Apa yang diinginkan kebanyakan anak perempuan sejagat? Salah satunya jadi Ratu Kecantikan Sejagat. Miss Universe. Sudahlah cantik, sejagat lagi. Tapi benerkah nggak harus pintar?
“Mirror, mirror on the wall …� begitulah kira-kira mantra-mantra ibu tiri Snow White dalam dongeng klasik Walt Disney. Sang ibu tiri yang sudah tua ini selalu tidak pede dan tetap ingin menjadi perempuan tercantik di seantero kerajaan. Salah satu kerjaannya adalah bertanya pada cermin ajaib miliknya yang bisa mensurvei perempuan cantik di seantero kerajaan. Makanya ketika anak tirinya, si Putih Salju beranjak dewasa, dan ternyata lebih cantik darinya, sang ratu merasa �panas’. Ia pun berencana menghabisi Snow White.
Buat kebanyakan perempuan menjadi cantik saja tidak cukup, tapi harus menjadi yang tercantik. Dan bagi kebanyakan laki-laki, adalah menyenangkan melihat perempuan cantik. Itulah sebabnya tidak sedikit kaum wanita yang berlomba-lomba ingin menjadi manusia tercantik. Apalagi di zaman sekarang menjadi cantik bukan sekedar kebanggaan, tapi juga peluang untuk menjadi beken bin tajir. Dapat dipastikan setelah menjadi manusia cantik aneka peluang iklan dan kegiatan-kegiatan komersil menanti.
Untuk tujuan �mulia’ itulah nampaknya berbagai macam even-even kontes kecantikan digelar. Mulai tingkat lokal sampai internasional. Di tanah air, kita pastinya apal dengan Putri Kecantikan Indonesia, Abang & None Jakarta, Mojang & Jajaka, Gadis Sampul, Model Kawanku, sampai The Most Wanted Girls yang baru aja digelar majalah remaja-pria Hai. Peserta kontes-kontes kecantikan seperti ini selalu membludak. Ribuan remaja putri ngantre dan siap bersaing untuk menjadi perempuan tercantik.
Di tingkat internasional, kita sudah akrab dengan kontes Miss Universe. Sesuai namanya, Nona Sejagat, kontes ini terbuka untuk seluruh wanita yang ada di penjuru dunia. Siapapun yang cukup pede sebagai perempuan cantik bisa maju ke kontes ini. Biasanya para peserta adalah mereka yang telah memenangkan kontes kecantikan di negaranya masing-masing.
Anti Intelektual
Walaupun kontes seperti ini telah berjalan puluhan tahun, seperti kontes Miss Universe yang telah berjalan sejak tahun 1952 dengan Armi Kuusela dari Finlandia sebagai Ratu Kecantikan Pertama Sejagat, bukan berarti tanpa kritik dan tentangan. Hanya saja suara-suara yang menyatakan ketidaksukaan dan ketidaksetujuan itu kalah nyaring. Sebabnya, media massa lebih jor-joran memberitakan kontes ratu-ratuan ini. Baik untuk tingkat lokal atau internasional, sama saja.
Alasan utama orang memprotesnya adalah karena aktivitas ini hanya menilai standar fisik dan sensualitas. Jelas ini terang-terangan mengarah pada fetisme, pemberhalaan penampilan. Ada sindiran sinis kalau kegiatan kontes kecantikan itu hanya diikuti oleh mereka yang kurang intelek. Belum lagi tudingan kalau kontes kecantikan itu juga melibatkan �ukuran-ukuran’ fisik lain yang terbilang nggak pantes dikonteskan. Apalagi pada sesi-sesi tertentu para peserta itu juga harus mengenakan busana minim, seperti pakaian renang. Meski ini sempat dibantah Alya Rohali, pemenang Putri Indonesia tahun 1996 yang sempat ikut kontes Miss Universe di California, USA, pada tahun yang sama. Namun pemerintah Indonesia tak bergeming, tetap melarang wanita Indonesia ikut dalam kontes kecantikan internasional. Belakangan kebijakan ini berubah. Kepada Ketua Panitia Pemilihan Putri Indonesia, Mooryati Soedibyo, Presiden Megawati membolehkan perempuan Indonesia ikut dalam kontes Miss Universe.
