gaulislam edisi 803/tahun ke-16 (21 Sya’ban 1444 H/ 13 Maret 2023)
Masih inget dengan Pak Tarno? Nggak tahu deh kalo kamu masih ingat atau nggak, atau pertanyaannya diganti, kenal Pak Tarno atau nggak? Ehm… tambah susah jawabnya (bagi yang nggak tahu). Jadi, Pak Tarno itu dulu banget sering tampil di tivi, profesinya pesulap. Kata-kata fenomenalnya, “prok… prok… prok.. jadi apa?”
Oke, itu sekilas aja ya, soalnya judulnya minjem kata-kata Pak Tarno. Lalu apa pembahasan buletin edisi kali ini dengan judul kayak gini? Nah, penasaran? Bisa jadi kamu penasaran. Nyambungnya gimana antara judul dan isinya?
Ada kok. Tenang aja. Kamu pernah nonton film dokumenter The Social Dilemma besutan Jeff Orlowski yang dirilis tahun 2020? Kalo udah, mestinya tahu, ya. Baik, bagi yang belum pernah nonton saya jelaskan secara sekilas bahwa film ini menggambarkan dampak negatif yang timbul dari penggunaan media sosial dan teknologi digital pada citra diri dan hubungan sosial manusia. Film ini menunjukkan bagaimana platform media sosial seperti Facebook dan Twitter menciptakan realitas sosial yang berbeda dan memengaruhi citra diri serta perilaku individu, serta bagaimana mereka memanipulasi perilaku pengguna untuk mencapai tujuan tertentu. Konsep citra diri dan dramaturgi dapat dilihat dalam film ini, dimana individu terus mencoba untuk menciptakan dan mempertahankan citra diri mereka dalam lingkungan yang semakin dipengaruhi oleh media sosial dan teknologi digital.
Eh, itu kok ada istilah “citra diri” dan “dramaturgi”, kamu pernah dengar istilah itu atau malah udah tahu? Oke, sekadar ngingetin aja atau menjelaskan sedikit bagi yang belum ngeh. Jadi, teori citra diri adalah teori psikologi yang berfokus pada konsep individu tentang diri mereka sendiri, termasuk bagaimana mereka membentuk, memelihara, dan mengubah citra diri mereka. Teori citra diri mengasumsikan bahwa citra diri seseorang terdiri dari pandangan mereka tentang karakteristik fisik, sosial, dan psikologis yang membedakan diri mereka dari orang lain, serta evaluasi mereka terhadap karakteristik tersebut.
Teori citra diri menekankan bahwa citra diri seseorang dapat memengaruhi perilaku dan pengalaman emosional mereka, dan bahwa individu akan berusaha untuk mempertahankan citra diri yang positif dan konsisten dengan nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku dalam lingkungan mereka.
Gampangnya gini deh, kalo kamu ingin mencitrakan bahwa dirimu adalah remaja baik-baik, maka kamu akan berusaha untuk menunjukkan kalo kamu tuh baik, misalnya nggak nge-bully teman, suka menolong, rajin belajar, menghormati guru, berbakti kepada ortu dan semua hal kebaikan yang juga dipandang baik oleh lingkungan sekitarmu. Paham, ya?
Lalu apa istilah dramaturgi? Teori dramaturgi adalah pendekatan sosiologi yang menggambarkan kehidupan sosial sebagai sebuah drama atau pertunjukan teater, dengan individu-individu yang berperan sebagai aktor-aktor yang memainkan peran tertentu. Kalo ngomongin teori dramaturgi, mesti nyangkutnya sama Erving Goffman, deh. Iya, ini mengingatkan waktu dulu saya kuliah ilmu komunikasi. Ada kajian sosiologinya juga.
Sobat gaulislam, sekilas saya terangkan, ya. Erving Goffman adalah seorang sosiolog dan penulis yang lahir pada tahun 1922 di Kanada. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh terkemuka dalam studi mengenai interaksi sosial. Teori dramaturgi merupakan salah satu kontribusinya dalam bidang sosiologi.
Goffman menemukan teori dramaturgi melalui pengamatannya terhadap perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ia percaya bahwa setiap individu dalam masyarakat berperan seperti seorang aktor dalam sebuah drama, dimana mereka memainkan peran-peran tertentu dalam situasi-situasi sosial yang berbeda.
Goffman memperoleh inspirasi dari kajian teater dan seni drama, dimana ia menyamakan kehidupan sosial dengan sebuah panggung teater. Ia menganggap bahwa kehidupan sosial adalah sebagai sebuah drama yang dipentaskan secara terus-menerus oleh setiap individu dalam masyarakat. Goffman juga percaya bahwa setiap individu dalam masyarakat memiliki kemampuan untuk memengaruhi cara pandang orang lain terhadap dirinya melalui peran yang dimainkan dalam situasi-situasi sosial tertentu.
Goffman kemudian mengembangkan teori dramaturgi dalam bukunya yang berjudul “The Presentation of Self in Everyday Life” yang diterbitkan pada tahun 1956. Dalam buku tersebut, Goffman menjelaskan tentang bagaimana individu memainkan peran-peran tertentu dalam situasi-situasi sosial yang berbeda, serta bagaimana mereka memengaruhi persepsi orang lain terhadap diri mereka melalui peran yang dimainkan.
