Thursday, 21 November 2024, 22:39

Tak beralasan prasangka terus dilakukan terhadap ummat Islam hanya karena Piagam Jakarta.Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-265

Oleh: Dr. Adian Husaini*

hidayatullah.com–Pada tanggal 9 Maret 1981, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah memegang posisi sebagai Menteri Agama RI, menulis sebuah makalah berjudul “Menghilangkan Prasangka terhadap Piagam Jakarta”. Di tengah situasi politik yang tidak begitu kondusif bagi aspirasi Islam ketika itu, Kyai Saifuddin menyampaikan tujuan penulisan makalahnya:

“Tujuan penulisan makalah ini hendak menghilangkan prasangka. Mungkin akan berhasil, tetapi juga mungkin tidak berhasil. Tetapi saya telah berusaha, telah berikhitiar. Jika tokh saya tidak menulisnya, prasangka akan tetap ada dan tidak digarap hilangnya. Membiarkan prasangka sama dengan menyetujui prasangka. Dan ini suatu sikap mental yang tidak baik bahkan berbahaya.”

Pernyataan Kyai Saifuddin Zuhri itu masih relevan untuk direnungkan. Prasangka terhadap Piagam Jakarta masih dipelihara pada berbagai kalangan. Bukan hanya di kalangan non-Muslim, bahkan juga di sebagian kalangan Muslim sendiri. Bukan hanya salah paham, tetapi sengaja menyalahpahami dan mungkin juga menyalahpahamkan. Dalam makalahnya, Kyai Saifuddin Zuhri juga mengingatkan, bahwa dari prasangka kemudian muncul sikap curiga, dan seterusnya, yang kemudian berkembang menjadi tindakan memata-matai. “Jika memata-matai telah membudaya, di sekeliling kita akan bertebaran tukang-tukang cari kesalahan orang lain, kalau tidak diketemukan lalu dicari-cari dengan membuat skenario palsu. Ini akan melahirkan “dorna” dan “sengkuni” bergentayangan mencari mangsa. Maka, fitnah bakal merajalela,” tulis Kyai Saifuddin Zuhri.

Tampaknya, makalah Kyai Saifuddin ditulis menyusul banyaknya sikap curiga dan tuduhan terhadap umat Islam yang hendak memperjuangkan aspirasi politik Islam di masa Orde Baru, saat itu. Ditegaskan oleh Kyai Saifuddin,  bahwa cita-cita dalam berpolitik bagi umat Islam merupakan kebudayaan mereka. Lalu, Kyai Saifuddin menegaskan: “Apirasi Islam itu senantiasa tumbuh melandasi aspirasi nasional kita yang berkembang menjadi budaya nasional yang bercorak Islam dan berjiwa patriotik. Hanya saja, tiap-tiap dihadang oleh kekuatan yang hendak menghambat Islam, maka orang-orang Islam menjadi bangkit semangatnya untuk mempertahankan keyakinan mereka. Hal demikian itu adalah konsekuensi logis dan bukan radikalisme apalagi ekstrim.”

Tentang Piagam Jakarta dan Pancasila, Kyai kelahiran Banyumas 1 Oktober 1919 ini mengingatkan: “Tidak sedikit orang yang melupakan bahwa justru Piagam Jakartalah yang dengan tegas-tegas menyebut kelima sila dalam Pancasila mendahului pengesahan UUD 1945 itu sendiri.”  Piagam Jakarta 22 Juni 1945 hanya memiliki perbedaan tujuh kata dengan Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945. Tujuh kata itu ialah: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”  Sebenarnya, menurut Kyai yang juga penulis produktif ini, nilai tujuh  kata-kata itu bersifat konstitusional dan tidak seolah-olah menganakemaskan umat Islam. Umat Islam adalah golongan mayoritas. Mereka telah dijamin hak-haknya dalam melaksanakan tujuh  kata-kata tersebut oleh pasal 29 UUD 1945 ayat 1 dan 2. Lagi pula, Piagam Jakarta, setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah barang yang sah di Indonesia. Kyai Saifuddin mengutip pidato Presiden

