gaulislam edisi 184/tahun ke-4 (28 Jumadil Awwal 1432 H/ 2 Mei 2011)
Sebenarnya tulisan ini termasuk dadakan lho. Baru ditulis hari Kamis, pas saya ikut nganterin buletin gaulislam edisi cetak ke sekolah-sekolah di Bogor. Padahal ada tulisan yang sudah dijadwalkan siap diedit, tapi sementara digeser ke pekan depan aja tulisan yang rencananya pekan ini dimuat ya. Jadi, harap dipersori ya buat Utha, yang udah saya tugaskan nulis. Hehehe… kalem Bro, insya Allah pekan depan dimuatnya.
Sobat muda muslim, kalo kamu coba ngikutin perkembangan saat ini, ternyata masih banyak lho pendidikan yang justru nggak mendidik. Banyak faktor yang menjadikannya seperti itu. Mulai dari bahan bakunya, alias siswanya yang belajar. Banyak kok siswa yang belajar di sekolah sebenarnya mereka nggak siap dididik. Tetapi sebaliknya, siap kalo nggak dididik. Hehehe… buktinya, kalo sekolah seringnya bolos. Jika guru mata pelajaran tertentu nggak hadir, langsung nyanyi sorak-sorak bergembira. Merdeka! Ayo ngaku! Saya nggak nuduh, lho. Heheh.. kalem Bro.
Bro en Sis, emang sih nggak semua sekolah siswanya malas belajar. Tetapi jika mau disurvei serius, sepertinya nggak sedikit yang menjadikan sekolah sebagai ajang kebanggaan di luar prestasi akademik. Misalnya, sekolah cuma jadi ajang cari teman, bikin gank, adu pamer harta, termasuk di dalamnya menyalurkan hobi pacaran (Gila! Pacaran dibilang hobi, emangnya mancing!). Untuk siswa jenis begini, prestasi akademik bukan lagi persoalan yang kudu dikejar mati-matian. Dapet nilai minimal udah bisa lulus juga alhamdulillah kali. Sebab, belajar kan sekadar efek samping. Gubrak!
Saya sering merenung dalam diam, di sepinya malam, di temaram lampu kamar. Mikir. “Kenapa ya, banyak siswa yang nggak memanfaatkan kesempatan belajarnya dengan benar dan baik? Padahal di luar sana, banyak remaja dari kalangan tak berpunya berharap bisa belajar dan berprestasi.”
Tanggung jawab siapa?
Pekan kemarin gaulislam udah bahas tema tentang rencana setelah UN, mau ngapain. Bagi yang udah baca, kamu pasti sudah punya jawabannya kan ya. Nah, edisi pekan ke-184 ini, gaulislam kembali bahas tema yang hampir mirip, tetapi lebih fokus kepada sistem pendidikan dan outputnya. Ini perlu lho, sebab dari tahun ke tahun kita masih lemah dalam pendidikan karakter. Umumnya ada sekolah yang menghasilkan anak yang pinter dan berprestasi secara akademik, tetapi akhlaknya jelek bahkan kepribadiannya rusak. Emang sih, ada juga yang prestasi akademiknya oke banget, akhlaknya juga mantap. Tetapi sangat boleh jadi jumlahnya tak banyak. Malah yang lebih parah adalah udah mah nggak berprestasi secara akademik, eh ancur pula kepribadian dan akhlaknya. Rugi abis dah!
Sungguh prihatin boys and gals, jika kita menyaksikan maraknya seks bebas di kalangan pelajar, hobi main gim online para siswa SD hingga SMA. Miris banget. Gimana nanti jika mereka udah lulus?Apakah akan tetap berbuat seperti itu? Mungkin masih mending lulus, kalo nggak lulus gimana? Siapa yang salah? Rasa-rasanya pantas juga kalo siswa yang bersangkutan menanggung akibat dari perbuatannya.