Untuk menangkis tudingan â€?nggak intelek’, panitia penyelenggara merasa perlu mengubah imej. Dari sekedar beauty, ditambah brain and behaviour. Lengkapnya B-3, Beauty, Brain & Behaviour. Maka sesi yang menguji kecerdasan para perempuan cantik itupun ditambahkan. Harapannya, akan didapatkan wanita-wanita yang intelek, bukan sekedar modis alias modal display. “Bahwa pemilihan ini adalah kompetisi prestasi, bukan sekadar pameran senyum, kerlingan mata, dan pameran tubuh belaka,” sambutan Wakil Ketua Umum Yayasan Puteri Indonesia Puti Kuswisnuwardhani pada acara Pemilihan Putri Indonesia Ke-7 lalu, di TMII.
Berhasilkah? Nggak juga. Tetap aja para kontes ini jadi bulan-bulanan. Seperti yang terjadi pada Pemilihan Putri Indonesia ke-7 yang digelar pada tanggal 12 Juli. Gara-garanya Jean Louis Ripoche, Manajer Hotel Le Meridien, Jakarta, yang juga menjadi juri bertanya soal “pengetahuan politikâ€? pada seorang peserta. Ia bertanya apakah peserta setuju pada chauvinisme. Sebagaimana bisa disaksikan di layar televisi oleh jutaan pemirsa, si peserta spontan bertanya balik kepada pembawa acara Tantowi Yahya: apa itu chauvinisme. Ketika Tantowi menjawab balik sekenanya bahwa itu artinya nasionalisme, peserta sambil memasang senyum dengan antusias mendekatkan mikrofon ke mulutnya, lalu menjawab, “Ya, saya setuju sekali dengan chauvinisme.” Jelas aja jawaban yang â€?asbak’ – asal ketebak – itu jadi gunjingan banyak orang dan media massa. Abis salah sih (Kompas, 14/07). Ade Armando, menulis kalau â€?kecelakaan’ itu bukan kesalahan peserta, tapi kesalahan juri. Udah tahu acaranya kontes kecantikan kok pake ujian pengetahuan politik segala. Siapapun tahu kontes kecantikan itu bukan untuk memilih yang pintar, tapi yang cantik dan seksi, tulisnya di harian Republika (27/07).
Tapi itu bukan cuma monopoli ratu kecantikan dalam negeri. Miss Universe saja masih dipertanyakan intelektualitasnya. Buktinya Oxana Fedorova, si Ratu Kecantikan Sejagat ini nggak bisa faseh berbahasa Inggris. Kemana-mana ia harus bawa penerjemah. Wah, wah, katanya intelek kok berbahasa internasional aza belepotan.
Di luar negeri kontes Miss Universe juga mendapat tentangan yang keras, seperti dari kalangan gereja. Pada kontes Miss Universe tahun 2000 yang diselenggarakan di Cyprus, kalangan gereja dan aliran kiri menentang keras kontes ini. “Memalukan, kontes hanya menjerumuskan para wanita ke jurang neraka yang tak berdasar.� Bunyi selebaran yang diedarkan di sana. But, the show must go on.
Yang ajaib kritik juga datang dari â€?orang dalam’. Adalah Angelina Patricia Pingkan Sondakh, Putri Indonesia 2001, mengeluarkan unek-uneknya melalui buku yang ia tulis sendiri Kecantikan Bukan Modal Utama Saya. Dalam buku yang berupa diary itu dengan polos ia menulis sejumlah evaluasi umum atas kinerjanya selama setahun menjalani peran Putri Indonesia. Ia juga menulis di awal bukunya dengan sikap kritis: Saya sangat bersyukur pernah menyandang gelar Puteri Indonesia dan saya menjalankan semua tugas saya selama ini dengan senang hati. Meskipun ada yang “disayangkan”, saya lebih banyak tampil untuk demo kecantikan dan berbicara tak jauh dari topik kecantikan. Saya sama sekali tidak keberatan, asalkan diimbangi dengan kegiatan yang menonjolkan kriteria yang lain, yaitu kecerdasan intelektual.
Pada kesempatan lain ia mengeluh (catatan 13 Desember 2001): Dan memang tidak bisa dipungkiri selama masih di dunia entertainment, phisical appearance will be top of the list. Kadang hal itu memberatkan. Harus memikirkan masalah berat badan, jerawat, kehalusan kulit dan semua yang berhubungan dengan penampilan. Oh….
“Lewat tulisan itu, saya ingin mendidik calon peserta Puteri Indonesia dan kebanyakan remaja putri, bagaimana memahami makna kecantikan. Dan, bagaimana nilai diri tidak semata ditentukan oleh kecantikan, tidak jadi hamba terhadap usaha menjadi cantik,� tutur Angie yang mengaku baru saja mendapat permintaan terjemahan bukunya ke bahasa Inggris oleh dua lembaga di AS dan Australia.