Soekarno saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965:  “Perhatikan, di antaranya penandatangan daripada Jakarta Charter ini, ada satu yang beragama Kristen saudara-saudara, yaitu Mr. A.A. Maramis.  Itu menunjukkan bahwa sebagai tadi dikatakan Pak Roeslan Abdulgani, Jakarta Charter itu adalah untuk mempersatukan Rakyat Indonesia yang terutama sekali dari Sabang sampai Merauke, ya yang beragama Islam, yang beragama Kristen, yang beragama Budha, pendek kata seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipersatukan!”

Jadi, tegas Kyai Saifuddin Zuhri, Piagam Jakarta tidak mengandung unsur prasangka untuk dicurigai. Tujuh kata-kata dalam hubungannya dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya tidak menjadi hilang meskipun Piagam Jakarta tidak dimasukkan ke dalam UUD 1945. Melaksanakan syariat Islam bagi umat Muslimin dan muslimat tetap dijamin oleh pasal 29 UUD 1945. Bangsa Indonesia yang beragama Islam dapat melaksanakan Pancasila tanpa melepaskan syariat Islam. “Sebab itu,” tegasnya, “tidaklah beralasan prasangka terhadap ummat Islam dikarenakan oleh Piagam Jakarta, justru sejarah telah membuktikan betapa besar toleransi ummat Islam terhadap Negara dan Bangsa. Ummat Islam hanya mengharapkan semoga memperoleh respons toleransi dari pihak lain jikalau ummat Islam menggunakan hak-hak mereka melalui pasal 29 UUD (1945) di dalam melaksanakan syariat Islam secara komplit dan legal.”

Itulah harapan KH Saifuddin Zuhri, seperti ia tuangkan dalam salah satu makalahnya. Ia menegaskan, bahwa “Piagam Jakarta tidak mengandung unsur prasangka untuk dicurigai.”  Sebagai orang yang bergelut dalam perjuangan Islam di Indonesia, Kyai Saifuddin tampaknya merasakan betapa tidak mudahnya umat Islam meminta pengertian itu; meminta toleransi untuk melaksakan kewajiban sebagai Muslim di Indonesia. Berbagai tudingan dan kecurigaan bagai tiada berhenti, dan lagi-lagi, biasanya aspirasi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, dihadang dengan tudingan “ekstrim:, “radikal”, dan sebagainya, serta hendak  mengembalikan Piagam Jakarta. (Makalah KH Saifuddin Zuhri tentang Piagam Jakarta ini dimuat dalam bukunya, Kaleidoskop Politik di Indonesia Jilid 3, (Jakarta: Gunung Agung, 1982).

Tahun 1981, saat KH Saifuddin Zuhri menulis makalahnya, adalah situasi dimana hubungan antara Islam dan pemerintah masih bersifat sangat antagonistik. Umat Islam ketika itu dihadapkan pada tekanan-tekanan untuk mensekulerkan agamanya. Salah satu yang sangat menjengkelkan umat Islam ketika itu adalah berbagai kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Dr. Daoed Joesoef (1978-1983), yang dinilai merugikan umat Islam.

Di Majalah Panji Masyarakat, edisi 315/1981, Hamka menulis kolom Dari Hati ke Hati dengan judul Pedoman Perpustakaan SLTA. Hamka mengkritik keras kebijakan Menteri P&K Daoed Yusuf yang mencabut liburan puasa, sampai-sampai mencabut subsidi pemerintah kepada sekolah Muhammadiyah kalau masih meliburkan muridnya pada bulan puasa. Hamka juga mengkritik keras gagasan pengajaran ”Panca Agama” di sekolah-sekolah.   Hamka menengarai adanya usaha-usaha yang halus untuk memperkecil jumlah kaum Muslimin. Ia menyebutkan adanya larangan dari Ka-Kanwil P&K Jawa Timur untuk menyebarkan buku yang memuat ayat Lam yalid wa lam yuulad, wa lam yakun lahuu kufuwan ahad.  (Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada yang serupa dengan Dia).