Sssttt.. apakah ini mutlak siswa yang salah? Nggak juga sih. Bisa jadi ortunya di rumah nggak peduli (atau nggak tahu?) apa yang dilakukan anaknya di luar rumah. Tipe ortu yang kayak gini emang bikin repot. Aneh banget kalo sampe nggak tahu perkembangan anak, baik secara fisik maupun kejiwaan. Maka, bisa dipastikan ortu model gini ikut andil dalam kegagalan anak. Bukan nuduh, tapi fakta.
Lalu, bagaimana jika anak udah dipermak di rumah, ortunya ketat dan tegas membina anaknya, eh,sang anak ternyata malah nggak terkontrol pergaulannya di sekolah dan di luar sekolah (selain di rumahnya tentu). Berarti ada pihak yang ikut andil dan bertanggung jawab terhadap kondisi ini. Bisa pihak sekolah yang sekadar memberikan transfer ilmu saja. Tidak mendidik apalagi membina, tetapi membiarkan anak memperbaiki akhlaknya, yang penting ilmu pelajaran sudah ditransfer, Soal anak mau ngerti atau nggak peduli jin, eh, peduli setan! (sori ye, bahasanya rada-rada sarkastis gini).
Wah, wah, kalo pihak sekolah (khususnya para guru) berprinsip yang penting ngajar atau yang penting nyampein mata pelajaran per pekannya, maka bisa dipastikan lho kalo akhirnya pihak guru di sekolah juga ikutan nanggung risikonya karena secara tidak langsung (atau bahkan langsung?) membiarkan anak didiknya nggak memiliki karakter kepribadian yang kuat. Apalagi jika gurunya muslim dan mayoritas siswanya juga muslim.
Sedih banget deh kalo sampe kejadian kayak gini. Sebab, udah hilang rasa keinginan untuk mendidik dengan benar dan baik. Utamanya dalam memoles akhlakul karimah. Gimana pun juga, pembekalan agama jauh lebih penting untuk diberikan ketimbang pembekalan lainnya. Pinter harus, tetapi menjadi saleh itu wajib. Cerdas kudu, faqih fiddin (paham dan menguasa ilmu seputar agama) lebih wajib.
Bro en Sis, jika ditimpakan semua beban kepada pihak sekolah, tentu berat juga dong. Tetapi kita berbagi tanggung jawab aja. Kita sendiri kudu merasa harus terus belajar. Hebat nian jika ortu di rumah memberikan arahan-arahan yang benar dan baik, para guru di sekolah memberikan pengajaran yang mencerahkan dan rajin membina, ditambah negara yang peduli dengan pendidikan, hmmm… pastinya lebih keren kan! Sehingga amat wajar jika pada akhirnya akan menghasilkan generasi yang hebat: baik di bidang agama maupun ilmu pengetahuan. Itu sebabnya, berbagi peran dan tanggung jawab ini mutlak diperlukan.
Salah asuhan
Namanya juga salah inputnya, berarti salah juga outputnya. GIGO alias Garbage In Garbage Out. Masuk sampah ya keluarnya sampah juga. Kalo dalam pendidikan terhadap manusia, hal ini bisa disebut salah asuhan. Misalnya, anak yang diajarkan kebencian setiap hari, kemungkinan besar dia akan jadi pendendam. Jika diajarkan secara rutin kebiasaannya berbohong, maka sangat boleh jadi dia akan merasa nyaman membohongi orang lain.
Lalu, pendidikan yang kayak gimana yang salah asuhan? Jawabnya, pendidikan yang tak mendidik. Pendidikan yang timpang. Sepertinya cenderung mengejar prestasi akademik, dan mengabaikan akhlak. Ukuran orang sukses pun hanya berhenti pada apa yang diraihnya berupa harta dan jabatan atau titel tertentu. Seringkali akhlak bukan lagi ukuran mutlak. Kebahagiaan yang diraih seringkali hanya materi, bukan keridhoan Allah Swt. Kondisi seperti ini tanpa sadar mulai dibiasakan. Padahal, di masa kejayaan Islam, seorang pakar kimia seperti Jabir Ibnu Hayyan dan Imam Abu Hanifah, ternyata juga ulama. Ibnu Sina bukan hanya seorang ulama, tetapi sekaligus pakar di bidang kedokteran. Hebat kan?
