Friday, 22 November 2024, 04:49

“Tidak ada asap, jika tidak ada api, “ujar KH. Cholil Ridwan melihat kasus Monas.? Ada hegemogi media dan dukungan LSM pada AKKBB. Peristiwa ini harus menjadi pelajaran umat Islam. ?“Sisi lain” di balik kasus Monas

Oleh: Fahmi Amhar *

PRIHATIN! itulah perasaan bisa kita saksikan melihat kondisi umat Islam seminggu, sebelum ini. Belum lama rakyat disuguhi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Penolakan terus terjadi dimana-mana. Di susul penyerbuan aparat polisi di kampus Universitas Nasional (UNAS) dan tindakan anarkhisme yang melahirkan pengecaman di mana-mana. Belum lagi kasus “memalukan”? pemerintah Indonesia, Blue Energy (energi biru) yang tiba-tiba cepat hilang berganti dengan kecaman terhadap Front Pembela Islam (FPI).

Mengapa isu-isu besar di Negeri kita begitu cepat berlalu dalam sekejab? Dan mengapa pula orang hanya sibuk melihat aksi “kekerasan” FPI? Mengapa tidak melihat mengapa FPI melakukan itu? tak banyak orang mempertanyakan secara jeli. Meminjam istilahnya Ketua MUI, Cholil Ridwan, “Bukankah tidak ada asap kalau tidak ada api?”.? Tulisan ini, hanya mengungkap “sisi lain” di balik peristiwa itu.

“Provokasi” dan “Kekerasan Simbolik”

PADA saat ‘Insiden Monas’, yaitu bentrokan antara Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dengan massa yang beratribut Front Pembela Islam (FPI) di Lapangan Silang Monas ke arah Jalan Medan Merdeka Selatan. (Belakangan dibantah bahwa yang bentrok itu bukanlah FPI melainkan Komando Laskar Islam (KLI).

Pakar komunikasi Universitas Hasanuddin, Aswar Hasan, mengatakan, bentrokan antara FPI dan AKKBB adalah efek dari “kekerasan simbolik” yang selama ini terjadi. Aksi-aksi sporadis kalangan liberal-seperti melecehkan MUI dan merendahkan wibawa ulama (ingat pelecehan dan penghinaan Adnan Buyung kepada KH Ma’ruf Amien, tokoh NU dan Ketua MUI di Radio BBC beberapa waktu lalu)-selalu mendapat tempat terhormat di media massa dan TV. “Jadi, sesungguhnya ?kekerasan simbolik’ itu sudah lama dilakukan kalangan liberal terhadap kalangan Islam yang lain,” ujar Aswar (Hidayatullah.com, 2/6/2008).

AKKBB merupakan kelompok yang giat membela Ahmadiyah. Padahal Ahmadiyah telah dinyatakan sesat oleh berbagai organisasi seperti keputusan Majma’ al-Fiqih al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1985, Fatwa MUI? tentang Ahmadiyah tahun 2005, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bahkan Badan Koordinasi Pengawas Kepercayaan dan Keyakinan Masyarakat (Bakorpakem) pada 16 April 2008 menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang dari Islam. Di saat seluruh ormas Islam colling down menunggu sikap pemerintah melalui surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pelarangan,? tiba-tiba, AKKBB secara sporadis berusaha “menjegal” keluarnya SKB dengan cara memasang iklan.

Di tengah situasi psikologis seperti itu, setidaknya sejak 15 Mei 2008, terpampang iklan petisi di situs resmi AKKBB, yang disebar ke berbagai milis, dan akhirnya dirilis di 9 media massa nasional mulai tanggal 26 Mei 2008. Petisi bertajuk “Mari Pertahankan Indonesia Kita!” itu dikoordinasikan oleh ICRP dan Aliansi Bhineka Tunggal Ika dan disebar di beberapa milis di Indonesia. Sebagaimana diketahui, Aliansi Bhineka Tunggal Ika adalah kelompok yang pernah menggerakkan kalangan lesbian, homo, para pelacur dan penyanyi dangdut untuk menyampaikan sikap penolakan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP). Dilihat dari pendukungnya pun terdiri dari ideolog sosialis, aktivis Ahmadiyah, sebagian warga non-Muslim dan kaum liberal.

“Dan Alhamdulillah setelah negosiasi dan melobi pihak sana sini akhirnya iklan petisi ini berhasil dimuat di 9 media dengan ukuran yang cukup lumayan. Satu halaman di Koran Tempo (26/5), Majalah Tempo dan Majalah Madina (01/6), setengah halaman di Koran Rakyat Merdeka, Jawa Pos, Media Indonesia (26/5), Sinar Harapan & The Jakarta Post (27/5) serta seperempat halaman di Kompas (30/5),” ujar Nong Darol Mahmada dalam situs pribadinya (http://nongmahmada.blogspot.com).

Iklan petisi tersebut berisi pembelaan terhadap Ahmadiyah. Bukan hanya itu, petisi itu juga berusaha mengadu-domba umat Islam dengan Pemerintah dengan menyatakan, “Kami menyerukan, agar Pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum untuk tidak takut terhadap tekanan yang membahayakan ke-Indonesia-an itu.”

