Thursday, 21 November 2024, 21:54

gaulislam edisi 723/tahun ke-14 (22 Muharram 1443 H/ 30 Agustus 2021)

Ya, bener banget. Kalo di awal namanya pendaftaran, eh, maksudnya kesadaran. Mestinya sih memang sebelum melakukan sesuatu kudu dipikirkan apa akibatnya jika bertindak begini dan begitu. Apa dampaknya jika tidak melakukan ini dan itu.

Kesadaran seperti ini rasanya sudah jarang dilakukan remaja. Jangankan remaja, orang yang udah bangkotan aja masih banyak kok yang gerasak gerusuk dalam melakukan sesuatu. Ketika perbuatannya berbuah kerugian, baru deh ngerasa kalo yang dilakukannya tanpa dipikir itu adalah salah. Masih mending sih menyadari kesalahan lalu menyesal. Gimana kalo nggak merasa salah dan nggak menyesal? Walau kondisi ini jarang, tetapi kalo emang ada yang model ini, namanya kebangetan. Parah abis, dah.

Sobat gaulislam, umumnya manusia itu pengen memuaskan apa yang disukai dan disenangi. Meskipun pada akhirnya berbuah kerugian. Ada yang nyesel, ada yang bablas terus dengan alasan “udah kepalang basah”. Kalo yang nyesel masih mendinglah. Berarti dia udah menyadari dan mengakui kesalahannya. Lha, kalo yang bablas terus dan nggak menyesal, itu musibah. Ngeri, Bro en Sis!

Sadar dan tahu diri

Oya, kesadaran akan muncul kalo kita tahu dan punya tujuan hidup. Tahu apa yang harus dilakukan dan konsekuensinya. Berarti udah bisa nyiapin tuh. Nggak asal jalan. Selain tahu dan punya tujuan hidup, juga punya target. Nah, ini juga penting. Sehingga tujuan yang akan ditempuh dan targetnya itu akan membuat seseorang fokus menjalani kehidupannya. Nggak tergoda hal-hal lain yang akan membuat tujuan dan targetnya ambyar.

Memiliki tujuan dan target akan membuat kita sadar dan tahu diri. Apa yang harus dilakukan, mana yang jangan dilakukan. Bahkan kita punya cara dalam menempuh tujuan dan target kita. Apa caranya?

Konsisten dan komitmen. Setidaknya dua hal ini bisa menunjang untuk meraih tujuan dan target. Konsisten alias tetap tidak berubah-ubah, selaras atau sesuai dengan apa yang akan menjadi tujuan dan target. Ini penting banget, Bro en Sis. Lalu, kita juga akan memiliki komitmen alias tanggung jawab atas apa yang udah ditentukan dalam tujuan dan target kita.

Itu sebabnya, seseorang yang sudah memiliki tujuan dan target akan sadar diri bahwa kedua hal itu tak akan terwujud kalo nggak memiliki konsistensi dan komitmen untuk memperjuangkannya. Betul, jangankan yang nggak punya tujuan dan target, bagi yang udah punya tujuan dan target saja akan ambyar tanpa dukungan konsistensi dan komitmen dalam mewujudkannya.

Selain itu, tentu saja sebenarnya di awal kita mesti udah meyakini bahwa tujuan dan target serta konsistensi dan komitmen untuk mewujudkannya nggak bakalan bisa berhasil tanpa pertolongan Allah Ta’ala. Bagi orang yang beriman, kita udah terbiasa dengan konsep tawakal dan ikhtiar. Nah, tawakalnya jelas hanya kepada Allah Ta’ala.

Tujuan dan taget juga disesuaikan dengan apa yang Allah Ta’ala ridhai dan dengan tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tahu dan sadar diri bahwa tujuan dan target harus didukung dengan konsistensi dan komitmen. Kalo udah begini insya Allah akan fokus. Nggak bakalan tergoda melakukan hal-hal yang nggak perlu atau malah menjauhkan dari tujuan dan target. Jangan ampe menyesal di kemudian hari. Jangan sampe keberadaan kita di dunia nggak jelas tujuannya.

Allah Ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS adz-Dzariyat [51]: 56)

Menukil laman muslim.or.id, dijelaskan bahwa Imam Ibnul Jauzi rahimahullah (wafat 597 H) menyebutkan empat penafsiran makna ayat ini:

Pertama, maknanya adalah, “Kecuali supaya Aku perintahkan mereka untuk beribadah kepada-Ku.” Ini adalah penafsiran ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu dan yang dipilih oleh az-Zajaj rahimahullah.

