Wednesday, 4 December 2024, 00:09

gaulislam edisi 600/tahun ke-12 (17 Sya’ban 1440 H/ 22 April 2019)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Pilpres dan Pileg 2019 usai Rabu pekan kemarin (17 April). Harapan banyak orang sih, tensi politik udahan deh, reda lagi. Eh, nggak tahunya masih tetep aja panas. Sebab, ada kondisi yang memungkinkan untuk tetap panas. Mulai dari hasil Quick Count yang aneh dengan perubahan data yang kebalik dan tiba-tiba berubah memenangkan salah satu paslon, kisruh surat suara yang dicoblos duluan sebelum pencoblosan. Kotak suara dan suara hasil pencoblosan ada yang dirampok, dibawa kabur, malah ada yang dibakar. Kejadian di Malaysia ternyata ada juga di beberapa TPS di negeri ini.

Belum lagi sorotan publik yang tajam kepada KPU sebagai ‘wasit’ dalam kompetisi ini yang diduga kuat melakukan kecurangan yang menguntungkan paslon 01. Alasannya salah input data. Tapi hal itu ramai dihujat oleh netizen karena beritanya viral. Walhasil, KPU diragukan integritasnya sebagai lembaga yang berwenang menentukan siapa pemenang dalam pilpres ini. Ya, iyalah. Susah percaya kalo nggak jujur. Lagian salah input data tapi berulang-ulang dan banyak di beberapa TPS di berbagai propinsi. Udah gitu, kesalahannya pasti menguntungkan paslon 01 dan merugikan paslon 02. Apa itu nggak aneh bin ajaib?

Ya, memang dalam sebuah pertandingan atau kompetisi, ada yang menang dan ada yang kalah. Itu sudah biasa. Tetapi menjadi tidak biasa kalo menang dengan cara curang, dan kalah gara-gara dicurangi. Bener  banget. Di pilpres kali ini, benar-benar kacau bin kisruh. Rasa-rasanya ini bukan semata obrolan bapak-bapak dan emak-emak ya. Bagi kamu yang remaja pun paling nggak pernah lah lihat dan juga ngikuti obrolan bersama kawan-kawan. Memang harus gitu, minimal ada kepedulian walau nggak melulu ngobrolin hasil pilpres.

Why? Karena hasil pilpres saat ini bukan semata merugikan atau menguntungkan paslon yang bertarung, atau timsesnya yang mendukung. Nggak. Kelak, nasib bangsa ini juga dipertaruhkan. Minimal ada gambaran ke depan kehidupan akan berjalan kayak gimana. Saya pernah menuliskan di buletin ini terkait profil singkat siapa saja di belakang paslon 01 dan paslon 02. Intinya sih, memang kedua paslon didukung pihak-pihak yang saling berseberangan secara ide. Paslon 01 didukung oleh mereka yang umumnya liberal. Sementara paslon 02 didukung lebih banyak oleh ulama dan aktivis dakwah, juga minimal didukung oleh orang-orang awam tapi ingin perubahan ke arah yang lebih baik dari kondisi yang dipimpin rezim ini.

Yuk, jujur dan adil!

  Sobat gaulislam, salah satu asas yang dipegang dalam pemilu itu jurdil alias jujur dan adil. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dituntut untuk jurdil karena memang sebagai lembaga berwenang menyelenggarakan pemilu dan memutuskan siapa pemenangnya berdasarkan aturan dan tata tertib yang sudah disepakati. Baik pilpres, pileg, maupun pilkada. Tetapi bagaimana jadinya jika KPU sudah tidak jujur dan tidak adil? Pastinya merugikan banyak pihak. Apalagi kejahatan dan kecurangannya dipertontonkan dengan kasatmata alias nyata bin konkret.

