gaulislam edisi 453/tahun ke-9 (22 Ramadhan 1437 H/ 27 Juni 2016)
Tanggal 27 Juni 2016 ini, saat buletin keren kesayangan kamu ini terbit adalah bertepatan dengan 22 Ramadhan 1437 H. Emang sih, masih ada 7 atau 8 hari ke depan untuk bisa sampai ke garis finis. Setidaknya kata menjelang ini padanan katanya adalah menyongsong. Ya, menyongsong garis finis. Masih agak jauh ketimbang “di garis finis”. Betul apa betul? Sori, ini bukan pemaksaan, tetapi sengaja menggiring kamu agar meng-iyakan. Hehe…
Sobat gaulislam, yuk kita introspeksi, apa hasil dari shaum Ramadhan yang sudah kita laksanakan dari hari pertama hingga sudah melewati pekan ketiga ini? Jika shaum Ramadhan membuat kita makin takwa, bersyukurlah. Tadinya gampang bohong ke orang lain, tetapi setelah shaum Ramadhan yang dijalani sampai hari ini, kita takut dosa sehingga tak mau berbohong lagi. Ini termasuk berhasil menjadi salah satu bagian dalam hidup kita dalam meraih ketakwaan setelah shaum Ramadhan. Insya Allah.
Ada banyak orang mengistilahkan semangat meraih pahala di bulan Ramadhan, seperti perlombaan. Ibarat lomba maraton, peserta awal tuh banyak banget. Biasanya kalo lomba maraton itu jaraknya lumayan jauh, minimal 10 KM, bahkan bisa lebih. Jumlah peserta yang melimpah dan jarak yang jauh memungkinkan banyak peserta berguguran selama perjalanan. Ada yang di awal doang semangatnya, ada yang di tengah jalan kendur, dan bahkan ada yang menjelang garis finis malah KO. Mereka yang menang lomba maraton, selain karena kesungguhan dan harapan untuk meraih yang terbaik, juga karena daya tahan. Itu beberapa kunci sukses.
Bagaimana dengan shaum? Kunci yang tadi ditambah dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala, caranya benar sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dorongan keimanan inilah yang kemudian bisa membuat kita kuat daya tahannya dalam menjalani shaum Ramadhan. Coba aja lihat, malam pertama tarawih yang datang ke masjid untuk shalat banyak banget. Saya aja pernah tuh kebagian tempatnya di luar ruangan utama. Seneng aja. Sebab, selain Ramadhan seperti biasa masjid sepi peminat. Malam-malam berikutnya mulai tuh ada satu dua yang mulai nggak ke masjid. Seminggu berlalu, jumlahnya terus berkurang. Shaf makin maju. Walhasil, tadi malam saja, di malam yang ke-22 yang tersisa masih mending ada dua shaf juga, daripada nggak ada. Padahal, masjid luas banget. Duh!
Mereka yang masih bertahan semoga mendapatkan kebaikan dan keberkahan yang banyak dari Allah Ta’ala. Daya tahan untuk melaksanakan kewajiban adalah salah satu poin penting bagi seorang muslim. Sebab, betapa banyak pemuda yang gagah tapi ke masjid untuk shalat berjamaah aja malas. Sebaliknya, banyak orang tua yang sudah usia lanjut tetap ke masjid meski secara fisik pastinya mulai lemah. Keimananlah yang membedakan di antara keduanya. So, di sepuluh terakhir bulan Ramadhan ini kita kejar target untuk mendapatkan pahala yang lebih besar. Yuk, semangat!
Iman sebagai daya tahan
Sobat gaulislam, dalam surah al-Baqarah ayat 183 yang di bulan Ramadhan jadi ‘trending topic’ karena sering disebut dan disampaikan dalam berbagai ceramah, hakikat melaksanakan shaum Ramadhan adalah untuk meraih takwa, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah [2]: 183)
Nah, coba perhatikan permulaan ayatnya, Bro en Sis. Di situ kan yang dipanggil adalah orang-orang yang beriman. Why? Saya pernah dapetin keterangan saat ikut pengajian. Dijelaskan oleh ustaznya bahwa orang yang beriman itu lembut hatinya. Jadi, mudah untuk melaksanakan perintah Allah Ta’ala. Waktu itu saya tertegun dan berpikir, berarti kebalikannya adalah, kalo kita merasa berat melaksanakan perintah Allah Ta’ala berarti ada sesuatu yang aneh dengan keimanan kita, bisa masih lemah, bisa juga ada kemungkinan udah tipis banget. Introspeksi yuk!
