gaulislam edisi 501/tahun ke-10 (3 Ramadhan 1438 H/ 29 Mei 2017)
Sobat gaulislam, tanpa terasa, eh, tahu-tahu sudah Ramadhan lagi. Waktu penantian satu tahun lamanya, yang kedengarannya begitu lama, ternyata terasa cepat manakala sudah kita lalui. Maka selamat datang kembali. Inilah Ramadhan. Bulan dimana pahala kebaikan dilipat gandakan, pintu surga dibuka lebar-lebar, pintu neraka ditutup rapat, dan keberkahan menyelimuti di tiap-tiap detiknya, siang dan malam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu.” (HR Bukhari no. 1899 dan Muslim no. 1079)
Maka tak heran, begitu menapaki haru-hari pertama Ramadhan, semua orang seolah larut dalam aktivitas ibadah. Masjid dan mushalla – apalagi ketika shalat tarawih – mendadak penuh. Bahkan pihak DKM sampai mendirikan tenda dan menggelar tikar di halaman masjid, karena sudah nggak mampu lagi menampung jamaah yang datang.
Ini sungguh menggembirakan, mengingat masih banyak dari saudara-saudara kita yang menyambut datangnya Ramadhan dengan cara yang tak layak. Menyambut datangnya bulan mulia ini dengan sesuatu yang sia-sia atau bahkan berdosa. Misalnya nih, nyambut Ramadhan dengan bakar petasan. Apa coba yang didapat dengan membakar petasan? Selain berpotensi membuat kambuh mereka yang sakit jantung, kegiatan ini pada akhirnya membuat uang jadi keluar untuk sebuah aktivitas yang sia-sia. Mending uangnya disedekahin. Ya nggak? Disamping membuat tersenyum mereka yang hidupnya susah, jangan lupa, bahwa pahala bersedekah di bulan Ramadhan itu luar biasa. Akan dilipat gandakan oleh Allah Ta’ala.
Ada pula yang lebih parah dari bakar petasan, yakni bakar menyan. Biasanya aktivitas ini diikuti dengan ritual ngasih sesajen. Sesajennya ditaruh di bawah pohon-pohon besar, atau di tempat-tempat lain yang dianggap keramat. Naudzubillah.
Bukankah hal-hal semacam itu sudah bertentangan dengan ajaran Islam. Bakar menyan, ngasih sesajen, tumbal, dan semacamnya itu adalah perilaku yang bisa mengantarkan pelakunya pada kesyirikan. Sedangkan syirik termasuk dosa besar yang nggak diampuni oleh Allah Ta’ala kalo pelakunya nggak bertobat sampai akhir hayatnya.
Menumbuhkan ketakwaan
Sobat gaulislam, lalu muncul pertanyaan, kenapa sih sesuatu yang berbau kemusyrikan dan perbuatan sia-sia itu jangan kamu lakukan? Karena pada dasarnya, hal-hal semacam itu justru nggak selaras atau bahkan merusak tujuan dari berpuasa di Bulan Ramadhan itu sendiri.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS al-Baqarah [2]: 183)
Di sana sangat jelas disebutkan, bahwa tujuan dari berpuasa itu sendiri adalah untuk mencapai ketakwaan. Nah, tujuan dari puasa ini akan terhambat manakala kamu, misalnya, alih-alih khusyuk beribadah, malah sibuk dengan perbuatan tak ada guna semacam bakar petasan, main game, atau sibuk dengan perbuatan-perbuatan yang mengundang dosa, semacam ngasih sesajen, ngerumpi, berjudi, dan lain semacamnya.
Padahal, semakin sibuk seseorang dengan perbuatan dosa, maka akan semakin menurun keimanannya. Karena jelas, kita ini bukan malaikat yang keimanannya stabil terus. Keimanan para malaikat itu nggak pernah nambah, juga nggak pernah berkurang.