Ini menambah tensi politik yang kian meninggi dan memanas. Sudahlah para die hard alias pendukung fanatik kedua kubu selalu bersitegang di medsos jauh sebelum pilpres hingga sekarang. Eh, kini pas udahan pilpres, dikomporin supaya tetap panas dengan kecurangan demi kecurangan. Kan, itu gawat banget, Bro en Sis.

Gimana mau adem, yang merasa menang di hasil quick count tetap ngotot walau dinilai ada indikasi kecurangan. Pihak yang merasa mestinya menang karena berbekal data real count dari berbagai pihak yang menberikan juga bersikukuh. Ini bisa potensi konflik, lho. Sewaktu-waktu bisa meledak merugikan semua pihak, terutama rakyat.

Aspek kejujuran dan keadilan memang penting, supaya kehidupan berjalan dengan baik. Fitrahnya manusia itu senang dengan kejujuran dan keadilan. Kalo ada yang nggak suka berarti udah error cara berpikirnya. Ibarat maling, sukanya kan mengganggu orang lain dengan mencuri barangnya. Walau bisa saja dalam hati nuraninya awalnya nggak enak, tapi lama kelamaan menikmati karena memberikan keuntungan baginya. Di sini berarti maling itu memang nggak jujur dan nggak adil. Lawannya, tentu saja pihak yang akan menegakkan kejujujuran dan keadilan, atau minimal masyarakat yang memang memerlukan kejujuran dan keadilan dari pihak yang seharusnya demikian. Begitu, kan?

Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS at-Taubah [9]: 119)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS Muhammad [47]: 21)

Dalam hadits dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta.  Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Muslim no. 2607)

Selain jujur, juga adil, lho. Orang yang berbuat adil dipuji oleh Allah Ta’ala. Dijelaskan dalam beberapa ayat di al-Quran. Di antaranya:

“Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS al-Maidah [5]: 42)

Di ayat lain, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS al Hujurat [49]: 9)

Juga di ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS al-Mumtahanah [60]: 8)

Coba sekarang cek saat ini, lebih banyak mana orang yang berlaku adil dan yang berlaku zalim alias nggak adil. Cek juga berapa banyak di zaman sekarang orang yang jujur dan yang dusta. Tentu lebih banyak yang nggak adil dan pendusta, apalagi sesuai konteks pembahasan kita tentang pemilu saat ini yang jauh dari jurdil. Memprihatinkan, memang.

Sebenarnya nggak terlalu mengherankan sih, karena saat ini masyarakat sudah biasa hidup dalam aturan yang jauh dari ajaran Islam. Jika pun ada ajaran Islam di tengah kehidupan masyarakat, itu hanya sedikit dan beberapa saja. Tidak menyeluruh diterapkan oleh negara. Jadi, ya begitulah. Jujur dan adil jadi barang langka. Dan, inilah salah satu kerugian hidup dalam sistem demokrasi. Beneran!

Demokrasi memang menentang Islam

Sobat gaulislam, dalam perjuangan ini memang butuh pengorbanan. Selain itu, butuh teman untuk saling mengingatkan. Pengorbanan memang dibutuhkan dalam perjuangan. Bukan hanya berkorban waktu, tenaga, dan harta, tetapi juga nyawa. Berjuang juga butuh teman, baik teman yang satu jamaah dalam perjuangan maupun teman sesama muslim yang berbeda komunitas atau jamaah. Sebab, sesama muslim itu bersaudara. Saling mengingatkan, saling membantu, saling menasihati, saling menolong, saling percaya.

 Memang, dalam kondisi kaum muslimin hidup di negara yang tak menerapkan syariat Islam, kita jadi serba salah. Mau tetap berada dalam kondisi jauh dari Islam, kok ya nggak enak. Mau mencoba menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, memang tak bisa utuh karena dibatasi aturan di negeri yang tak islami ini.