Kedua, maknanya adalah, “Kecuali supaya mereka mengakui ubudiyah/penghambaan kepada Allah dalam kondisi senang maupun tidak senang.” Ini adalah penafsiran Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma.

Ketiga, maknanya adalah, “Tidaklah Aku ciptakan hamba yang beribadah kepada-Ku kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Ini adalah penafsiran Sa’id bin al-Musayyab. Imam adh-Dhahhak, al-Farra’, dan Ibnu Qutaibah juga mengatakan bahwa ayat ini khusus berbicara tentang orang-orang yang taat kepada-Nya. Pendapat ini pula yang dipilih oleh al-Qadhi Abu Ya’la

Keempat, maknanya adalah, “Kecuali supaya mereka tunduk dan merendahkan diri kepada-Ku.” Karena ibadah secara bahasa berarti perendahan diri dan ketundukan. Semua makhluk tunduk kepada ketetapan Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang keluar dari ketetapan-Nya. Inilah makna yang dipilih sekelompok ulama tafsir (dalam Zaad al-Masir fi ‘Ilmi at-Tafsir, hlm. 1352)

Penjelasan ini semoga aja bikin kita jadi ngeh siapa kita, mau ngapain di dunia dan akan ke mana setelah hidup di dunia. Ini penting banget supaya kita punya harapan di akhirnya. Menyiapkan pula bagaimana cara agar tujuan dapat diraih, target bisa tercapai, seperti apa konsistensi dan komitmen untuk mewujudkannya.

Jangan nurutin hawa nafsu

Sobat gaulislam, adakalanya jalan yang ditempuh itu nggak selalu mulus dan lurus. Nggak jarang malah di bagian tertentu jalan terjal dan berliku. Kalo mulus dan lurus kayak umumnya di jalan tol, rasa-rasanya enak aja, ya. Perjalanan jadi cepet. Walau tentu saja tetap kudu waspada karena seringkali terlalu nyaman akhirnya menyepelekan keamanan.

Kalo ngomongin soal hawa nafsu, rasa-rasanya semua dari kita punya hawa nafsu. Hanya saja, hawa nafsu yang seperti apa dan bagaimana mengendalikannya, itu yang berbeda-beda pada tiap orang.

Hawa nafsu yang tak bisa dikendalikan atau mungkin juga akibat memanjakan hawa nafsu, maka akan mendorong seseorang untuk bermaksiat. Maksiat itu dosa, bikin susah, dan ujungnya adalah penyesalan.

Ya, semua maksiat timbul karena seseorang mendahulukan hawa nafsu daripada kecintaan pada Allah dan Rasul-Nya. Contoh yang disebutkan oleh Allah tentang orang musyrik, “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS al-Qashshash [28]: 50)

Misalnya aja nih, dalam pergaulan dengan teman-teman kamu. Nggak semua teman itu baik karakternya. Nggak semua teman itu rajin ibadahnya. Nggak semua teman itu mampu memberikan jalan keluar yang benar dan baik dari masalah yang kamu hadapi. Itu sebabnya, perlu waspada. Memang sih mencari teman baik itu sulit. Meski demikan tetap harus dicari kalo emang kamu mau mengamankan tujuan dan target dalam kehidupan kamu. Apalagi kamu modelnya nggak bisa jalan sendiri. Kudu ada model yang bisa ditiru atau minimal ada teman untuk bisa menjadi baik bareng-bareng.

So, kalo nggak bisa memilih dan memilah teman bergaul, bisa menyesal di kemudian hari. Misalnya aja, diajak merokok bareng, bolos bareng, nyoba-nyoba kegiatan yang jauh dari manfaat, atau malah dijerumuskan supaya bareng-bareng maksiat. Itu bahaya banget, Bro en Sis. Sadar sejak awal, agar tidak menyesal di akhir. Beneran.

Mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Kalo udah tahu ada penyakit yang bisa ditimbulkan akibat kita melakukan sesuatu, maka harusnya kita tanggap dan sadar, lalu berusaha menghindari penyebab penyakit itu. Sehingga nggak menyesal di kemudian hari gara-gara nggak tahu, atau lebih parah lagi gara-gara mengabaikan.

Kalo ada orang yang udah nasihatin sejak awal, jangan begitu dan jangan begini karena akibatnya bisa begini dan begitu, mestinya nurut aja, nggak usah ngeyel bin ndablek. Gimana pun juga, yang memberikan nasihat itu udah punya pengalaman dan lebih tahu dari kita. Ikuti aja apa susahnya, sih. Tinggal ngikut sarannya. Jika kamu mengabaikan karena lebih menuruti hawa nafsumu, lalu di kemudian hari ternyata nasihat itu benar, maka kamu sendiri yang rugi. Rugi bener, dah. Nyesel itu ya memang di akhir.

