Friday, 22 November 2024, 00:59

Islam yang diturunkan Allah SWT kepada Muhammad SAW adalah sebuah peraturan menyeluruh untuk segala aspek kehidupan dan risalah bagi segenap umat manusia. Untuk itu, wajar dan bahkan harus ada sebuah pemerintahan/negara yang bertanggung jawab menerapkan peraturan tersebut dan menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Pemerintahan ini dalam khazanah fiqh Islam biasa disebut Khilafah atau Imamah, yang tak diragukan lagi kewajibannya dalam Islam. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416 :

“Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad) –rahimahumullah– telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib, dan bahwa ummat Islam wajib mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya…”

Tak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah termasuk juga Khawarij dan Mu’tazilah tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah.

Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal, juz 4, hal. 87 mengatakan :

“Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)…” 1)

Karena itu, tidak tepat pendapat sebagian intelektual yang menolak kewajiban adanya konsep bernegara dalam Islam, dengan dalih bahwa dalam Al Qur`an tidak ada istilah “daulah” (negara) 2). Memang dalam Al Qur`an tak ada kata “daulah”, namun para fuqaha telah membahas konsep kenegaraan dan pemerintahan dengan istilah lain dengan substansi isi (content) konsep yang sama, yaitu istilah Khilafah atau Imamah, serta istilah Darul Islam dan Darul Kufur 3).

Keberadaan pemerintahan Islam itu sendiri, telah menghiasi catatan sejarah Islam sejak ia muncul pertama kali tahun 622 M tatkala Rasulullah saw berhijrah meninggalkan Makkah menuju Madinah dan mendirikan pemerintahan Islam di sana, sampai hancurnya pemerintahan Islam di Turki tahun 1924 M 4).

Namun sebelum dibahas penyelenggaraan pemerintahan Islam dalam lintasan sejarah tersebut, perlu kiranya dipahami lebih dulu kaitan antara tinjauan sejarah dengan nilai normatif/ideal dalam Islam. Pertama, sejarah bukanlah sumber hukum atau pandangan hidup Islam. Sejarah adalah deskripsi fakta tindakan manusia di masa silam dan tafsiran-tafsirannya. Dengan demikian, untuk mengetahui jenis peraturan (nau’ an nizham) atau sumber peraturan (mashdar an nizham) yang diterapkan dalam suatu masa dalam sejarah Islam, tidak dapat diketahui dari sejarah, tetapi dari kitab-kitab fiqih Islam atau sumber fiqih Islam, yaitu Al Qur`an dan As Sunnah 5). Kedua, kalaupun kita ingin memanfaatkan sejarah, itu terbatas untuk mengetahui cara penerapan (kaifiyat at tathbiq) suatu peraturan Islam dalam suatu masa. Jadi sejarah dapat menginformasikan peristiwa-peristiwa politik kepada kita, lalu kita dapat mengetahui bagaimana Islam diterapkan saat itu 6). Ketiga, jika kita hendak mengetahui penerapan Islam dalam sejarah, perlu diperhatikan 2 (dua) aspek, a) kita tidak mengambil sejarah dari musuh-musuh Islam yang membenci Islam, atau kita mengambilnya dari kalangan sejarawan muslim setelah melakukan penelitian yang mendalam, agar kita tidak mendapatkan gambaran kenyataan yang salah. b) tidak dibenarkan melakukan generalisasi yang menyeluruh (al qiyas asy syumuli) terhadap sejarah masyarakat berdasarkan sejarah individu-individu, misalnya menggeneralisasikan masyarakat masa Umawiyah dengan sejarah Yazid bin Mu’awiyah 7).

Berdasarkan prinsip-prinsip ini, kita akan dapat meletakkan posisi sejarah secara benar dan proporsional dalam kaitannya dengan nilai-nilai normatif dalam Islam. Jadi kita tidak akan, misalnya, mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah kerajaan, berdasarkan fakta sejarah bahwa kepemimpinan negara selalu diwariskan secara turun temurun. Padahal, fakta itu adalah suatu penyimpangan dari tatacara bai’at yang ideal, bukan penerapan bai’at secara benar. Kekeliruan ini sering terjadi. Bacalah  misalnya kutipan berikut :
  
“Sebagaimana telah disebutkan dalam bab terdahulu, puncak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Usmani terjadi pada masa pemerintahan Sulaiman Al Qanuni (1520-1566 M)…” 8)

