Pihak yang paling bertanggung jawab atas terpuruknya dunia pendidikan adalah negara atau pemerintah. Karena, konstitusi membebankan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional kepada pemerintah. Sayangnya, sejak merdeka hingga kini, pemerintah belum tampak sungguh-sungguh membenahi dan mengembangkan dunia pendidikan. Indikasi paling menyolok adalah minimnya anggaran untuk sektor pendidikan. Anggaran pendidikan tidak pernah lebih dari 10% dari total pengeluaran pemerintah. Sementara anggaran pendidikan di negara-negara jiran seperti Malaysia mencapai 23%, Singapura 19%, Thailand 22%, dan Filipina 20%.
Implikasinya, fasilitas dan sarana-sarana penunjang kegiatan kependidikan sangat kurang. Para guru pun hidup di bawah kelayakan. Padahal kepada mereka harapan perbaikan pendidikan ditumpukan. Kenyataan itulah yang selanjutnya melahirkan anak-anak bermasalah yang resultannya adalah rendahnya kualitas SDM dan kinerja bangsa yang lemah.
Di sisi lain, mandulnya kurikulum karena tidak berorientasi pada penumbuhan kemampuan berpikir peserta didik agar secara kreatif menyiasati masa depannya, dan tidak terbentuknya karakter kejiwaan yang unggul, mengarahkan pendidikan nasional pada kecenderungan negatif.
Pola Kebijakan yang Timpang
Perilaku menyimpang yang cenderung terus meningkat dan meluas di kalangan anak didik pada satu sisi, dan keinginan agar pendidikan dapat berhasil secara utuh, yakni ilmu sekaligus akhlak, itulah yang agaknya mendorong Depdiknas memasukkan komponen budi pekerti dalam penentuan kelulusan siswa. Ketentuan tersebut tertuang dalam SK Depdiknas No. 6/C/Kep./PP/2000.
Hanya saja, ketentuan tersebut mengesankan sebagai kebijakan tambal sulam yang dirumuskan tanpa disertai analisis dan pemikiran mendalam. Dan itulah yang kerap dilakukan oleh Depdiknas (Depdikbud) atau organ di bawahnya dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih bercorak kasuistik. Bahkan seringkali kebijakan dikeluarkan tanpa kesiapan teknis yang memadai, sehingga muncul kesenjangan dalam implementasinya di lapangan. Contoh yang cukup terlihat adalah penentuan kebijakan kurikulum. Kasus pemberlakuan kurikulum 1994 sebagai revisi kurikulum 1984, tidak begitu saja dapat diterapkan secara mulus di sekolah. Artinya, kurikulum 1994 yang dikonsepsikan untuk memberi keleluasaan kepada para guru agar bisa mengemas dan mengembangkan materi pembelajaran yang lebih berbobot, ternyata mayoritas guru tidak kuasa mengapresiasikannya. Di sana kompetensi guru menjadi faktor kendala utamanya. Pola perumusan kebijakan yang seperti itu sudah tentu tidak mengarah kepada pencapaian perbaikan dan penyelesaian masalah pendidikan dalam arti yang sebenarnya. Maka, hendak ke mana arah pendidikan Indonesia ?
Pada dasarnya, berbagai persoalan yang menjadikan ruwetnya dunia pendidikan itu berpangkal pada kesalahan paradigma dalam proses penyelenggaraan dan pembangunan dunia pendidikan di Indonesia. Kesalahan itu tampak pada tiga hal mendasar. Pertama, ketidakjelasan visi pemerintah dalam membenahi pendidikan nasional dan kekeliruan strategi yang dikembangkannya. Kedua, penanganannya yang tidak konsisten oleh orang-orang yang tidak sebenar-benarnya memahami pendidikan. Ketiga, pendekatan sekularistik yang dominan dalam pengelolaan pendidikan.
Untuk mengubah dan memperbaiki itu semua harus dilakukan pendekatan integratif dengan mengubah paradigma serta unsur-unsur pokok yang menopang tegaknya sistem pendidikan. Sehingga, pendidikan akan memenuhi hakikat tujuannya, baik dalam konteks individu, masyarakat, maupun negara. Untuk itu diperlukan penerapan sistem pendidikan Islam.
Kerangka Dasar Pendidikan Islam
Dalam konteks individu, pendidikan termasuk salah satu kebutuhan asasi manusia. Sebab, ia menjadi jalan yang lazim untuk memperoleh pengetahuan atau ilmu. Sedangkan ilmu akan menjadi unsur utama penopang kehidupannya. Oleh karena itu, Islam tidak saja mewajibkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan memberi dorongan serta arahan agar dengan ilmu itu manusia dapat menemukan kebenaran hakiki dan mendayagunakan ilmunya di atas jalan kebenaran itu. Rasulullah SAW bersabda:
“Tuntutlah oleh kalian akan ilmu pengetahuan, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah shodaqoh. Sesungguhnya ilmu itu akan menempatkan pemiliknya pada kedudukan tinggi lagi mulia. Ilmu adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan akhirat.” (HR. Ar Rabii’)
Makna hadits tersebut sejalan dengan firman Allah SWT:
“Allah niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang berilmu pengetahuan bertingkat derajat. Dan Allah Maha mengetahui terhadap apa yang kamu lakukan.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
Bagi sebuah masyarakat, pendidikan mempunyai peranan vital. Pendidikanlah yang memungkinkan pelita pemikiran suatu masyarakat menyala terang. Pelita pemikiran itu tak ubahnya laksana ruh yang memberi elan hidup bagi masyarakat untuk tumbuh dan berkembang melintasi zaman seraya mewujudkan kemajuan dan kemakmuran.