HAMKA menulis kritik yang sangat keras dalam kolomnya tersebut:

”Hal ini telah kita sanggah dan sanggahan pun telah kita sampaikan kepada Menteri P&K. Namun sampai sekarang larangan peredaran buku itu masih berlaku. Alasannya ialah karena hal itu melanggar kerukunan hidup beragama! Tegasnya ialah ”demi kerukunan hidup beragama”, orang Islam mulai sekarang mulai dilarang menyatakan pokok keyakinan agamanya! Dan mulai sekarang – demi apalagi – hendaklah membaca buku Keristen banyak-banyak, mulai membuka tanahnya untuk mendirikan gereja! Sehingga dalam 25 tahun saja, di tanah Jawa orang Islam jadi minoritas, dan di Indonesia 50 tahun! Semua keadaan ini bukankah membuat panas hati kita, melainkan buat membikin kita lebih waspada dan bekerja dengan kepala dingin.”

Memang, dalam otobiografinya, Dia dan Aku (Jakarta: Kompas, 2006), Daoed Joesoef mengungkapkan kejengkelannya terhadap tokoh-tokoh Islam yang menentang masuknya Aliran Kepercayaan dalam GBHN. Ia juga menuduh sejumlah tokoh Islam ingin menjadikan negara Indonesia menjadi negara Islam, menggantikan negara Pancasila. Daoed memberikan komentar tentang sejumlah orang bersurban yang mendatanginya: ”Ketebalan surban itu kuanggap tidak lebih lebih dari upaya menutup-nutupi kepicikan pandangannya, menyembunyikan hasrat mereka menjadikan negara Indonesia sebuah Negara Agama, Negara Islam, bukan lagi Negara Kebangsaan, Negara Pancasila. Padahal, konsep Negara Islam tidak ada, baik di dalam Al Quran maupun dalam As Sunnah.”

Daoed Joesoef yang merupakan salah satu tokoh penting di CSIS (Center for Strategic and International Studies) juga memiliki pandangan agar Pendidikan Agama tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah. Namun, gagasan itu tidak dapat diterapkannya semasa menjabat Menteri P&K. Ketika terjadi perdebatan dengan seorang anggota DPR tentang Aliran Kepercayaan dan pelajaran agama di sekolah, Daoed menyatakan:

”Kalau hal ini diserahkan kepada Menteri, jawabku, jelas dan pasti, yaitu yang harus dihapus itu justru pelajaran agama dari kurikulum dan sistem pembelajaran di semua sekolah negeri, lalu diganti dengan mata pelajaran matematika atau ilmu-ilmu kealaman. Kedua mata pelajaran tersebut memang perlu diperbanyak guna memenuhi tuntutan hidup di abad XXI mendatang. Adapun pengajaran agama seharusnya tidak dijadikan urusan pemerintah karena ia adalah urusan privat, hak prerogatif keluarga yang harus dihormati dan tugas-kewajiban komunitas agama yang bersangkutan itu sendiri. Negara sebaiknya tidak mencampuri soal-soal keyakinan religius.”

Konsep Negara Pancasila yang dipahami oleh Daoed Joesoef dan kawan-kawan memang sebuah konsep negara sekular. Ketika menjabat sebagai menteri P&K, Daoed bahkan tidak mau mengucapkan salam secara Islam. Ketika dikritik, dia memberikan bantahannya: ”Aku katakan, bahwa aku berpidato sebagai Menteri dari Negara Republik Indonesia yang adalah Negara Kebangsaan yang serba majemuk, multikultural, multiagama dan kepercayaan, multi suku dan asal-usul, dan lain-lain, bukan Negara Agama dan pasti bukan Negara Islam.”