Lalu apa yang harus dilakukan? Idealnya memang melakukan revolusi. Ya, perubahan sistem. Kita menolak mentah-mentah sistem demokrasi yang bukan saja bertentangan dengan Islam, tetapi juga menentang Islam. Tetapi ada juga kalangan kaum muslimin yang mau memanfaatkan demokrasi sebagai sarana perjuangan untuk menegakkan Islam. Berarti kan nggak mungkin juga berantem dengan teman sesama muslim. Akhirnya kita cari solusi agar tidak saling menjegal gara-gara beda cara berjuang. Yakni, saling menghargai.

Kondisi saat ini, di piplres yang digelar dalam sistem demokrasi, sudah membuktikan bahwa demokrasi memang jahat. Tidak sudi berdampingan dengan Islam, bila diketahui Islam akan mengancam demokrasi. Islam memang diwadahi dalam sistem demokrasi, tetapi perannya dibatasi dan bila perlu dibungkam, bila itu urusannya dengan politik. Tetapi kalo urusan ibadah sih, dalam demokrasi memang dibolehkan. Diberikan ruang yang cukup. Sebab, dinilai nggak bakalan membunuh demokrasi.

Saya sudah menuliskan panjang lebar tentang demokrasi dan perjuangan umat Islam untuk menegakkan syariat Islam di berbagai tulisan saya. Di buletin ini pernah ditulis juga. Silakan cek aja ya. Sekadar bocoran, silakan cari buletin yang judulnya “Ingar Bingar Tahun Politik” dan juga yang judulnya “Jokowi atau Prabowo?”.

Silakan dibaca ulang, ya. Tetapi intinya sih, kita perlu juga menghargai perjuangan kawan-kawan yang ingin menerapkan Islam melalui jalur demokrasi. Ikut pileg dan pilpres, ada paslon yang didukung. Bahkan di pilpres kali ini, banyak dukungan ulama mengalir kepada paslon Prabowo-Sandi karena dinilai setidaknya lebih baik dari paslon Jokowi-Amin. Saya sih menghargai. Silakan. Memang kondisinya saat ini memungkinkan untuk memberikan dukungan seperti itu. Walau, tentu saja, paslon Prabowo-Sandi belum ideal karena memang belum mengusung Islam secara paripurna. Namun keburukannnya lebih sedikit dibanding paslon Jokowi-Amin yang didukung banyak kalangan munafik, liberal, sosialis, dan musuh-musuh Islam lainnya.

Namun, bila melihat kondisi saat ini, kekacauan dan kekisruhan usai pilpres yang kian memanas, ini sekaligus membuktikan bahwa Islam sepertinya sulit diperjuangkan melalui jalur demokrasi. Berbagai keburukan sudah terbukti. Tetapi tentu saja bagi kawan-kawan yang menginginkan perubahan ke arah kebaikan walau melalui jalur demokrasi, tetap bisa terus memperjuangkan haknya, apalagi dicurangi. Semoga bisa menjadi jalan awal Islam bisa diterima oleh masyarakat suatu saat kelak. Jika memang itu yang diyakini.

Oke lah, saran saya sih, untuk kita semua, termasuk kamu para remaja kudu tahu, bahwa baik yang pro demokrasi maupun antidemokrasi, sama-sama berjuang saja. Saling mendukung saling menguatkan. Saat ini, kawan-kawan yang yakin bisa berjuang melalui jalur demokrasi sedang dihabisi melalui kecurangan yang terstruktur, bahkan oleh penguasa. Maka, kalangan yang antidemokrasi seharusnya tetap bisa membantu, minimal melawan kezaliman yang dilakukan pihak yang tak sudi Islam tetap hadir di negeri ini (walau hanya sebagian syariat saja yang diterapkan).

Dakwah tetap dilakukan untuk membantu dan menolong saudara yang sedang dizalimi meski bentuk perjuangan berbeda. Insya Allah ini akan menjadi sinergi. Ke depan semoga bisa bersama-sama membangun kekuatan Islam demi tegaknya Islam sebagai ideologi negara. Insya Allah. [O. Solihin | IG @osolihin]