gaulislam edisi 629/tahun ke-13 (14 Rabiul Awwal 1441 H/ 11 November 2019)
Di negeri kita, setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Kamu tahu asal mula ditetapkannya tanggal tersebut sebagai Hari Pahlawan? Kayaknya kamu perlu nengok kembali buletin ini edisi 626. Di situ ada info bahwa pemilihan Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober ada erat kaitannya dengan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Ya, saat itu, yakni ketika pendiri NU, Hadratus Syaikh Hasyim Asya’ri, memaklumatkan fatwa yang monumental, yang disebut dengan Resolusi Jihad.
Fatwa itu menginspirasi perlawanan masyarakat terhadap Pasukan Sekutu (NICA) pada tanggal 10 November 1945. Inti dari fatwa ini ialah membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu’ain (wajib) bagi setiap individu. Begitu ceritanya.
Lalu pada pembahasan ini kan, sesuai judulnya: pejuang dan pahlawan. Hmm.. memang ada bedanya ya? Apa itu pejuang dan apa itu pahlawan? Eh, apakah ini penting untuk dibahas? Tapi omong-omong, pahlawan itu erat juga kaitannya dengan santri ya? Berarti juga para pejuang banyak yang muslim, dong?
Nah, kita mulai aja dulu dari definisi menurut kamus, ya. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pejuang diartikan sebagai orang yang berjuang atau prajurit. Lalu, untuk arti pahlawan, tertulis di KBBI: orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani; hero.
Oya, setelah dijembrengin gini, kamu mulai paham perbedaan pejuang dan pahlawan, ya? Intinya sih, pejuang adalah mereka yang berjuang dalam membela kebenaran atau apa yang dicita-citakan atau apa yang diinginkannya. Sementara pahlawan lebih luas, yakni mereka yang berjuang dan paling menonjol di antara pejuang lainnya, baik dari segi keberanian maupun pengorbanannya. Ya, sejak SD barangkali kita sudah diajarkan dan dikenalkan nama-nama pahlawan yang berjuang untuk negeri ini. Mereka yang berjuang untuk negeri ini, baik perjuangan secara diplomasi (baca: politik), maupun militer. Ada banyak yang sudah kita kenal, insya Allah.
Selain itu, sebagai muslim tentu saja kita juga mengetahui para pejuang dan pahlawan yang telah berkorban demi kejayaan Islam. Jumlahnya sangat banyak. Insya Allah beberapa dari mereka sudah juga kita pelajari di bab tarikh (sejarah). Intinya sih, keren banget, deh!
Menumbuhkan semangat juang
Sobat gaulislam, kalo foto copy berkas sih insya Allah kita paham ya, dan pastinya tahu prosesnya. Namun, gimana kalo yang ditumbuhkan dalam diri kita adalah semangat juang yang dimiliki para pejuang semasa hidup mereka? Kemungkinan sama, kemungkinan nggak sama, bahkan bisa saja susah ‘difotocopy’. Why? Karena kalo ngomongin semangat, itu udah wilayah lain. Belum tentu yang diberikan semangat tambah semangat. Bisa jadi malah kian melempem karena merasa sudah tak pantas memiliki semangat para pejuang. Duh, ribet, kan?
Begini Bro en Sis, memang di zamam kiwari alias masa kini, sulit di antara kita bisa muncul jadi pahlawan, atau tumbuh sebagai pejuang. Sebab, bukan sekadar modal semangat, tetapi adab dan ilmu jauh lebih penting. Berarti memang membutuhkan nilai lebih kalo pengen ada kesamaan dalam semangat juang. Nggak sembarangan, lho. Nggak asal ada keinginan. Sebab, semangat doang tapi tanpa realisasi sesuai yang diinginkan, ya pecuma aja, sih. Inilah bedanya produksi benda dengan ‘produksi’ manusia.
Tetapi, sebenarnya bisa nggak sih menumbuhkan semangat juang? Insya Allah bisa, walau tak sama perssis. Hmm.. apa itu yang dimaksud dengan keteladanan? Ya, kira-kira begitu. Teladan itu diperlukan sebagai acuan. Meneladani semangat juang para pejuang dan pahlawan, insya Allah bisa dilakukan, walau ya tentu saja tak sama persis hasilnya. Namun, itu sudah ada niat ingin mencari dan mendapatkan teladan. Ketimbang sama sekali tak punya keinginan mencari teladan. Ya, mencarinya saja tak mau, apalagi ingin mendapatkannya. Betul apa benar?