Dalam perspektif sejarah, pelita pemikiran menjadi faktor dominan yang mempengaruhi kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat. Artinya, apabila suatu masyarakat punya kepedulian tinggi untuk menyalakan pelita pemikiran dan memeliharanya terus, maka masyarakat itu akan tetap survive dan bisa meraih apa yang menjadi cita-citanya. Sebaliknya, jika masyarakat mengabaikan pelita pemikiran dan membiarkannya padam, niscaya ia akan berangsur surut hingga suatu saat tak dapat bertahan hidup.
Dengan demikian, introduksi pemikiran yang dengannya dinamika kehidupan masyarakat atau bangsa berlangsung, berhubungan erat dengan penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tugas negara untuk merencanakan, melaksanakan dan mengembangkannya.
Atas dasar itu, Islam menggariskan bahwa setiap individu (muslim) diwajibkan menuntut ilmu, yaitu menjalani proses pendidikan. Pada saat yang sama, Islam mewajibkan negara menyelenggarakan pendidikan atau wajib belajar tanpa memungut biaya kepada seluruh rakyatnya, dari jenjang pendidikan terendah (TK) hingga jenjang menengah atas (SMU). Untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi, pemerintah harus memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada siapa saja yang berminat dan punya kecakapan intelektual, tidak menetapkan syarat-syarat yang menyulitkan, tanpa biaya, dan tanpa membatasi usianya.
Pemerintah harus menjadikan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dengan menyediakan anggaran yang secukup-cukupnya. Dalam hal ini termasuk memberikan insentif para guru sehingga kesejahteraan hidup mereka benar-benar terjamin . Secara keseluruhan hal itu akan mengantarkan tercapainya kemaslahatan negara dan seluruh rakyatnya. Bila pemerintah mengabaikan hal itu, kondisi masyarakat dan negara akan memburuk. Dan kewajiban pemerintah untuk melaksanakan program pendidikan sebaik-baiknya disandarkan pada kaidah syara’.
“Suatu kewajiban yang tidak akan sempurna pelaksanaannya kecuali dengan suatu sarana tertentu, maka mengupayakan sarana tersebut menjadi kewajiban pula adanya.”
Adapun berkenaan dengan kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan, Islam menetapkan prinsip yang sederhana tapi sangat tegas dan jelas. Kurikulum pendidikan harus berlandaskan aqidah Islamiyah, karenanya seluruh materi pembelajaran atau bidang studi serta metodologi penyampaiannya harus dirancang tanpa adanya penyimpangan dalam proses pendidikan dari asas tersebut sedikit pun. Strategi pendidikan diarahkan pada pembentukan dan pengembangan pola pikir dan pola jiwa Islami. Semua disiplin ilmu disusun berdasarkan strategi ini. Membentuk kepribadian Islam dan membekali individu dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan manusia merupakan tujuan asasi dari pendidikan.
Seluruh penjelasan di atas secara praktis telah pernah diterapkan dalam kehidupan Islam sejak masa Rasulullah SAW dan berlanjut pada masa kekhilafahan sesudahnya. Sejarah pun mencatat dengan tinta emas keberhasialan yang gemilang dari penerapan sistem pendidikan Islam oleh penguasa muslim di masa lalu. Peradaban yang dihasilkannya, belum tertandingi oleh bangsa mana pun sampai kini. Hanyasaja, ketika kaum muslimin secara perlahan meninggalkan sistem pendidikan Islam yang kemudian mencampakkannya sama sekali, maka keterbelakangan pun menyergap kehidupan mereka hingga hari ini.
Khatimah
Wajah dunia pendidikan nasional merupakan representasi paling pas dari kondisi yang kini melanda bangsa Indonesia. Sistemnya yang carut-marut, visi dan orientasinya yang tak jelas, pengelolaannya yang asal jalan. Tanpa perubahan mendasar, kondisinya akan tetap demikian dan Indonesia takkan pernah bangkit menjadi bangsa yang tinggi dan terhormat. Jalan satu-satunya menuju terciptanya sistem pendidikan yang sehat adalah dengan penerapan sistem pendidikan Islam. Dan upaya melangsungkan sistem tersebut, mengharuskan adanya undang-undang yang menjamin pelaksanaan hukum-hukum Islam sebagai solusi pemecahan masalah. Sebab, sistem pendidikan Islam tidak mungkin dicangkokkan pada tatanan masyarakat selain Islam. Untuk itu perlu tegaknya sistem khilafah yang akan menerapkan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallaahu a’lam bis shawab.[Buletin Al-Islam – Edisi 6]
Assalamu’alaikum wr,wb..
sya apresiatif banget dari tlisan saudara, tapi sayangnya kok sya menemukan kejanggalan dalam berfikir saudara.
Lihat saja dari paparan yang saudara tliskan, ternyata harus saudara dekonstruksi sendiri dari beberapa paragraf yang bagi saya sangat2 tidak menggambarkan kalau saudara ini faham dengan relita sekarang. Contohnya saudara menawarkan sistem pendidikan yang gratis tanpa di pungut biaya dari pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan, tapi di satu sisi saudara menyinggung perbaikan ekonomi bagi para pengajar (guru),,kemudian pelaksanaanya yang harus di bawah sister khilafah..!!!Dengan analisis sederhana saja banyak sbenarnya yang akan mentertawakan opini saudara karena analisis yang tidak di dasarkan pada realita..Thanks…Keep fighting!!