Hukum Asal Pemilu: Memahami Fakta Parlemen dan Pemilu
Dalam pandangan Islam, hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya adalah mubah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, pemilu merupakan aqad wakalah dalam hal aspirasi dan pendapat. Selama hukum dan syarat wakalahnya telah terpenuhi dan sejalan dengan prinsip Islam, maka absahlah akad wakalah tersebut.
Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa, pada saat bai’at al-aqabah II, Rasulullah saw. meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang membai’at beliau saw. Lalu, 75 orang tersebut memilih 12 orang sebagai wakil mereka. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. telah melakukan aktivitas wakalah.
Akan tetapi, pemilu dalam sistem Islam tentu saja berbeda dengan pemilu dalam sistem pemerintahan demokratik. Asas, prinsip, maupun tujuan-tujuannya saling bertolak-belakang dan bertentangan.
Pemilu di dalam sistem demokratik, terikat dengan prinsip dan sistem demokrasi-sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil rakyat yang memiiiki beberapa fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi dan kontrol. Hal ini dijelaskan di dalam Undang-undang no.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Di dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan:
“Pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.”
Adapun tugas, wewenang dan kewajiban lembaga legislatif di atas (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) diterangkan dalam Undang-undang No. 22 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Tugas dan kewenangan MPR dicantumkan dalam bagian keempat, pasal 11, yakni:
a. mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
b. melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilu dalam Sidang Paripurna MPR.
c. memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatakan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dan dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.
g. menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR.
Sedangkan kewajiban anggota MPR diatur dalam pasal 13, di antaranya adalah:
a. mengamalkan Pancasila
b. melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan;
c. menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dan kerukunan nasional.
Sedangkan tugas dan wewenang DPR ditetapkan dalam pasal 26. Tugas dan wewenang DPR ada 16 perkara, di antaranya adalah:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama;
b. membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Kewajiban anggota DPR dijelaskan dalam pasal 29, di antaranya adalah:
a. mengamalkan Pancasila
b. melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Tugas dan wewenang DPD diatur dalam pasal 42; sedangkan tugas dan wewenang DPRD dijelaskan dalam pasal 62.
Di dalam undang-undang no. 22 tahun 2003 tentang Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD & DPRD,? juga dijelaskan dengan sangat gamblang bahwa DPR, DPRD memiliki tiga fungsi yang menonjol, yakni: (1) fungsi legislasi, (2) anggaran, (3) pengawasan. [lihat undang-undang no. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD; pasal 25 dan pasal 61]
Inilah fakta-fakta yang berhubungan dengan tugas, wewenang, dan kewajiban badan legislatif yang ada di dalam sistem pemerintahan demokratik sekuler.
Selain itu, pemilu dalam negara demokratik merupakan mekanisme pemerintahan yang ditujukan untuk mempertahankan sistem demokratik-sekuleristik, Kenyataan ini tampak jelas dalam undang-undang no. 12 tahun 2003, Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bab I Ketentuan Umum, yang menyatakan:
“Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Lebih dari itu, di dalam undang-undang yang sama juga dinyatakan bahwa partai politik maupun perorangan tidak boleh mengkampanyekan materi-materi yang mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Dalam pasal 74 1 dinyatakan:
“Dalam kampanye pemilu dilarang mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang–undang Dasar 1945 dan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Aturan ini semakin memperjelas bahwa pemilu merupakan media untuk melanggengkan rejim demokratik-sekuleristik yang jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam.
Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat -badan legislatif- adalah lembaga yang bertugas membuat dan mengesahkan undang-undang. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, prinsip utama negara demokrasi adalah “kedaulatan ada di tangan rakyat”, “vox poputi vox def”. Prinsip ini telah menempatkan rakyat atau wakil rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Yang dimaksud dengan kedaulatan di sini adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat aturan dan undang-undang. Sedangkan kepala negara (lembaga eksekutif) bertugas melaksanakan undang-undang. [bersambung]
wah……syukron. Barusan kemarin saya juga mendapatkan penjelesan tentang hal ini…….
Yang ingin saya tanyakan kemudian adalah apakah saat ini kita tidak boleh masuk kedalam parlemen sekedar untuk muhasabah kepada penguasa ?
selanjutnya adalah pandangan beberapa pihak yang masuk kedalam parelemen sekuler sekarang ini adalah untuk “menyelamatkan” parlemen dari orang2 kafir……lalu bagaimana seandainya kita melarang mereka masuk kedalam parlemen sekuler sehingga parlemen di ambil alih oleh orang kafir ?
Bukannya mau menyatakan bahwa masuk parlemen skrng ini sah-sah saja…..hanya saja saya ingin menanyakan prihal dampaknya masalah ini ! itu saja…….
wassalam
ahmad
http://achfan.multiply.com
http://ocehankoe.blogspot.com
Khan sudah terjawab di atas mas… 🙂
Untuk pencari kebenaran dan pencerahannya, bisa liat tuh di blog …
http://partai-politik-islam.blogspot.com
Wasalam