Dengan prinsip itu, hati kita juga tidak akan miris dan kecut, lalu membenci setengah mati konsep Khilafah karena adanya kekejaman sebagian tokoh politik Islam dalam sejarah, misalnya  :  

“Kekacauan ini makin menjadi-jadi dengan tampilnya Sultan Muhammad III (1595-1603 M), pengganti Murad III, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 9 orang dan menenggalamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi.” 9)

Tentu saja pembunuhan secara tidak benar harus dibenci oleh seorang muslim. Namun menjadi tidak benar bila rasa kebencian ini kemudian dijadikan dasar untuk menolak kewajiban Khilafah, karena wajibnya Khilafah bukan didasarkan pada fakta-fakta sejarah, melainkan didasarkan pada nash-nash syara’, bukan yang lain.

Namun perlu pula dipahami bahwa ada di antara fakta sejarah yang dapat menjadi sumber hukum Islam. Hanya saja ini terbatas pada sejarah Nabi Muhammad SAW (Sirah Nabawiyah)  –setelah dilakukan verifikasi riwayat dengan derajat sahih dan hasan— dan sejarah para shahabat (Tarikh Ash Shahabat) tatkala mereka menyepakati (berijma’) terhadap suatu persoalan, sebab Ijma’ Shahabat adalah juga sumber hukum Islam. Selain dari itu, secara mutlak sejarah tidak dapat menjadi sumber hukum Islam 10).

Itulah asumsi yang menjadi dasar makalah ini, yang tentu saja tidak akan membahas penyelenggaraan pemerintahan Islam secara detail sepanjang sejarah Islam, melainkan hanya secara garis besarnya saja. Dengan bahasan ini, diharapkan kita dapat mengetahui bagaimana pemerintahan Islam diselenggarakan. Selain itu diharapkan pula kita dapat menarik pelajaran dari penyimpangan yang terjadi, agar kita tidak melakukan kesalahan serupa, tatkala umat menyelenggarakan pemerintahan Islam di masa depan, Insya Allah.

Allah SWT berfirman :

Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS Al Hasyr : 2)

Rasulullah SAW bersabda :

Hendaklah seorang mukmin tidak terperosok ke satu lubang (yang sama) dua kali.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dari Abu Hurairah RA) 11)

Penyelenggaraan Pemerintahan Islam Dalam Sejarah
Umat Islam dalam sejarahnya yang panjang, tidak menerapkan peraturan hidup selain Islam sejak Rasulullah SAW berada di Madinah –tatkala berdirinya Daulah Islamiyah untuk pertama kali– sampai tahun 1336 H (1918 M), tatkala Daulah Islamiah yang terakhir jatuh ke tangan penjajah 12).

Saat itu penerapan Islam mencakup seluruh segi kehidupan dengan keberhasilan yang gemilang. Yang menerapkan peraturan adalah negara/pemerintahan melalui dua pihak.  Pertama, Al Qadli (hakim) yang mengadili berbagai macam sengketa di antara manusia.  Kedua, penguasa yang memimpin rakyat.

Mengenai Al Qadli (hakim), telah sampai kepada kita melalui riwayat yang mutawatir (pasti kebenarannya) bahwa para qadli inilah yang menyelesaikan berbagai macam sengketa di antara  manusia sejak masa Rasulullah SAW hingga hancurnya Khilafah di Istambul.  Mereka menyelesaikan berbagai perkara berdasarkan hukum-hukum syara’ yang agung dalam seluruh aspek kehidupan, baik di antara kaum muslimin sendiri maupun di antara rakyat yang berbeda agamanya.  Mahkamah (pengadilan) yang menyelesaikan seluruh persengketaan, seperti hak-hak umum, hukuman/sanksi, al ahwalusy syakhshiyah (hukum pengaturan keluarga), dan yang lainnya, adalah satu bentuk mahkamah saja, yang hanya menerapkan Syari’at Islam.  Tidak ada seorang sejarawan pun memberitakan bahwa ada satu perkara yang pernah diputuskan dengan selain hukum Islam; atau ada satu mahkamah di suatu negeri Islam yang memberlakukan hukum selain hukum Islam.