Beda dengan umat manusia. Keimanan mereka bisa nambah, juga bisa berkurang. Oleh karenanya, sudah jadi kewajiban manusia untuk senantiasa meningkatkan keimanannya kepada Allah Ta’ala. Caranya bagaimana? Tidak ada cara lain, yakni dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas dari amal-amal shalih.
Itu sebabnya, bulan Ramadhan sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk meningkatkan keimanan melalui ibadah demi ibadah. Artinya, akan sangat rugi manakala Ramadhan ini malah diisi dengan perbuatan yang sia-sia atau bahkan dosa.
Bro en Sis pembaca setia gaulislam. Tak dapat dipungkiri, bahwa memasuki bulan Ramadhan ibarat memasuki sebuah arena pertandingan. Di dalam arena pertandingan, berlaku sebuah rumus; siapa yang kuat, dialah yang menang.
Rumus itu juga berlaku di Bulan Ramadhan, lho. Semakin kuat seseorang, maka besar kemungkinan, dia akan menjadi jawara di garis finish Ramadhan nanti. Dengan kata lain, selayaknya sebuah kompetisi, para peserta yang akan memasuki bulan Ramadhan haruslah memiliki satu modal: kuat.
Lalu, apakah kata ‘kuat’ di sini bisa diartikan kuat fisik? Boleh jadi. Mengingat berpuasa itu tidak mudah dilakukan oleh orang yang sakit. Tidak hanya kuat fisik, hal ini juga mencakup hal-hal yang lain, misalnya kuat finansial.
Bersedekah di Bulan Ramadhan itu pahalanya besar sekali. Apalagi misalnya memberi makan orang-orang yang berbuka puasa. Jadi nggak salah, menurut cerita mereka yang pernah berkunjung ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Bulan Ramadhan, para jamaah di sana banyak yang berlomba-lomba memberi makanan untuk berbuka puasa. Makanan yang diberikan bukan makanan ala kadarnya, melainkan makanan terbaik yang mereka punya.
Kebiasaan ini juga ada di Indonesia. Menjelang waktu berbuka puasa, biasanya di beranda atau teras masjid sudah tersedia kue, makanan, dan minuman beraneka ragam. Diberikan gratis bagi siapa saja. Sebuah semangat berbagi yang indah, bukan?
Nah, bersedekah atau memberi makan di Bulan Ramadhan itu akan sangat sulit dilakukan oleh mereka yang lemah secara finansial. Maka di sinilah letak pentingnya kuat secara finansial ketika memasuki bulan Ramadhan.
Hal lain yang tak kalah penting ketika ‘berkompetisi’ di Bulan Ramadhan adalah, kuat uji. Berpuasa itu sendiri, sangat membutuhkan kesabaran. Seharian tidak makan dan minum, itu bukan perkara mudah bagi mereka yang nggak tahan uji. Apalagi harus menahan kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti ngerumpi, tidur melulu, pacaran, tebar pesona di mal-mal, dan lain semacamnya. Itu akan menjadi hal yang lebih sulit lagi.
Dan yang lebih penting lagi, adalah kuatnya mental di dalam menghadapi ujian di Bulan Ramadhan. Karena bagaimana pun, jika mental sudah siap, meskipun duit sedikit, kita masih bisa sedikit-sedikit berbagi. Meskipun badan kurus kering, kita masih bisa menahan rasa kering yang seakan mencekik tenggorokan, hingga waktu berbuka tiba. Pun jika mental sudah siap, berkali-kai ngantuk ketika tarawih dan tadarus pun, dengan penuh semangat, akan berkali-kali pula kita membasuh wajah dengan air wudhu, supaya segar kembali.
Beramal dan berharap
Sobat gaulislam, ada pepatah masyhur berbunyi, “kalau ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi. Kalau ada umur panjang, tentulah kita bertemu lagi.”
Kita tentu berharap, siklus waktu yang ada, akan membawa kita kembali bertemu dengan bulan yang penuh berkah dan ampunan ini. Namun, bagaimana pun, manusia hanya bisa berharap. Tanpa bisa memastikan apa pun.