Nah, sekarang mulai nyambung dengan judul tulisan ini dan saat saya cantolkan dengan pertanyaan apakah kamu pernah nonton film dokumenter The Social Dilemma? Bener nggak? Masih belum ngeh? Aduh, salah penjelasan dong? Hehehe…
Gini, saya kasih contoh langsung aja, ya. Ada beberapa adegan di film dokumen tersebut yang menarik. Di antaranya adegan di mana seorang remaja perempuan sedang merasa tidak aman dengan penampilannya karena melihat foto-foto cantik teman-temannya di media sosial. Ia kemudian memutuskan untuk melakukan operasi plastik agar merasa lebih cantik dan disukai oleh teman-temannya.
Ini secara fakta memang ada lho, banyak pula. Bisa jadi ada di antara kamu yang begitu perilakunya. Walau film produksi Netflix ini menggambarkan perilaku remaja di Amerika Serikat, tetapi secara umum bisa terjadi di berbagai negara karena media sosial udah bisa diakses di berbagai negara.
Adegan lainnya di film tersebut adalah adegan dimana seorang pria diperlihatkan berdiskusi dengan istrinya mengenai pandangan politik yang berbeda. Setelah memeriksa media sosial, ia kemudian berubah pikiran dan mengambil sikap yang sama dengan kelompok politik yang ia ikuti di media sosial, meskipun sebenarnya tidak sepenuhnya percaya pada pandangan tersebut. Eh, di kita juga terjadi, kan? Bahkan perseteruan antar pendukung calon presiden masih panas sampai sekarang.
Di film tersebut, bahkan ada adegan yang menggambarkan seorang remaja yang nggak puas dengan penampilan dirinya sendiri. Mengapa? Dalam adegan tersebut seorang remaja perempuan diperlihatkan terus-menerus menggunakan media sosial dan selalu melihat postingan-postingan dari selebritas yang ia idolakan. Hal ini membuatnya merasa tidak puas dengan hidupnya sendiri dan terus mencari perhatian dan pengakuan dari orang lain di media sosial. Tuh, kan. Ini banyak juga di sini. Prok… prok… prok… jadi apa? Hayo ngaku aja! Eh, kok nuduh, sih?
Intinya, dari adegan-adegan di film dokumenter tersebut, dapat dilihat bagaimana media sosial dapat memengaruhi persepsi diri dan perilaku individu. Mereka yang terus-menerus menggunakan media sosial dapat merasa tidak puas dengan kehidupan mereka sendiri, membandingkan diri mereka dengan orang lain yang terlihat lebih sukses atau lebih cantik, dan akhirnya merasa tidak berharga. Hal ini dapat memengaruhi citra diri dan memicu kecemasan serta depresi. Sepertinya banyak di antara kamu yang kena sindir, deh.
Jadi muslim sejati
Sobat gaulislam, secara keseluruhan, film “The Social Dilemma”, pengamatannya tentang bagaimana media sosial memengaruhi citra diri dan perilaku individu sangat konsisten dengan teori dramaturgi Erving Goffman dan teori citra diri. Namun, saya nggak bakal membahas lebih lanjut film tersebut. Itu sekadar fakta aja, bahwa dalam kehidupan sehari-hari banyak orang ingin berperan sesuai dengan apa yang diinginkannya dan agar bisa dilihat oleh orang lain yang mengesankan bahwa dirinya begini dan begitu.
Namun, sebagai muslim kita udah sepantasnya mencitrakan diri sebagai muslim. Meski kita berbeda karakter, tetapi citra diri sebagai muslim kudu ditampilkan sesuai identitas atau ciri sebagai muslim. Bagaimana ciri muslim sejati?
Para ulama mengatakan, Islam adalah “Berserah diri pada Allah dengan mentauhidkan-Nya, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.”
Itu sebabnya, muslim sejati adalah yang mengamalkan ketiga hal tersebut. Menunjukkan identitasnya dengan kriteria tersebut. Insya Allah siap, ya.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS al-Bayyinah [98]: 5)
Kalo udah ngaku mengesakan Allah Ta’ala, maka sudah pasti beramal dong. Iya, kan? Nggak mungkin banget ngaku udah beriman kepada Allah Ta’ala tapi nggak beramal shalih. Padahal, mengerjakan amal shalih adalah bagian dari ketaatan kepada Allah Ta’ala. Sekaligus pula berlepas diri dari kesyirikan, ya. Itu udah satu paket.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah.” (QS al-Mumtahanah [60]: 4)
Nabi Ibrahim ‘alaihi sallam berlepas diri dari orang musyrik dan sesembahan mereka. Inilah ciri muslim sejati. Yuk, jadilah muslim sejati.
Di media sosial itu banyak orang ingin tampil begini dan begitu. Ingin menunjukkan eksistensi diri mereka dengan berbagai peran yang mereka pilih yang dianggap bisa memberikan citra diri mereka di hadapan orang lain. Oya, sebenarnya nggak masalah sih menunjukkan citra diri, jika secara fakta memang dia begitu kesehariannya. Di dunia nyata maupun dunia maya nggak beda. Masalahnya, nggak semua orang begitu. Ada banyak orang yang ingin tampil di media sosial dianggap punya imej yang baik, padahal kesehariannya nggak baik. Ini namanya pencitraan dipaksakan. Kalo secara fakta memang karakternya baik, ya namanya pencitraan juga tetapi dalam arti yang positif. Namun, kalo tujuannya untuk memanipulasi citra diri, jelas banget itu pencitraan yang negatif dan merugikan diri sendiri, juga orang lain. Ada banyak kok contohnya, kamu tinggal liatin sekitar kamu, deh.
Jadi gimana? Prok… prok… prok… jadi apa? Jadi muslim sejati aja, ya! [O. Solihin | IG @osolihin]