Keadaan ini terjadi sebelum dipisahkannya pengadilan dalam bentuk mahkamah-mahkamah agama dan sipil, yang masing-masing  berdiri sendiri sebagai akibat pengaruh penjajahan yang kafir.   Bukti yang terpercaya mengenai hal ini dapat dilihat melalui berbagai dokumen mahkamah syari’at yang tersimpan di beberapa kota tua seperti Al Qudus (Yerussalem), Baghdad, Damaskus, Mesir, Istambul, dan lain sebagainya.  Hal ini merupakan bukti yang meyakinkan bahwasanya hanya Syari’at Islam sajalah yang diterapkan oleh para qadli, sampai-sampai yang non muslim dari kalangan orang-orang Nashrani dan Yahudi pun mempelajari fiqih Islam dan berkarya dalam bidang ini, seperti Salim Al Baz yang mensyarah Majalah Al Ahkam Al Adliyah  (undang-undang di masa pemerintahan Utsmaniah).

Adapun masuknya undang-undang Barat ke negeri Islam, disebabkan adanya fatwa ulama yang berpendapat bahwa itu tidak bertentangan dengan  hukum-hukum Islam.  Di antara hukum-kukum Barat tersebut antara lain Qanun Al Jazaa’ Al Utsmani (UU Pidana Pemerintahan Utsmaniah) tahun 1275 H (1857 M), Qanun Al Huquuq wat Tijaarah (UU Keuangan dan Perdagangan) tahun 1276 H (1858 M). 

Kemudian di tahun 1288 H (1870 M) mahkamah pengadilan  dibagi menjadi dua, yaitu Mahkamah Syari’ah (Peradilan agama) dan Mahkamah Nizhamiah (Peradilan Sipil) yang kemudian dibuat undang-undangnya.  Pada tahun 1295 H (1877 M) dibuat peraturan tentang pembentukan Mahkamah Sipil (badan dan strukturnya).  Pada tahun 1296 H (1878 M) dibuat undang-undang mengenai tata cara  pengadilan yang menyangkut hak-hak (keuangan) dan hukum pidana 13).

Karena saat itu para ulama tidak mendapatkan suatu justifikasi syar’i untuk memasukkan undang-undang sipil  Barat ke negeri Islam,  dibuatlah kemudian Majalah Al Ahkam Al Adliyah sebagai undang-undang mu’amalat. Akan tetapi pada  akhirnya undang-undang  sipil Barat ini ditinggalkan pada tahun 1286 H (1868 M).  Undang-undang itu dibuat sedemikian rupa seolah-olah hukum-hukum itu diperbolehkan dalam Islam.  Namun  ia tetap tidak diberlakukan, kecuali setelah negara mendapatkan fatwa yang memperbolehkannya dan  setelah diizinkan  oleh Syaikhul Islam  untuk melaksanakannya, sebagaimana yang tegambar dalam surat-surat resmi yang membahas masalah ini.

Meskipun sejak tahun 1918 M penjajah mulai mengambil alih masalah penyelesaian persengketaan yang menyangkut hak-hak dan hukum pidana berlandaskan selain hukum-hukum Syari’at Islam, akan tetapi negeri-negeri yang tidak dijajah secara militer –walaupun pengaruh penjajah mulai terasa– masih tetap  melaksanakan hukum Islam, seperti misalnya negeri-negeri Jazirah Arab yaitu Hijaz, Najd, dan Kuwait. Begitu pula Afghanistan yang saat itu masih menerapkan Islam, sekalipun para penguasa di negeri Afghanistan saat ini tidak lagi melaksanakan  hukum Islam. (Pada tahun 1973 terjadi kudeta di Afghanistan yang mengubah sistem  peradilan Islam menjadi pengadilan sipil biasa).  Oleh karena itu, kita akan mendapatkan bahwa Islam telah diterapkan oleh negara dalam pengadilan dan tidak diterapkan selain Islam di sepanjang sejarahnya.

Mengenai penguasa sebagai pihak kedua dalam penerapan hukum Syari’at Islam, dia telah menerapkan Syari’at Islam yang mencakup lima bidang/aspek, yaitu (1) Sosial (yang mengatur interaksi pria dan wanita), (2) Ekonomi, (3) Pendidikan, (4) Politik Luar Negeri, dan (5) Pemerintahan 14).