Menyesal dan jangan diulang

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, penyesalan aja nggak cukup kalo cuma disebut doang. Kudu ada aksinya. Bahwa pada akhirnya kamu sadar setelah salah jalan dan menyesal, mestinya punya niat untuk memperbaiki. Berusaha juga untuk ninggalin perbuatan yang membuatmu salah jalan dan menyesal tersebut. Taubat lebih tepat. Artinya menyesal, kapok, dan nggak mau ngulangin lagi.

Namun, kalo cuma di bibir saja bilang nyesel, tetapi prakteknya kamu justru tetap melakukan perbuatan salah tersebut, itu mah nyesel tapi bo’ong. Apalagi kemudian berprinsip “terlanjur basah, ya udah nyebur aja sekalian”.

Bro en Sis, Islam punya solusi atas kelalaian yang kita buat. Taubat solusinya. Allah Maha Pengampun kepada hamba-Nya. Bagi hamba yang bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya alias taubatan nasuha, maka akan ada ampunan dan jalan terbaik. Percayalah!

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kamu kepada Allah dengan sungguh-sungguh.” (QS at-Tahriim [66]: 8)

  So, yang terpenting adalah menyadari kesalahan tersebut dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi sambil mohon ampunan kepada Allah Ta’ala.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan bahwa muttaqin adalah orang-orang yang berhati-hati dan menjauhi syirik serta taat kepada Allah. Sedangkan Imam Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan bahwa bertakwa berarti takut dan menghindari apa yang diharamkan Allah dan menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah. Menjaga benar-benar perintah dan menjauhi larangan.

Sedangkan Ibnu Mu’tazz melukiskan sikap yang mesti ditempuh seorang muslim agar mencapai derajat muttaqin dengan kata-kata sebagai berikut: “Tinggalkan semua dosa kecil maupun besar. Itulah takwa. Dan berbuatlah seperti orang yang berjalan di tanah yang penuh duri, selalu waspada. Jangan meremehkan dosa kecil. Ingatlah, gunung yang besar pun tersusun dari batu-batu kecil”.

Yuk, sadar diri. Supaya kita bisa berpikir lebih cermat sebelum melakukan sesuatu. Dipikirkan dampaknya. Sehingga tidak menyesal di kemudian hari.

Lalu bagaimana bagi yang udah terlanjur salah jalan dan menyesal? Itu bagus, begini urutannya supaya mantep, ya.

Pertama, menyesal. Tanpa penyesalan, rasanya sulit untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat. Penyelasan ini kudu benar-benar tumbuh dalam diri kamu. Minta maaf pula kepada orang yang kamu “kerjain” (jika ada). Janji nggak bakal ngulangi lagi.

Kedua, niat sungguh-sungguh. Kuatkan tekad kita untuk menghentikan kebiasaan maksiat. Ada pahala pula di balik niat yang sungguh-sungguh itu.

Ketiga, cari lingkungan yang mendukung. Ini penting banget Bro en Sis. Sebab, kalo kamu belum bisa mengubah lingkungan, jangan-jangan kamu yang terwarnai. Kalo lingkungannya baik sih oke aja. Tapi kalo rusak? Bisa gaswat kan? Jadi, gaul deh ama teman-teman yang udah baik-baik untuk membiasakan kehidupan kamu yang baru.

Keempat, tumbuhkan semangat untuk mengkaji Islam. Sebab, dengan mengkaji Islam, selain menambah wawasan, juga akan membuat kita tetap stabil dengan “kehidupan baru” kita. Maksiat? Sudah lupa tuh!

Kelima, senantiasa berdoa. Jangan lupa berdoa kepada Allah Ta’ala, mohon dibimbing dan diarahkan, serta dikuatkan tekad kita untuk meninggalkan maksiat. “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan permohonanmu itu.” (QS al-Mukmin [40]: 60)

Semoga kita menjadi orang yang senantiasa sadar diri. Sebab dengan begitu, kita jadi berpikir sebelum bertindak lalu berhati-hati. Tentu, agar tak menyesal di kemudian hari.

Jika pun pada akhirnya sadar atas kesalahan yang diperbuat, nggak usah pesimis. Ayo bertaubat. Nggak sekadar menyesal, tetapi juga jangan mengulanginya lagi. Bismillah, hijrah! [O. Solihin | IG @osolihin]