku. Untuk biaya kuliah dia memenag masih mengandalkan kiriman orang tuanya plus beasiswa yang dia dapatkan dari universitas. Untung saja SPP di kampusku tergolong paling murah di jajaran universitas yang ada di Pulau Jawa ini. Namun untuk kebutuhan sehari-hari dia harus kerja memeras otak dan keringat.
Sebagai seorang muslim aku tidak boleh membiarkan saudaraku kelaparan sementara aku tidur dalam kondisi kenyang dan tidak khawatir terhadap apa yang akan kumakan besok. Kuputuskan saja untuk berbagi makanan dengannya. Kukatakan kepadanya kalau uang untuk jatah makannya ditabung saja untuk biaya tugas akhir kuliah yang tidak sedikit itu.
Mulanya sih dia menolak dengan alasan “ Malu”, tapi aku tetap memaksanya untuk menerima bantuanku. Karena aku tahu sebenarnya dia sangat membutuhkannya. Temanku ini agak sedikit tertutup, mulanya dia menolak untuk bercerita tentang keadaan keluarganya dan juga rumahnya. Namun suatu saat ketika kami membicarakan orang-orang yang tak seberuntung diriku, dia muali sedikit demi sedikit membuka diri untuk menceritakan about her family.
Menurut pengakuannya, semula dia adalah putri seorang camat yang merangkap sebagai kepala sekolah di sebuah SMA yang terkemuka di kotanya. Keadaanya tak jauh berbeda dengan diriku, bahkan boleh kukatakan lebih baik dari keadaan keluargaku sekarang, hingga suatu saat keluarganya diuji. Ayahnya difitnah melakukan korupsi di kecamatan yang dipimpinnya.
Efeknya jabatan kepala sekolah pun terancam punah. Puncaknya yaitu ketika sebagian besar warga yang telah terprovokasi mengadak demonstrasi menuntut pengunduran diri bapak camat itu. Akhirnya dari pada fitnah itu berlanjut, ayah Nana pun mengundurkan diri dari jabatannya sebagai camat sekaligus sebagai kepala sekolah meski banyak murid-murid yang tidak setuju. Dan kini ayahnya bekerja sebagai buruh tani untuk menghidupi ibunya, dirinya dan ketiga adiknya.
“Nis, aku harus kerja dan juga harus segera lulus agar beban ayahku berkurang satu.”
Selama ini kisah-kisah mengharukan itu hanya kulihat didalam senetron ataupun pada beberapa reality show yang ada ditelevisi. Tapi kini aku benar-benar melihatnya dan mendengarnya.
“Aku hanya bisa meminjamimu sedikit, untuk modal dagang. Kembangkan sendiri aja agar bisa menambah penghasilanmu.” Sebenarnya aku ingin membantunya sebanyak mungkin, tapi aku pun membutuhkannya untuk biaya praktikumku yang tidak sedikit.
“Na aku nggak bisa bayangin bagaimana kesusahanmu dengan keadaan yang menimpamu.” Nana hanya tersenyum tipis kepadaku.
“Nisa, kamu nggak akan pernah bisa membayangkan keadaanku karena kamu belum pernah mengalami situasi ini. Maksudku jika kamu belum pernah berada dalam situasi sepertiku. Apalagi mereka yang ada di birokrasi pemerintahan,” kulihat air matanya mengalir, seberkas kekecewaan tersembur dari pancaran matanya.
Jujur ya sebenarnya aku jengkel juga, maniez-maniez gini aku juga pernah berada dalam kondisi susah. Sampai-sampai untuk lauk makan malam kami terbiasa dengan sebuah telor dadar yang dibagi empat. So, masing-masing orang dapat seperempat. Tapi setiap hari kami masih bisa makan, soalnya untuk beras kami nikmati dari hasil panen sendiri. Meskipun demikian jangan salah kondisi kami adalah yang termiskin di antara anggota keluaga ayahku saat itu. Tapi memang sih nggak sebanding dengan apa yang dialami Nana sekeluarga.
Perutku sudah mulai berdemonstrasi, parahnya lagunya Slank yang dijadikan yel-yel.
“Tenang, setengah jam lagi penjual nasgor keliling pasti lewat,” aku mencoba menghibur diri.
Duk-duk…duk-duk…duk-duk…
Yes! Akirnya lewat juga. Aku bergegas memakai jubah kebesaranku dan mengambil dompet untuk menyongsong sang nasi goreng. Tapi…. Keringatku mulai mengalir ketika tak kulihat dompet kesayanganku berada di tempat biasanya.
“Ya Allah, di mana kuletakkan dompetku?” Kucoba mengingat kembali di mana aku meletakkanya. Perutku jadi tak lapar lagi.
“Na……tahu dompetku nggak?” Kuharap Nana tahu di mana kuletakkan dompetku.
“Bukankah tadi kau letakkan dompet itu di saku jaketmu ketika kita ke kota sore tadi?” Rini yang ada di ruang tamu nggak mau ketinggalan unjuk gigi.
“Trus di mana ya selanjutnya? Masa’ jatuh sih?” Teman-temanku serempak menggelengkan kepala. Tapi bisa jadi, sebenarnya tadi aku merasa ada sesuatu yang jatuh di tengah perjalanan. Tapi tak kuhiraukan.
Aku nggak tahu lagi bagaimana nasibku seandainya dompet itu benar-benar jatuh. Tiga lembar uang lima puluh ribuan, sebuah kartu ATM, SIM, plus STNK sepeda motorku, KTP, dan terakhir kartu mahasiswaku. Seluruh persendianku terasa tak bertenaga manakala kuingat hartaku yang ada di sana.