Hukum-hukum yang menyangkut kelima bagian ini telah diterapkan oleh Daulah Islamiyah sejak dulu.  Tentang aturan yang mengatur interaksi wanita-pria (An Nizhamu Al Ijtima’i) dan segala hal yang dihasilkan dari hubungan tersebut yaitu yang biasa disebut dengan Al Ahwalusy Syakhshiyah, ia masih tetap berlaku dalam batas-batas tertentu hingga saat ini, sekalipun penjajahan masih merajalela dan hukum-hukum kufur masih diterapkan.

Mengenai peraturan ekonomi (An Nizham Al Iqtishadi), terdapat dua segi di sini.  Pertama, bagaimana negara mengumpulkan harta dari rakyat untuk mengatasi persoalan ekonomi masyarakat.  Kedua, bagaimana cara mendistribudikannya.  Pemasukan negara antara lain diperoleh dari zakat atas harta yang dimiliki baik berupa uang, tanah hasil pertanian, atau ternak, yang merupakan ibadah.  Kemudian ia dibagikan hanya kepada delapan ashnaf (golongan) yang tercantum dalam Al Qur’an dan tidak digunakan untuk urusan penyelenggaraan negara.

Negara mengumpulkan harta untuk membiayai urusan negara dan urusan umat hanya berdasarkan Syari’at Islam semata.  Negara tidak pernah mengambi/menerapkan sistem perpajakan (sebagai pemasukan) melainkan hanya menerapkan Islam; antara lain mengambil pungutan kharaj atas tanah, jizyah dari rakyat non-muslim, bea cukai yang dipungut karena negara bertanggung jawab mengatur perdagangan luar dan dalam negeri. Semua harta ini tidak pernah diperoleh negara kecuali sesuai dengan hukum Syari’at Islam.

Mengenai distribusi harta, negara menerapkan hukum-hukum nafaqah (ahkamun nafaqat) kepada orang yang lemah (tidak mampu), menetapkan larangan mengurus harta terhadap orang yang idiot (safiih) dan berperilaku mubazir, serta mengangkat orang yang bisa menjaganya.  Di samping itu banyak tempat-tempat (rumah makan) yang didirikan di setiap kota dan rute perjalanan yang dilalui jamaah haji untuk memberi makan fakir, miskin, dan ibnu sabil.  Bekas-bekas peninggalannya masih dapat dijumpai sampai sekarang di beberapa ibukota negeri Islam.  Ringkasnya, distribusi atau pembelanjaan harta negara dilakukan berdasarkan Syari’at Islam dan tidak diberlakukan selain Syari’at Islam. 

Apabila  kita menyaksikan dalam sejarah adanya kelalaian negara dalam mendistribusikan harta, hal itu semata-mata adalah ‘kurang perhatian’ (ihmal) dan kekeliruan dalam penerapan (isa`atut tathbiq), bukan berarti hukum-hukum Islam yang menyangkut aspek ini tidak diterapkan sama sekali.

Adapun sistem pendidikan (at ta’lim), terbukti pula bahwa strategi pendidikan yang diterapkan selalu dibangun berlandaskan Islam. Dalam hal ini, kebudayaan Islam (Tsaqafah Islamiyah) merupakan asas bagi kurikulum pendidikan. Sedangkan kebudayaan asing senantiasa diawasi dan tidak diambil karena bertentangan dengan Islam.  Kalaupun ada kelalaian negara dalam membuka sekolah-sekolah asing, itu hanya terjadi pada masa-masa terakhir Daulah Utsmaniah. Dan ni terjadi di seluruh negeri-negeri Islam, akibat kemerosotan berpikir yang mencapai klimaksnya pada saat itu.  Adapun pada masa-masa sebelumnya itu,  sungguh sangat terkenal di seluruh dunia, bahwa negeri-negeri Islam-lah satu-satunya yang menjadi pusat perhatian para cendekiawan dan kaum terpelajar.  Perguruan-perguruan tinggi seperti yang terdapat di Cordoba, Baghdad, Damaskus, Iskandariah, dan Kairo, memiliki pengaruh yang amat besar dalam menentukan arah pendidikan di dunia 15).

Begitu pula halnya politik luar negeri (As Siyasah Al Kharijiyah), ia selalu dibangun berlandaskan Islam. Negara Khilafah telah menentukan hubungannya dengan negara-negara lain hanya berdasarkan Islam.  Seluruh negara di dunia pada saat itu melihatnya sebagai suatu Negara Islam.  Seluruh hubungan luar negeri dibangun atas dasar Islam dan kemaslahatan kaum muslimin. Bahwa politik politik luar negeri Negara Khilafah adalah  politik Islam, sudah sangat masyhur di seluruh dunia sehingga tidak perlu dibuktikan lagi.