Antisosial
Untuk menarik perhatian dan simpati masyarakat biasanya para pemenang kontes kecantikan selalu melemparkan slogan perdamaian, cinta kasih dan kemanusiaan. Contohnya yang dilontarkan Ratu kecantikan India, Lara Dutta yang menjadi Miss Universe tahun 2000 di Cyprus. Dirinya mengaku akan bekerja bagi gerakan amal kesehatan, terutama yang ditekankan pada pendidikan AIDS bagi para wanita. “Mayoritas wanita di India buta huruf dan tidak berpendidikan, jadi kami harus mulai di sini untuk memberikan pendidikan bagi mereka. Itulah yang akan saya lakukan untuk India dan meneruskannya ke belahan dunia lain,� katanya pada acara yang digelar di lapangan basket yang telah didekor meniru sebuah amphiteater Yunani kuno.
Padahal, di luar gedung kerumunan massa dari kalangan gereja dan kelompok kiri mendemo acara tersebut. Acara itu mereka anggap tindakan antisosial terhadap kondisi Cyprus yang notabene adalah negara miskin. “Kami inginkan sekolah dan rumah sakit,� bunyi sebuah spanduk. “Saya adalah seorang guru dan kami mengemis-ngemis buku pelajaran. Dan di sini kenapa kita habiskan uang untuk acara yang gemerlapan ini. Mengapa?� kata seorang wanita yang berpakaian compang-camping dan membawa tas besar berwarna hitam. “Karena, saya wanita cantik sedunia,� kelakarnya.
Film pemenang Oscar berjudul Erin Brockovich (kisah nyata tentang Erin Brockovich, pejuang lingkungan AS yang eks Miss Wichita) yang diperani Julia Roberts menyindir komentar-komentar semacam itu. “Aku akan mengabdikan diriku sebagai Miss Wichita, mengenyahkan kelaparan dan menciptakan perdamaian di muka Bumi. Saya hanya punya waktu dua minggu untuk mengenyahkan kelaparan di muka Bumi.� Ini jelas sindiran. Mana cukup waktu dua minggu untuk menghapuskan kelaparan.
Uniknya sejumlah Miss Universe juga berasal dari negeri-negeri yang terbilang miskin dan terbelakang. Sushmita Sen pemenang tahun 1994 berasal dari India, Alicia Machado pemenang 1996 berasal Venezuela,? Wendy Fitzwilliam berasal dari Trinidad Tobago memenangkan Miss Universe tahun 1998, Lara Dutta dari India jadi Miss Universe 2000. Jangan lupa, Rusia negeri asal Miss Universe tahun 2002, Oxana Fedorova juga negara miskin. Venezuela adalah negara yang paling sering memenangkan pagelaran Miss Universe, total sebanyak 4 kali. Selain itu tempat penyelenggaraan kontes Miss Universe juga terbilang �asal pilih’. Beberapa kali dilakukan di negara-negara miskin seperti Afrika Selatan dan Cyprus. Kayaknya mereka punya prinsip, biar tekor asal sohor.
Soal kegiatan kontes kecantikan yang bersifat antisosial juga terjadi di dalam negeri. Seperti menutup mata dari kondisi sosial masyarakat acara PPI itu berlangsung dengan mewah di tengah kondisi sosial-ekonomi yang masih morat-marit. Bagi pemenang tahun 2001 panitia juga telah menyediakan apartemen, gaji bulanan, deposito dan mobil dinas, plus ketenaran. Weleh-weleh.
Yah, itulah ciri khas kapitalisme. Ideologi yang memang bertabiat memberhalakan materi dan kenikmatan jasadiyah. Tidak aneh kalau para pengusung ideologi ini nyandu dengan kegiatan extravaganza dan menutup mata dari borok-borok sosial. Wanita pun dalam kacamata penganut ideologi ini hanya dipandang sebagai komoditi kesenangan, bukan manusia yang harus dijaga dan dihormati. Celakanya tidak sedikit pula wanita yang suka dengan cara pandang seperti itu. Maka tidak aneh kalau akan makin sering kita temui wanita yang gemar bersolek, cantik dan seksi tapi berotak kosong dan kering imannya.[Iwan Januar]
benar,bukan cuma cantik tapi harus pintar
ngaco, Cyprus, Venezuela,dan Afrika Selatan walaupun gak sekaya USA, Europe, tapi masih jauuuuuuuuh di atas INDON
walah data darimana tuh? jelas masih mendingan kita Indonesia, Venezuela dan Afrika Selatan banyak dikuasai kontrak karya asing sumber daya alamnya (mirip Indonesia tapi lebih parah karena orang kulit putih merajalela disana), untuk Cyprus mungkin masih lumayan dibanding Indonesia.