Kita insya Allah bisa mengukur diri, sejauh ini apakah kita udah kuat atau belum keimanannya, udah mantep belum keyakinan kepada Allah Ta’ala. Jika iman sudah kuat, daya tahannya juga oke, lho. Maka, ketakwaan akan didapat. Shaum Ramadhan itu adalah kewajiban kaum muslimin. Syarat dan ketentuannya berlaku. Kalo kita merasa enjoy, bahkan antusias melaksanakan shaum Ramadhan, insya Allah kita termasuk orang-orang yang beriman dan akhirnya ketakwaan kita tumbuh makin kokoh.
Mengenal tauhid
Eh, apa hubungannya pembahasan Ramadhan dengan tauhid? Tentu saja ada. Saya rangkumkan aja ya dari pembahasan di website muslimah.or.id (yang mengutip dari al-Qaulul Mufiiid, jilid I, halaman 7-10). Pembagian yang populer di kalangan ulama adalah pembagian tauhid menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Pembagian ini terkumpul dalam firman Allah dalam al-Quran:
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً
“Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS Maryam [19]: 65)
Perhatikan ayat di atas:
Pertama, dalam firman-Nya (رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ) (Rabb (yang menguasai) langit dan bumi) merupakan penetapan tauhid rububiyah.
Kedua, dalam firman-Nya (فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ) (maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya) merupakan penetapan tauhid uluhiyah.
Ketiga, dan dalam firman-Nya (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً) (Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia?) merupakan penetapan tauhid asma’ wa shifat.
Berikut penjelasan ringkas tentang tiga jenis tauhid tersebut. Pertama, tauhid rububiyah. Maknanya adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kepemilikan, dan pengurusan. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah:
أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah” (QS al-A’raf [7]: 54)
Kedua, tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatanya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk (hamba). Adapun maksudnya ialah pengesaan Allah dalam ibadah, yakni bahwasanya hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ
”Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru selain Allah adalah batil” (QS Luqman [31]: 30)
Ketiga, tauhid asma’ wa shifat. Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan nama-nama dan sifat-sifat yang menjadi milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus menetapkan seluruh nama dan sifat bagi Allah sebgaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya atau sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam nama dan sifat-Nya. Dalam menetapkan sifat bagi Allah tidak boleh melakukan ta’thil, tahrif, tamtsil, maupun takyif. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya: ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS asy-Syuura [42]: 11)
Masih dalam penjelasan di website muslimah.or.id, disampaikan bahwa antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhannya yang menciptakannya dan mengatur segala urusannya, maka dia harus beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah. Maksudnya, tauhid rububiyah termasuk bagian dari tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya, pasti dia meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebagaimana perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam: “Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah (75), kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? (76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam (77), (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang memberi petunjuk kepadaku (78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku (79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku (80), dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) (81), dan Yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat (82)” (QS asy-Syu’araa’ [26]: 75-82)
Maka, sesuai dengan pembahasan kita tentang Ramadhan ini, khususnya kewajiban melaksanakan shaum, adalah bagian dari konsekuensi terhadap keimanan kepada Allah dan pelaksanaan perintah-Nya. Meyakini hanya Allah Ta’ala sebagai pencipta dan wajib diibadahi.
Semoga saja di Ramadhan yang udah menjelang garis finis ini kita tetap semangat melaksanakan amalan shalih dengan landasan iman (khususnya kepada Allah Ta’ala) sebagai daya tahannya. Mulai dari shaum, shalat tarawih (tentu saja shalat wajib yang utama), shadaqah, baca al-Quran, dan berlomba mendapatkan lailatul qadar. Semoga keikhlasan tetap dijaga, hanya untuk mengharap keridhoan Allah Ta’ala.
Sobat gaulislam, insya Alalh pekan depan saat kita ketemu lagi bisa saja Ramadhan hari terakhir, karena jumlah hari dalam sebulan menurut penanggalan hijriah adalah 29 atau 30. Semoga bisa sampai di garis finis dan mendapat gelar orang yang takwa. Insya Allah [O. Solihin | Twitter @osolihin]