Mengenai sistem pemerintahan (Nizham Al Hukm), jelas sekali bahwa struktur negara di dalam Islam terdiri dari delapan bagian, yaitu:

  1. Khalifah, yaitu kepala negara,
  2. Mu’awin Tafwidl, sebagai pembantu Khalifah yang berkuasa penuh,
  3. Mu’awin Tanfidl, sebagai pembantu Khalifah dalam urusan administrasi
  4. Para Wali (gubernur),
  5. Para Qadli (hakim)
  6. Amirul Jihad dan Angkatan Bersenjata (Al Jaisy),
  7. Aparat Administrasi (Al Jihaz Al Idari/Mashalih Ad Daulah),
  8. Majelis Ummat 16)

Struktur seperti ini sesungguhnya selalu ada.  Umat Islam belum pernah melalui satu masa pun, tanpa hadir di tengah-tengah mereka seorang Khalifah.  Kecuali tentu saja setelah para penjajah kafir menghapuskan sistem Khilafah dengan memperalat Musthafa Kamal Ataturk yang murtad pada tahun 1342 H (1924 M).  Sebelum itu, kaum muslimin selalu dipimpin oleh seorang Khalifah. Belum pernah terjadi kekosongan jabatan Khalifah tanpa disertai  adanya Khalifah lain sebagai penggantinya, meskipun pada masa-masa kemundurannya.

Apabila seorang Khalifah diangkat, maka pada saat itu terbentuklah Daulah Islamiyah.  Sebab, kekuasaan Daulah Islamiyah berada di tangan Khalifah itu sendiri.

Mengenai Mu’awin Tafwidl dan Mu’awin Tanfidz, mereka selalu ada pada seluruh masa.  Kedudukan mereka tidak lain sebagai pembantu dan pelaksana, bukan sebagai Wuzaraa’ (badan kementerian). Kalaupun ada sebutan Wazir –seperti yang terjadi pada masa Abbasiah— akan tetapi mereka tetap sebagai para pembantu Khalifah. Sama sekali tidak terdapat ciri-ciri kementerian seperti yang ada dalam sistem Demokrasi.  Kedudukan mereka hanya sebagai pembantu Khalifah dalam urusan pemerintahan dan administrasi negara, sedangkan wewenang kekuasaan secara keseluruhan berada di tangan Khalifah.

Adapun para Wali, Qadli, dan Aparat Administrasi (Al Jihaz Al Idari/Mashalih Ad Daulah),  jelas sekali bahwa eksistensi mereka selalu ada.  Bahkan tatkala para penjajah kafir menduduki negeri-negeri Islam, urusan pemerintahan masih berlangsung dan dijalankan oleh para Wali, Qadli dan aparat administrasi, sehingga keberadaan mereka tak perlu memerlukan bukti lagi.

Akan halnya angkatan bersenjata (Al Jaisy) yang urusan administrasinya dipimpin oleh seorang Amirul Jihad, kedudukannya adalah sebagai pasukan Islam.  Pada saat keemasannya, berkembang opini umum di seluruh dunia bahwa pasukan Islam adalah pasukan yang tidak terkalahkan.

Tentang Majelis Ummat, yang fungsinya sebagai majelis syura, sepeninggal masa Khulafaur Rasyidin tidak lagi diperhatikan keberadaannya. Hal ini dikarenakan Syura, sekalipun termasuk salah satu struktur negara, akan tetapi bukan merupakan bagian dari pilar bangunan negara Islam.  Syura (pengambilan pendapat) hanya merupakan salah satu hak rakyat terhadap para penguasa.  Apabila penguasa tidak meminta pendapat dari rakyat (dalam berbagai urusan), penguasa memang telah melakukan suatu kelalaian.  Sekalipun demikian, pemerintah tersebut tetap merupakan pemerintah Islam. Sebab, musyawarah yang dilakukan hanya merupakan forum pengambilan pendapat, bukan untuk menetapkan kebijakan negara. Berbeda halnya dengan peranan parlemen pada sistem Demokrasi.  Dari sini jelaslah bahwa sistem pemerintahan Islam telah diterapkan di sepanjang sejarah Islam

Dari seluruh penjelasan di atas dapatlah kita lihat bahwa sistem Islam benar-benar telah diterapkan secara nyata dan tidak pernah sekali pun pada seluruh masa Daulah Islamiyah diterapkan sistem selain sistem Islam 17).