Bagaimana cara nyata menumbuhkan semangat juang? Hmm.. gimana ya? Banyak cara sebenarnya. Tapi saya pribadi sih, ketika membaca kisah perjuangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat, serta para ulama dalam berdakwah, muncul gairah di dada. Kisah-kisah yang membakar semangat juang.
Jujur saja, jika membaca kisah perjuangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabatnya dalam menyampaikan dakwah Islam selalu memberikan keyakinan kepada saya, bahwa cinta memang memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Kalo bukan karena cinta akan kebenaran Islam ini, mana mungkin Rasulullah dan para sahabat rela berkorban. Ketika saya menyaksikan film “ar-Risalah” besutan sutradara kondang, Musthafa Akkad. Visualisasinya sangat bagus ketika menggambarkan bagaimana perih dan pedihnya perjuangan membela kebenaran yang diperagakan para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Tapi, mereka rela merasakan perih dan pedihnya dalam waktu lama.
Perjuangan selama 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah, bukan perkara gampang. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan para sahabat harus berjibaku mempertahankan kebenaran Islam ini. Mencintainya dengan sepenuh hati. Tak ingin melepaskannya. Mereka, adalah contoh para pecinta kebenaran yang paling keren di dunia. Rela sakit, demi cinta kepada-Nya. MasyaAllah.
‘Drama’ kehidupan bersama Islam yang ‘dimainkan’ para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dalam membela Allah, Rasul-Nya, dan tentunya juga Islam sungguh sangat mengagumkan. Suatu ketika Zaid bin Datsinah bersama lima sahabat lainnya diutus Rasulullah menemani sekelompok kecil kabilah untuk mengajarkan Islam ke kabilah yang bertetangga dengan Bani Hudzail tersebut. Waktu itu, negara Islam sudah berdiri. Kejadiannya pasca Perang Uhud.
Sayangnya, enam utusan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam itu dikhianati. Tiga di antaranya syahid. Tiga lagi menjadi tawanan dan dijadikan budak untuk dijual (termasuk Zaid bin Datsinah radhiallahu ‘anhu). Waktu itu, Zaid hendak dibeli oleh Shafwan bin Umayyah, untuk kemudian dibunuh sebagai balasan atas kematian ayahnya, Umayyah bin Khalaf, yang tewas di tangan kaum Muslimin saat Perang Badar. (Bales dendam nih ceritanya?)
Zaid ditanya oleh Abu Sufyan: “Hai Zaid, aku telah mengadukanmu kepada Allah. Sekarang, apakah engkau senang Muhammad berada di tangan kami menggantikan tempatmu, lalu engkau memenggal lehernya dan engkau kembali kepada keluargamu?”
“Demi Allah!” jawab Zaid lantang, “Aku tidak rela Muhammad menempati suatu tempat yang akan dihantam jerat yang menyiksanya, sementara aku duduk-duduk dengan keluargaku.”
Abu Sufyan terkesan banget tuh dengan kata-kata Zaid. Bibirnya menyunggingkan senyuman sinis sambil bilang, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang mencintai sahabatnya seperti kecintaan sahabat-sahabat Muhammad,” kata Abu Sufyan geram di tengah kekagumannya. Kemudian, Zaid pun dibunuh. MasyaAllah, ini memang cinta luar biasa, dan tentunya pengorbanan yang ruarrr biasa.
Membela dan memperjuangkan Islam, sebagai bentuk kecintaan kepada agama Allah ini, membuat Khubaib radhiallahu ‘anhu, temannya Zaid bin Datsinah radhiallahu ‘anhu yang juga diutus Rasulullah dalam misi tersebut, rela melepaskan nyawanya sebagai bentuk pengorbanan tertingginya.
Sebelum syahid, beliau memandang musuh-musuh Allah dengan marah sambil meneriakkan doa, “Ya Allah, sesungguhnya telah sampai kepada kami risalah Rasul-Mu, maka besok sampaikan kepadanya apa yang membuat kami demikian. Ya Allah, hitunglah (bilangan) mereka (dan lemparkan mereka) berkali-kali, bunuhlah mereka dengan sekali lumat, dan janganlah Engkau biarkan mereka hidup seorang pun dari mereka!” Mendengar teriakan Khubaib, mereka menjadi gemetar. Dengung suara itu seolah merobek-robek nyawa mereka. Kemudian, Khubaib pun dibunuh.