“Ya Allah, jika itu adalah rizkiku pasti dompet itu akan kembali padaku,” kucoba untuk meyakinkan diriku atas qadha Allah ini. Mati satu tumbuh seribu, permasalahannya saat ini aku tidak bisa mengambil uang jatahku untuk bulan ini. Lebih-lebih saat ini masih tanggal muda sekali. Yang pasti aku harus mengencangkan ikat pinggang agar bisa hidup sampai bulan depan.
Dengan hilangnya dompet ini aku benar-benar merasakan bagaimana rasanya kekurangan. Jika hari ini aku bisa makan, nggak tahu besok makan apa. Belum lagi tugas kuliah. Pusing!!!
Biasanya waktu istirahat aku makan bareng teman-temanku di kantin, kali ini aku cukup dengan satu botol air minum yang kubawa dari rumah. Perih juga sih kalau melihat mereka bersuka cita dengan makanan mereka. Apalagi kalau mereka membeli beberapa makanan kecil untuk persediaan energi selama kuliah, aku hanya bisa menelen ludah saja. Kecuali jika ada gratisan, sungguh benar-benar kebahagiaan yang tak tertandingi.
“Na……… ternyata seperti ini jadi orang miskin. Jika nggak kuat iman, bisa-bisa aku masuk acara Buser di televisi,” orang yang ada disampingku hanya tersenyum tipis.
“Makanya Nis, banyak orang yang melakukan tindakan kriminal dengan motif ekonomi. Soalnya perbedaan antara si kaya dan si miskin it’s so far away. Siapa sih yang nggak ingin hidup cukup? Cukup makan, cukup tidur, cukup sandang, cukup tempat tinggal, cukup sehat, de el el. Semua juga mau. Jangankan kita, saudara-saudaraku para pengemis, pemulung, gelandangan, anak-anak terlantar, juga korban penggusuran seperti di Jakarta itu pengen hidup enak,” kata-kata Nana cukup pedas.
“Nis, rasa lapar yang kamu rasakan baru seminggu ini masih amat sebentar. Tahu nggak, para pengemis dan kawan-kawannya itu merasakan keadaan seperti kamu ini sudah bertahun-tahun tanpa tahu kapan berakhirnya. Kalo kamu sih masih ada orang tuamu yang bisa kamu andalkan untuk mengentasmu dari kemiskinan.” Waduh aku kena lagi.
“Mereka siapa yang menolong? Kapan mereka merasakan kesejahteraan hidup yang katanya di urus oleh negara itu?” Nana melemparkan buku yang ada di tangannya sebagai tanda dia sedang marah besar.
“Pemerintah brengsek! Kapitalis biadab!”
Dipungutnya kembali buku yang telah dilempar, kemudian diusapnya air mata yang sempat meleleh dari kedua pelupuk matanya.
Tapi benar juga apa yang dikatakan Nana, ini semua kan tanggung jawab negara. Coba ada kepala negara seperti Umar bin Khaththab, mana ada anak-anak yang habitatnya di lampu merah.
“Permasalahannya, mereka yang katanya wakil rakyat itu nggak pernah merasakan kelaparan yang sangat seperti nasib seperti mereka. Jadi wajar kalo mereka nggak perduli dengan nasib saudara-saudaramu tadi.” Mata Nana melotot seperti mau lepas landas dari kelopak matanya.
“Ehm saudaraku juga!”
“Barangkali saat ini kudoakan saja agar mereka yang punya saham bangkrut, atau uangnya jatuh berhamburan terus bisa ditemukan sama yang membutuhkan,” kataku asal.
“That’s not the soution.”
“So what?” Tanyaku bersemangat.
“Solusinya adalah bagaimana kita mengangkat pemimpin seperti Umar bin Khaththab dan menjalankan sistem yang tidak membiarkan adanya rakyat yang terlantar, begitu.” Jawab Nana mantap.
“Ya, cuma Daulah Khilafah Islamiyah yang bisa membawa kesejahteraan. Allahuakbar.” Sahutku bersemangat. “Tapi ngomong-ngomong aku lapar nih, sudah seharian nggak makan.” Nana tersenyum sambil membawa sepiring penuh nasi lengkap dengan sambal, dua iris mentimun, dan dua buah tempe goreng. Nggak nyangka lho aku bisa hidup sehemat ini.
Dan yang nggak kalah penting aku bisa merasakan betapa nikmatnya bisa makan meskipun seadanya, tanpa beef stik, fried chiken, atau apalah itu yang katanya enak.
“Ya Allah, terima kasih Engkau sudah membuat dompetku hilang. Seandainya tidak hilang mana tahu hamba rasnya menjadi orang miskin.” Tak terasa air mataku mengalir.
“Nis kamu nangis ya?” Tanya Nana kepadaku. Kutundukkan kepalaku, malu sih ketahuan nangis.
“Aih pantesan nasinya jadi asin.” Rasanya mukaku jadi seperti tomat kepencet.[]
BOX:
Imraatul Aziizah adalah nama pena dari Anita Sutrisnawati. Lahir di Banyuwangi 9 Desember 1984. Kini sedang menyelesaikan pendidikannya di Universitas Negeri Malang Jurusan Biologi (Program Studi Kependidikan) semester VI.
[Pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda, edisi Agustus 2005]
masya Alloh, artikel yang bagus.
inget waktu kuliah dulu, dulu belum bisa mengambil hikmah dari keadaan itu, malah banyak menyalahkan keadaan.
saya selesai kuliah th 2007,
alhamdulillah sekarang udah kerja,
jangan biarkan keadaan itu terulang pada adik saya, soalnya dia memutuskan untuk tetap kuliah, padahal keadaannya lagi sulit begini.
emang sejarah itu, enak ketika di kenang. saat ini kita bisa sambil tersenyum menceritakannya, padahal pada waktu itu “menangis”
salut buat para pelaku sejarah..