Beberapa Penyimpangan dan Kelemahan
Tidak dapat kita ingkari, bahwa telah terjadi penyimpangan atau kelemahan dalam penyelenggaraan pemerintahan Islam dalam sejarahnya. Misalnya dalam pelaksanaan bai’at yang menjadi metode pengangkatan Khalifah. Dalam sejarah, seakan-akan sistem pemerintahan yang diterapkan adalah kerajaan, karena kekuasaan diwariskan secara turun temurun di sebagian masa.

Namun satu hal yang perlu dicatat, bahwa yang pasti, sebenarnya dalam Islam tidak pernah dikenal sistem ”putera mahkota”.  Dengan kata lain, pewarisan tahta tidak pernah dianggap sebagai hukum yang legal di dalam suksesi kepemimpinan negara –yakni untuk mengangkat kepala negara– seperti yang berlaku pada sistem Kerajaan.  Sebab, yang menjadi hukum legal untuk mendapatkan kekuasaan di dalam Daulah Islamiyah adalah bai’at. Pada masa-masa tertentu bai’at diambil dari  umat secara langsung. Pada masa yang lain melalui Ahlul Halli wal ‘Aqdi, bahkan pernah juga diambil dari satu orang saja yaitu dari Syaikhul Islam  pada masa kemunduran ummat (akhir masa Khilafah Utsmaniyah).  Meskipun begitu, di sepanjang masa Daulah Islamiyah, seorang Khalifah selalu diangkat melalui bai’at.  Khalifah tidak pernah diangkat dengan cara pewarisan tahta (sistem putera mahkota) tanpa adanya bai’at sama sekali. Tidak ada satu pun riwayat atau peristiwa yang menunjukkan bahwa Khalifah pernah diangkat dengan cara pewarisan kekuasaan tanpa melalui bai’at 18).

Meskipun demikian memang pernah didapati cara keliru dalam pengambilan  bai’at.  Ada sebagian Khalifah yang mengambil bai’at dari rakyat pada saat ia masih hidup untuk anaknya, atau saudaranya, keponakannya, atau salah seorang anggota keluarganya.  Setelah itu bai’at ini diulangi sekali lagi untuk orang yang ditunjuk setelah Khalifah meninggal. Pelaksanaan seperti ini menunjukkan adanya penyalahgunaan dalam penerapan bai’at; dan bukan menunjukkan pengakuan adanya sistem pewarisan tahta atau putera mahkota.  Sama halnya dengan penyalahgunaan yang terjadi pada tata cara ”pemilu” untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam sistem Demokrasi, yang prosesnya tetap disebut sebagai “pemilihan” dan bukan sebagai “penunjukan/pengangkatan”, sekalipun yang menang dalam pemilu adalah orang-orang yang dikehendaki oleh pemerintah.

Penyimpangan atau kelemahan lainnya misalnya adanya partai-partai politik yang menggunakan kekuatan militer (thariqul quwwah)  untuk meraih kekuasaan,  bukan menggunakan dukungan umat (thariqul ummah). Seperti golongan Abbasiyah yang menduduki Persia dan Irak serta menjadikan wilayah ini sebagai sentral kekuasaannnya. Lalu dari sini mereka menggulingkan kekuasaan dan menjadikan Bani Hasyim sebagai para penguasanya. Begitu pula yang dilakukan golongan Fathimiyin yang telah menduduki Mesir dan menjadikannya sebagai sentral kekuatannya dengan menjadikan  keturunan Fathimah RA sebagai para pemimpinnya.

Kelemahan lainnya juga nampak dari pemberian otoritas yang besar dan luas kepada para Wali (Gubernur) di berbagai wilayah. Misalnya diamnya penguasa Abbasiyah terhadap Abdurrahman Ad Dakhil yang berkuasa di Andalusia dan membiarkannya berkuasa secara independen. Meskipun Andalusia saat itu masih menjadi bagian integral dari Khilafah, tetapi wilayah itu sudah terpisah dari segi pengelolaan pemerintahannya. Demikian pula halnya para penguasa Saljuqiyyin dan Hamdaniyyin, yang sebenarnya adalah para Wali. Khalifah memberikan kewenangan yang luas kepada mereka sehingga akhirnya mereka mengatur urusan wilayahnya sendiri secara independen, terlepas dari pusat. Hubungan dengan pusat hanya formalitas, seperti doa kepada Khalifah di mimbar Jumat, pencetakan mata uang atas namanya, pengiriman kharaj kepadanya, dan sebagainya 19