Saat ini bagaimana? Kita bisa saksikan sendiri produknya. Tidak semua rusak sih, tetapi kebanyakan nggak bagus. Sudah lazim diketahui saat ini jumlah para pengguna narkoba dan pelaku seks bebas kian tambah banyak. Belum lagi yang pikirannya liberal atau ke sekolah cuma ngabisin jatah uang jajan dari ortu. Memilih jadi selebriti di dunia hiburan ketimbang ‘selebriti’ di dunia ilmu pengetahuan dan agama. So, bisa dikatakan ini memang salah asuhan. Baik di rumah, di sekolah, terlebih oleh negara. Padahal, dalam Islam, Allah Swt. sudah mewanti-wanti agar kita menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka, melalui firmanNya (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS at-Tahrim [66]: 6)
Kecurigaan berakhir pembodohan
Ide tulisan ini muncul saat saya nganterin gaulislam ke sebuah sekolah di bawah yayasan yang dimiliki militer. Hehehe… sang petugas penerima, berpakaian seragam militer nanya, “Ini buletin apa, dari mana?” sambil dia lihat-lihat bagian informasi pengelola buletin gaulislam. Terus lihat judulnya dan berkomentar, “Selesai UN, Mau Ngapain?” Ya, bekerja lah. Jangan ngebom! Dia bercanda, karena setelah itu diiringi ketawa bareng guru lainnya.
“Oh… nggak lah Pak. Lagian kita juga kalo tiap pagi kan ‘ngebom’, cuma tempatnya lain” Kami ngakak bersama. Dia menandatangani tanda terima pengiriman, lalu saya pergi. Tetapi dalam hati saya berpikir keras: “Mengapa selalu jadi tujuan bahwa sekolah adalah untuk kerja? Mengapa juga kecurigaan terhadap kasus terorisme begitu tebal? Haruskah media Islam senantiasa dicurigai sebagai mesin informasi pencuci otak manusia?”
Hmm.. jadi inget waktu ngisi acara Taman Curhat Remaja beberapa waktu lalu di Radio MARS 106 FM Bogor, ada penanya via SMS yang menuliskan bahwa ortunya curiga ketika dia ikut pengajian, gara-gara kasus bom dan terorisme. Hmm..gitu ya. Tetapi kenapa dalam waktu yang bersamaan, orang tua nggak curiga anaknya pacaran dan seks bebas ya? Aneh!
Oya, curiga boleh. Tetapi jangan lebay lah. Jangan berlebihan. Nggak perlu langsung melarang-larang. Ajaklah dialog, tanya dengan benar dan baik seputar apa yang dipelajarinya, siapa gurunya, di mana belajarnya. Sebab, nggak semua salah lho. Jangan sampe kecurigaan berakhir dengan pembodohan. Nggak boleh baca buku ini, nggak boleh ngaji, nggak boleh belajar Islam. Lha, terus yang boleh apa?
Cukup sudah. Kita saatnya mendapatkan pendidikan yang mendidik. Bukan yang membodohi. Kita butuh pendidikan yang menjadikan orang berani berkata benar sesuai apa yang dipahaminya, bukan malah membuat takut bersuara dan memiliki pendapat yang benar.
Adakah pendidikan yang mendidik itu? Ada. Yakni ketika Islam dipahami sebagai ideologi, ketika Islam dipahami sebagai akidah dan syariat sekaligus. Dunia dikejar, akhirat diraih. Keren kan? So, mari tunjukkan bahwa Islam bisa menyelesaikan problem yang telah dibuat oleh kapitalisme-sekularisme selama ini. Ayo, ngaji lagi dan terus ngaji, Bro en Sis rahimakumullah! Sip deh. [solihin: osolihin@gaulislam.com]
memang sekarang zaman edan semua,baik ortu maupun anak anak selama bukaan islam yang memimpin dunia…maju terus..gaul islam