Begitulah jalan (dan mungkin akhir) hidup para pecinta kebenaran. Risikonya memang besar. Bahkan sangat boleh jadi jauh lebih besar pengorbanannya ketimbang ketika kita mencintai pekerjaan kita, atau studi kita. Dalam urusan pekerjaan dan studi saja adakalanya banyak di antara kita yang berusaha mati-matian untuk mempertahankannya. Ada banyak orang yang mempertaruhkan segala yang dimilikinya demi sebuah pekerjaan yang dicintainya setengah mati. Ia akan berkorban dan siap menderita untuk mempertahankan jabatan dalam sebuah pekerjaan. Kalo bukan karena cinta, karena apa lagi? Tapi ternyata, kecintaan seperti itu masih kalah mulia dengan kecintaan kepada kebenaran Islam.
Banyak kisah lainnya, dan ini insya Allah bisa menumbuhkan semangat juang. Asalkan, memang kita mau mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut.
Haruskah jadi pahlawan?
Sobat gaulislam, menjadi idola, apalagi menjadi pahlawan tidaklah mudah. Selain harus membuktikan kesungguhan diri di hadapan orang lain dengan cara lebih dari mereka dalam berbagai hal, juga harus mampu melawan sifat-sifat buruk dalam diri sendiri akibat menjadi sorotan orang lain sehingga jatuh ke dalam kubangan ujub dan sombong. Berat banget, kan?
Oya, sebutan pahlawan bukanlah kita sematkan sendiri, tetapi memang ada kesepakatan dari orang lain yang menempatkan seseorang layak mendapat gelar pahlawan atau tidak. Itu sebabnya, fokus kita dalam berjuang bukan mendapatkan gelar pahlawan. Tetapi, fokuslah bahwa perjuangan memang butuh orang-orang yang serius untuk berjuang dan mengambil risiko terpahit dalam perjuangannya. Disebut pahlawan atau tidak bukan urusan kita. Sebab, yang terpenting adalah terus berjuang. Bagi kita sebagai muslim saat ini, tentu saja berjuang untuk tegaknya Islam dan kemuliaan kaum muslimin. Nggak usah terbebani ingin dianggap sebagai pahlawan. Itu sih, kecil. Lagian, itu bukan urusan kita.
Selain itu, saya ingin tekankan bahwa semangat saja dalam perjuangan ini belum cukup. Jangankan untuk perjuangan yang berat seperti menegakkan Islam di tengah kehidupan masyarakat dan diterapkan oleh negara, untuk perjuangan biasa saja jika hanya mengandalkan semangat belum akan mengantarkan pencapaian kepada hasil maksimal dan optimal. Tapi kita harus bekerja keras, bekerja secara cerdas, dan tentunya ikhlas. Bekerja sekeras mungkin tanpa mengenal kata lelah, tapi ingat bahwa keras saja belum cukup jika tidak kerja cerdas.
Ya, kecerdasan dibutuhkan untuk membantu pengoptimalan usaha keras yang kita lakukan. Nah, dengan bekal kecerdasan hasil dari belajar dan mencari inovasi baru untuk mengembangkan dakwah, akan membantu percepatan dan kualitas dakwah itu sendiri. Di sinilah kita terlarang untuk malas dalam belajar. Tapi, dua hal ini pun belum akan ada apa-apanya di hadapan Allah Ta’ala dalam perjuangan dakwah kita jika kita tidak ikhlas.
Saya rasa, kita semua sudah sangat memahaminya. Sebagaimana mungkin sudah kita tahu penjelasan firman-Nya tentang keikhlasan, di antaranya, “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS an-Nisaa [4]: 125)
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Cintailah Allah Ta’ala, Rasul-Nya, Islam, dan kaum Muslimin. Perjuangan kita untuk membela agama ini, kebenaran ini adalah bagian dari wujud cinta kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya, Islam, dan kaum Muslimin. Semoga kita, menjadi pejuang kebenaran yang paling hebat dalam mencintai Islam. Seperti ketika Khalid bin Walid yang lantang menjawab tantangan panglima perang Romawi: “Aku akan kirimkan pasukan yang mencintai kematian sebagaimana pasukan kalian yang mencintai hidup”.
Jika pun harus merasa sakit, tapi sangat ingin merasakan sakitnya lebih lama lagi. Lebih lama dan selamanya. Nggak usah memikirkan apakah kita nantinya disebut sebagai pahlawan atau tidak. Itu bukan urusan kita. Intinya, tetap semangat dan tetap teguh menjadi pejuang dalam perjuangan membela kebenaran Islam. Allahu Akbar! [O. Solihin | IG @osolihin]