Hal-hal tersebut telah melemahkan Daulah Islamiyah, hingga kemudian datang golongan Utsmaniyin mengambil kendali pemerintahan Khilafah (abad ke-9 H/ke-15 M). Meskipun demikian, mereka tetap berhasil mempersatukan negeri-negeri Islam seperti negeri-negeri Arab di bawah kekuasaannya (abad ke-10 H/ke-16 M) kemudian  menyebarluaskan Islam ke negara-negara Eropa. Kelemahan yang ada belum begitu terasa atau diperhatikan pada masa-masa awal kekuasaan Khilafah Utsmani (abad ke-9 H/ke-15 M). Sebab saat itu mereka mempunyai kekuatan militer yang hebat dan disegani oleh musuh-musuhnya, yakni negara-negara Eropa yang kafir. Bila ditimbang, Daulah Islamiyah masih lebih unggul daripada Eropa dalam bidang pemikiran, hukum, dan peradaban. Eropa saat itu masih tenggelam dalam abad kegelapan, meskipun sudah mulai bangkit.

Pada saat yang demikian, Khilafah melakukan futuhat ke negara-negara Eropa, sampai ke bagian selatan dan timur wilayah Balkan. Jutaan orang masuk Islam di Albania, Yugoslavia, dan Bulgaria. Negara-negara Eropa pun mulai membahas bagaimana cara menghadapi serangan jihad Khilafah ini. Muncullah apa yang dikenal dengan “Masalah Timur” (al mas`alah asy syarqiyah), yakni bagaimana menghindarkan diri dari serbuan pasukan Khilafah Utsmaniyah, di bawah pimpinan Muhammad Al Fatih (abad ke-9 H/ke-15 M). Pasukan ini terus eksis dan misinya dilanjutkan oleh generasi-generasi  Islam sesudahnya hingga berhentinya jihad pada abad ke-11 H/ke-18 M ketika pasukan Islam dipimpin Sulaiman Al Qanuni 20)

Barulah pada abad ke-18 M ini, kelemahan negara Khilafah itu makin terasa. Seharusnya saat itu penguasa Khilafah Utsmaniyah mengambil upaya-upaya perbaikan. Misalnya menggali pemahaman Islam yang sahih dan murni, memperhatikan bahasa Arab, mendorong ijtihad, serta mengembangkan aspek pemikiran dan hukum. Namun, sayangnya semua ini tak terjadi.

Selanjutnya, Khilafah makin lama makin lemah, sementara di pihak lain negara-negara penjajah dari Eropa makin lama makin kuat. Kondisi inilah yang pada gilirannya membuat Khilafah Utsmaniyah dijuluki “The Sick Man”. Malangnya, dia tidak berhasil disembuhkan dan disehatkan kembali, bahkan kondisinya semakin parah dan akhirnya sekarat. Pada puncaknya Musthafa Kamal Ataturk yang murtad mengumumkan penghapusan Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924.

Dalam kitabnya Ad Daulah Al Islamiyah, Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani menyimpulkan bahwa segala kelemahan atau penyimpangan Daulah Islamiyah berpangkal pada 2 (dua) hal pokok, Pertama, kelemahan dalam pemahaman (al fahm) terhadap Islam, dan kedua, kelemahan dalam penerapan (at tathbiq) Islam.

Karena itu, hal pertama kali yang harus dibenahi untuk mengembalikan Daulah Islamiyah dalam realitas kehidupan adalah pemahaman terhadap Islam. Umat harus memiliki pemahaman yang sahih terhadap Islam, termasuk pemahaman sahih mengenai kehidupan bernegara dan bermasyarakat menurut Islam. Setelah Daulah Islamiyah berdiri, pemahaman yang sahih tadi, disertai penerapan yang sempurna, akan membuat Daulah kuat-mantap dan lestari dalam menjalankan tugas-tugas sucinya, yaitu menerapkan Islam di dalam negeri, dan menyebarluaskan risalah Islam ke luar negeri dengan jalan dakwah dan jihad fi sabilillah 21). 