Provokasi terus terjadi. Majalah Tempo pada edisi 5-11 Mei 2008 menuduh para ulama dalam MUI lah yang menjadi biang “kekerasan”.? “Kecemasan di mana-mana. Ketakutan merajalela. Majelis Ulama Indonesia harus bertanggung jawab atas semua ini.” Di bagian lain Tempo menulis, “Majelis Ulama sudah selayaknya meminta maaf kepada warga Ahmadiyah. Menjatuhkan fatwa sesat pada aliran itu berarti memberikan lampu hijau kepada gerombolan penyerang Ahmadiyah untuk bertindak anarkistis.”? Ingat, pemilik majalah Tempo adalah Goenawan Mohamad yang juga penggiat AKKBB dan Apel Akbar. Kalau bukan provokasi terhadap umat Islam, lantas untuk apa tulisan menghina ulama itu?

Black campaign juga dilakukan beberapa media massa saat memunculkan foto dan berita “Munarman Mencekik” anggota AKK-BB. Foto “Munarman mencekik” juga disebar anggota AKK-BB dan disalurkan ke beberapa media massa melalui jumpa pers yang difasilitasi the Wahid Institute Senin, (2/6)/.? Untuk memberi kesan dramatis, detik.com mengutip seorang perempuan (entah siapa dan apa maksudnya pemuatan ini) dengan kutipan kalimat, “Mata Munarman terlihat jahat sekali. Mata mendelik,” kata seorang wanita, sebagaimana dikutip detik.com.? Tak hanya detik, Koran Tempo menurunkan foto itu menjadi halaman utama.

Sayangnya, media dan AKK-BB kecele.? Foto yang sudah terlanjur dimuat dan dirilis berbagai pers tiba-tiba keliru.? Orang yang seolah-olah “dicekik” itu ternyata adalah anggota FPI bernama Ponco alias Ucok Nasrullah. Dalam jumpa pers di Markas FPI Petamburan Jakarta Barat, Munarman melakukan itu justru untuk mencegah Ponco agar tidak melakukan aksi anarkis.? Hebatnya, media-media yang mengaku nasional seperti; Harian Indopos, detikcom, dan Koran Tempo, yang telah keliru memuat berita Munarman ini tak melakukan permintaan maaf dan meralat apapun atas kesalahannya.

Berdasarkan catatan-catatan tersebut, benar apa yang dikatakan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan bahwa insiden di Silang Monas tersebut tidak serta-merta kesalahan massa beratribut FPI saja. Amidhan menilai apa yang selama ini dilakukan AKKBB juga amat provokatif alias memancing-mancing kemarahan umat Islam. Salah satunya adalah tindakan AKKBB yang menyertakan wakil-wakil agama lain selain agama Islam untuk ikut-ikutan membela kelompok sesat Ahmadiyah (Eramuslim, 2/6/08).

Keganjilan

Selain provokasi dan “kekerasan” simbolik, ada beberapa keganjilan dalam aksi di Monas. Kapolres Jakarta Pusat Kombes Pol. Heru Winarko mengatakan kepada media massa pada 1 Juni 2008 bahwa AKKBB menurut rencana hanya berdemo di Cempaka Barat, lalu ke depan Kedubes AS, dan berikutnya menuju Bundaran Hotel Indonesia. Di ketiga tempat tersebut polisi sudah menyiapkan pengamanan. Di Monas, mereka tidak meminta pengamanan. “Tapi, mengapa mereka malah masuk Monas?” ujarnya.? Ada keanehan di sini. Selain itu, Juru Bicara Ahmadiyah Mubarik mengatakan, mengaku sudah memperkirakan akan terjadinya insiden tersebut. Namun, dia mengaku enggan untuk membatalkan rencana aksinya (Hidayatullah, 2/6/2008).

Bukankah ini berarti pembiaran terjadinya insiden tersebut? Lebih dari itu, seorang anggota AKKBB tertangkap kamera membawa pistol dalam Insiden Monas. Dalam konferensi KLI diputar sebuah video yang memperlihatkan seorang peserta aksi berkaos putih, dengan sebuah pita merah putih di lengan kirinya, sempat mengeluarkan sebuah senjata api. (Hidayatullah, 2/6/2008).? Lebih dari itu, menurut pengakuan peserta dari FPI, juga ada provokasi dari ?panitia (Detik.com, 3/6/2008).

Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah dan DPR begitu sigap bersikap dalam insiden tersebut?? Mengapa tiba-tiba fokus perhatian menjadi hanya sekedar “kekerasan” oleh FPI? Bagaimana dan kemana para aktivis AKK-BB? Aktivis AKK-BB tentu yang paling gembira.

“Lil (maksudnya Ulil Abshar, red), penggerebekan itu cuma tahap awal. Perjuangan harus jalan terus. Preman-preman berjubah dan para simpatisannya masih terus bergentayangan, termasuk di milis ini. Jadi, tahanlah dulu alhamdulillah- mu,” tulis Luthfi Assyaukanie, [Hidayatullah.com, 5 Juni 2008].

Semua ini menunjukkan ada kerjasama yang halus dan saling terkait. [bersambung/www.hidayatullah.com]

* Penulis adalah alumnus Vienna University of Technology

1 thought on “Pelajaran “Berharga” Peristiwa Monas [1]

  1. alkufru millatun wahidatun..,ngapain si gus ma si kristi bela2in si xxxxdiah?
    tahsabuhum jamiian,wa quluubuhum syattaa..

Comments are closed.