Lebih jauh, Daoed Joesoef mengungkapkan bahwa ia menganut konsep laisitas (laicité), yaitu sikap tidak akan memakai agama untuk mendesakkan apalagi memaksakan, hukum dan/atau peraturan perundangan mengenai kehidupan manusia. Artinya, di Negara Republik Indonesia, boleh ada masjid, gereja, kuil, atau rumah/tempat ibadah apa pun sebutannya. Selanjutnya Daoed Joesoef menjelaskan konsepnya tentang negara laiq – yang sebenarnya identik dengan konsep negara sekular. Ia katakan: ” Sebab selama kita tidak bersedia menegakkan suatu garis pemisah antara politik dan agama, selama itu pula akan ada masalah dan pasti Pancasila akan dipersoalkan, dirongrong terus-menerus dengan alasan-alasan yang tidak nalariah, bernuansa emosional fanatik. Setahuku Republik Turki adalah negeri muslim pertama yang menjadi negara laiq, mengubah kerajaan Islam ortodoks menjadi negara nasional modern, yang memisahkan agama dari politik.”

Tentu saja, ide Daoed Joesoef  tentang negara Pancasila yang ideal seperti negara Turki modern di bawah Mustafa Kemal Ataturk adalah hal yang aneh. Ia bahkan menyesalkan, Presiden Soeharto tidak mengikuti jejak Kemal Attaturk. “Presiden Soeharto ternyata bukan reformis di bidang kehidupan beragama seperti Presiden Mustafa Kemal,” tulis Daoed Joesoef.  Jadi, idola Daoed Joesoef adalah Mustafa Kemal Ataturk. Ia kecewa karena Soeharto tidak bersedia mengikuti jejak Mustafa Kemal Ataturk.

Sebelum era Daoed Joesoef itu, umat Islam juga masih ingat, bagaimana kerasnya kaum Kristen di Indonesia ketika menolak RUU Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dan RUU tentang Peraturan Pernikahan Umat Islam, tahun 1969. Pada tanggal 1 Februari 1969, Fraksi Katolik di DPR  mengeluarkan pernyataan sikap bertajuk: “Undang-Undang Perkawinan Harus Tidak Bermotifkan Alasan-alasan Agama.”  Dalam pernyataan yang ditandatangani oleh Harry Tjan Silalahi (ketua) dan F.X. Sudiyono (sekretaris), ditegaskan: “Dengan masuknya RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan yang antara lain menentukan, bahwa Hukum Nasional Tunduk pada Hukum Agama, seperti tersebut dalam pasal 37 RUU tersebut, maka Fraksi Katolik berpendapat, bahwa RUU itu akan meninggalkan Kaidah pokok (grundnorm) tertib hukum kita, ialah Pancasila. Pun dengan maksudnya RUU tentang peraturan Pernikahan Umat Islam di DPRGR memungkinkan adanya dua sumber tertinggi bagi tertib hukum kita, yaitu Pembukaan UUD 1945 dan Wahyu Tuhan.”

Fraksi Katolik juga menyatakan, RUU tentang Perkawinan tersebut memang tidak sesuai dengan hakekat negara Pancasila. “Hal yang demikian berarti bahwa ada perubahan dasar negara. Negara tidak lagi berdasarkan Pancasila, tetapi berdasarkan Agama, hal mana cocok dengan prinsip yang terkandung dalam Piagam Jakarta.”

Jadi, begitulah sikap kaum Kristen di Indonesia tentang Piagam Jakarta. Entah mengapa, begitu kerasnya penolakan mereka terhadap hukum yang hanya mengatur umat Islam saja. Padahal, setelah UU Perkawinan No 1/1974 disahkan, yang menetapkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan berdasarkan agama, ternyata, Negara Kesatuan Republik Indonesia juga baik-baik saja. [Depok, 3 Juli 2009/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan
www.hidayatullah.com

1 thought on “Piagam Jakarta dan Sikap Kristen (2)

  1. Masuknya agama Nasrani itu lewat para penjajah.
    Para penjajahnya sendiri ingin merampas makanan dan lauk-pauknya bangsa Indonesia.

    Kok tidak malu-malunya hidup di negara ini?
    Penjajah mintanya macam-macam.

    Sekarang Amerika mau ikut-ikutan Belanda dan Portugis, mau menjajah Indonesia.

Comments are closed.