Sobat, apa yang akan kamu lakukan, manakala ada yang datang padamu, memberitahu bahwa jatah umurmu di dunia ini sudah hampir habis. Misalnya tinggal satu minggu lagi. Dan orang yang memberi kabar itu adalah orang yang sangat dipercaya, katakanlah dokter. Menghadapi hal ini, apa yang akan kamu lakukan? Apakah diam saja? Atau melampiaskan dengan berbuat dosa? Atau bertobat dan melakukan amal shalih?
Otak yang masih waras tentu memilih pilihan terakhir, yakni bertobat dan melakukan amal shalih sebanyak mungkin.
Begitu pula dengan Ramadhan. Nggak ada jaminan bahwa kita akan bertemu kembali dengan Ramadhan tahun depan. Karena ajal itu rahasia Allah Ta’ala. Manusia, sungguh, nggak akan pernah tahu, kapan dan di mana ia akan menghabiskan detik terakhir dari jatah kehidupannya.
Maka tak ada pilihan lain sebenarnya, selain mengupayakan kesempatan bertemu Ramadhan kali ini dengan semaksimal mungkin. Kerahkan segenap daya dan upaya yang kita miliki maksimal hanya untuk ibadah, amal shalih, dan hal-hal bermanfaat lainnya. Sayang, manakala kita sudah diberi kesempatan untuk bertemu Ramadhan tahun ini, namun disia-siakan. Dibiarkan lewat dan menguap begitu saja. Padahal, kita nggak tahu, apakah umur masih cukup untuk bertemu Ramadhan selanjutnya (termasuk apakah Ramadhan tahun ini sampai di penghujung bulan atau nggak, kita nggak tahu)
Mari kita tingkatkan lagi amal ibadah baik itu dari segi kuantitas, maupun kualitasnya. Mungkin jika sebelumnya kamu hanya shalat wajib, maka mulai saat ini, coba deh kamu tambah dengan shalat-shalat sunnah. Banyak shalat sunnah yang bisa dikerjakan. Misalnya, shalat sunnah yang mengiringi shalat wajib, yakni shalat sunnah rawatib. Di pagi hari, luangkan sebagian waktumu untuk melaksanakan shalat sunnah duha. Jika masuk masjid kamu main selonong saja, coba deh mulai dibiasakan untuk shalat sunnah tahiyatul masjid terlebih dahulu. Jika semalam suntuk malam harimu hanya diisi tidur saja, maka coba deh untuk mulai membiasakan diri shalat sunnah tahajud dan witir. Dan masih banyak lagi shalat-sahalat sunnah lain yang bisa kamu jadikan kebiasaan.
Itu baru urusan meningkatkan kuantitas amalan shalat. Lalu bagaimana dengan kuantitas amalan yang lain? Seberapa banyak kamu baca al-Qur’an dalam sehari. Seberapa banyak orang-orang yang susah hidupnya yang telah ceriakan wajah dan harinya dengan pertolonganmu? Inilah waktu yang tepat untuk mulai menambah jumlah amalan-amalan baik itu.
Di samping jumlah, kamu juga perlu memperhatikan kualitas dari setiap amal yang dikerjakan. Misalnya, sudah seberapa khusyuk shalat demi shalat yang telah kamu kerjakan. Jangan-jangan, secara fisik ragamu ada di masjid, sedang shalat. Tapi sebenarnya pikiranmu sedang ada di pasar. Misalnya lagi, sudah seberapa ikhlas kamu bersedekah? Jangan-jangan sedekah yang kamu kerjakan hanya untuk dijadikan ajang selfie, untuk diupload di media sosial, untuk tujuan mencari pujian dan ketenaran.
Pada akhirnya, inilah Ramadhan. Ia telah datang kembali menjumpaimu. Lantas, apakah kamu akan membiarkannya berlalu begitu saja, atau mengisinya dengan banyak hal bermakna. Siap? [Farid Ab | Twitter @badiraf]