Penutup
Demikian  gambaran singkat mengenai penyelenggaraan pemerintahan Islam dalam sejarah. Memang harus diakui bahwa telah terjadi beberapa penyimpangan. Namun ini justru menunjukkan bahwa pada prinsipnya, yang diterapkan adalah Islam, bukan yang lain. Berbeda dengan kondisi sekarang, penyimpangan yang terjadi adalah penyimpangan di atas penyimpangan. Karena yang diterapkan pada dasarnya adalah bukan sistem Islam, yakni sistem sekuler yang kafir, kemudian menyimpang, dengan adanya korupsi, penindasan, kekerasan, penipuan, dan sebagainya.

Semoga gambaran singkat ini menjadi satu bata untuk bangunan sistem Khilafah Islamiyah di masa depan, meski harus juga disadari oleh semuanya, bahwa membangun sistem itu bukanlah upaya yang mudah. Umat harus mencurahkan usaha dan upaya yang sangat keras, mempunyai keikhlasan yang tinggi, dan siap-sedia berkorban, menderita, dan bahkan mati syahid di jalan kebenaran ini untuk menggapai keridhaan Allah SWT di dunia dan akhirat. [ Muhammad Shiddiq Al Jawi** ] 
     
CATATAN :

  1. Kewajiban Khilafah/Imamah dapat dilihat misalnya dalam : Imam Al Mawardi,  Al Ahkamush Shulthaniyah,  hal.5 dan 9, Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa,  jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97, Ibnu  Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167,  Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah,  hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176,Imam An Nawawi,  Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr. Dliya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah,  Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi,  Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji,  Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, Imam Nawawi, Mughni Al Muhtaj, juz 4 hal.132, Imam Al Qalqasyandi, Subhul Al A’sya, juz 9 hal. 277, Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, juz 9 hal. 360, Imam Asy Sya’arani, Al Mizan Al Kubra, juz 2  hal. 157, Imam Al Qadhi Abdul Jabbar, Al Mughni Fi Abwab Al Tauhid, juz 20 hal. 243, Imam Al Asy’ari, Maqalat Al Islamiyyin, juz 2 hal. 134, Imam  At Tabari, Tarikh At Tabari, Al Waqidi, Al ‘Aqd Al Farid, Ibnu Katsir, As  Sirah, Al Baihaqi, Al Sunan Al Kubra, dan Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam.
  2. Mengenai intelektual yang mengingkari kewajiban Khilafah, misalnya Nurcholis Madjid, dengan bukunya Tidak Ada Negara Islam, Ali Abdur Raziq, dengan kitabnya Al Islam Wa Ushululul Hukm, dan Abdul Hamid Mutawalli, dengan kitabnya Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam.
  3. Wahbah Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz 9 hal. 823-836.
  4. Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Islam, hal. 40 dan 43.
  5. Ibid., hal. 49.
  6. Ibid., hal.50.
  7. Ibid., hal.48.
  8. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 155.
  9. Ibid., hal. 164.
  10. Taqiyyuddin An Nabhani, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz 1 hal. 301-302.
  11. Hadits Sahih. Lihat Imam As Suyuthi, Al Jami’ush Shaghir, hal. 205
  12. Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Islam, hal. 40
  13. Ibid., hal. 41
  14. Ibid., hal. 42
  15. Ibid., hal. 42
  16. Ibid., hal. 43
  17. Ibid., hal. 44
  18. Ibid., hal. 44
  19. Taqiyyuddin An Nabhani, Ad Daulah Al Islamiyah, hal.131-132.
  20. Ibid., hal.133
  21. Ibid., hal.131

*Disampaikan dalam KAIFA (Kajian  Ideologi Faham dan Aliran), diselenggarakan oleh KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat Universitas Negeri Yogyakarta, di Masjid Mujahidin Lantai II, Mrican, Yogyakarta, Jum’at, 29 September 2000.

** Syabab Hizbut Tahrir

2 thoughts on “Penyelenggaraan Pemerintahan Daulah Islamiyah dalam tinjuan historis

  1. Memang solusi seluruh problem di dunia ini adalah tegaknya kembali Daulah Islamiyah di muka bumi, ibarat membangunkan raja hutan yang telah tertidur selama hampir satu abad dan agar dia dapat menata kembali belantara (dunia) yang porak poranda oleh kekufuran dan kemerosotan moral. ok… bangkitlah khilafah Islamiyah.

Comments are closed.