Friday, 22 November 2024, 01:14

All?¢hu akbar….All?¢hu Akbar…. All?¢hu Akbar…. L?¢il?¢haillall?¢h wall?¢hu Akbar….All?¢hu Akbar wa Lill?¢h Ilhamd….
Menjelang Idul Fitri kemaren, pengeras suara yang nangkring di atap masjid dan mushala tanpa lelah mengumandangkan takbir. Selembar kulit kambing kering yang diregangkan menutupi drum minyak dipukul bertalu-talu. Diiringi suara cempreng khas kentongan dan suara ngebas galon kosong yang dipukul sekenanya dengan gaya Wong Aksan yang dipaksakan. Meski agak berisik, tapi tetep asyik.

Konvoi kendaraan bak terbuka berpenumpangkan bedug, kaleng cat, kentongan, dan para personil band takbiran menghiasi jalan raya. Sayup-sayup terdengar suara petasan yang memecah kesunyian malam. Dari pasar tradisional sampe pusat perbelajaan di mal-mal dipadati konsumen yang berburu baju, celana, sepatu, sendal, atau tas yang serba baru dengan harga menggiurkan.

Para pemudik rela bersabar dalam bis yang padat penumpang dan berjalan merayap. Semangat berlebaran di kampung bareng ortu dan sodara mengalahkan kejenuhan perjalanan yang lamanya bisa sampe dua kali lipat dari biasanya. Pikirannya dipenuhi bayangan senyum ceria yang menghiasi wajah polos keponakan saat menerima kado atau angpaw. Begitu juga dengan penganan khas lebaran racikan ortu yang bikin air liur menetes membasahi kursi penumpang sebelah. Hiii…..jijay deh!

Yup, suasana lebaran nggak akan pernah sepi dari keramaian. Nggak cuma di lingkungan masjid, RT, kelurahan, kecamatan, kotamadya, atau propinsi, tapi di setiap negeri muslim di seluruh dunia. Semoga kita nggak kebablasan ya ngerayain lebarannya. Apalagi lebaran selalu identik dengan liburan dari kerja, sekolah, bahkan aktivitas dakwah. Gawat tuh!

Dua rasa di hari raya
“Bagi orang yang berpuasa mendapat dua kegembiraan, yaitu saat berbuka puasa dan saat bertemu dengan Tuhannya.� (HR Bukhari dan Muslim)

Sobat muda muslim, kita semua sepakat kalo kegembiraan ketemu Idul Fitri sulit kita bendung. Sama sulitnya membendung kegembiraan saat mendengar suara bedug maghrib di bulan puasa. Dalam hitungan detik, segelas es campur, sepiring bakwan, dan semangkok mie goreng ludes berpindah tempat ke dalam perut. Inilah kegembiraan yang dijanjikan dalam hadis Rasulullah saw di atas.

Apalagi secara materi, dompet kita mendadak obesitas karena rupiah. Bagi yang kerja, dapet Tunjangan Hari Rabu eh, Raya alias THR. Yang masih sekolah, dapet Subsidi Hari Raya alias SHR dari ortu tercinta.

Di hari yang fitri itu juga pintu maaf plus pintu rumah terbuka lebar. Ucapan selamat Hari Raya dan permintaan maaf diobral gede-gedean. Pengiriman SMS, MMS, atau EMS yang berseliweran memacetkan lalu lintas antar operator kartu GSM dan CDMA. Mr. Postman juga disibukkan untuk mengantar kartu lebaran. Indahnya lagi, silaturahmi antar tetangga en sodara jadi agenda wajib. Kita juga ngerasa belon afdhol kalo lebaran tanpa aksi salam-salaman atau adu pipi kiri-kanan dalam acara halal bi halal dengan rekan kerja atau teman sekolah. Meski bulan Syawal sudah memasuki minggu kedua, nggak ada kata basi untuk saling memaafkan. Betul?

Namun sobat, di tengah kegembiraan menyambut Idul fitri, masih tersisa kepedihan dan keprihatinan yang dialami kaum Muslimin. Di Irak, arogansi pasukan AS menghancurkan kota Fallujah untuk kedua kalinya. Di Thailand, puluhan sodara kita mati mengenaskan pada Ramadhan lalu. Sementara di Belanda, aksi diskriminasi terhadap kaum Muslim meningkat. Hal ini dipicu dengan terbunuhnya Theo Van Gogh, seorang sutradara yang bikin film kontroversial mengenai Islam, oleh seorang pria yang mempunyai berkewarga-negaraan, Belanda dan Maroko 2 Nopember 2004 silam. Parahnya, nggak banyak yang peduli atau sekadar mengetahui kondisi ini.

Menjelang Ramadhan berakhir aja, banyak temen kita yang ber-�itikaf’ di mal-mal dan pusat perbelanjaan di sepuluh hari terakhir. Mentang-mentang pundi rupiahnya tengah terisi luber, jadi lupa ama perburuan lailatul qadar atau merhatiin kondisi sodaranya yang tertindas di belahan dunia lain. Lingkungan mengkondisikan remaja untuk berlomba tampil cantik di hari raya. Padahal Imam Syafi’i pernah berpesan, “Idul Fitri bukanlah diperuntukkan bagi orang yang mengenakan sesuatu yang serba baru, tetapi dipersembahkan bagi orang yang ketaatannya bertambah�.

Nggak heran kalo para sahabat dulu begitu bersedih meninggalkan bulan mulia penuh ampunan dan pahala. Bukan karena nggak dapet THR, SHR, atau keabisan Nutrisari. Rasa ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah saw. sebagaimana dituturkan Ibn Mas’ud: “Sekiranya para hamba (kaum Muslim) mengetahui kebajikan-kebajikan yang dikandung bulan Ramadhan, niscaya umatku mengharapkan Ramadhan terus ada sepanjang tahun.� (HR Abu Ya’la, ath-Thabrani, dan ad-Dailami)

Karena itu, selain kegembiraan berlebaran, seharusnya kita juga bersedih seperti para sahabat. Soalnya belum tentu kita ketemu Ramadhan di tahun berikutnya. Nggak ada yang ngejamin kalo kita masih bisa mendulang pahala di bulan puasa yang akan datang. Betul?

Setelah Ramadhan berlalu
Sobat muda muslim, kita seneng buanget lho ngeliat perkembangan remaja muslim selama Ramadhan kemaren. Acara keislaman semacam sanlat, kajian mingguan, kultum tarawih, atau kuliah subuh banyak digelar dengan melibatkan remaja. Nggak cuma itu, banyak juga temen kita yang jago mengendalikan obrolannya dari godaan gosip yang tekutuk. Malamnya khusyu shalat tarawih baik di rumah atau di masjid berjamaah. Waktu luang dipake buat tilawah quran. Intinya, Ramadhan bikin teman remaja kecanduan ibadah.

Namun sobat, ada tradisi pasca Ramadhan berlalu yang bikin hati kita pilu. Atmosfer ibadah di bulan puasa alon-alon tapi pasti, memudar ketika Syawal menjemput. Remaja muslim banyak yang kembali ke habitat awalnya. Tercebur di genangan limbah pergaulan kapitalis sekuler yang doyan hura-hura plus maksiat.

Aktivitas peribadatan menyusut menjadi yang lima waktu doang. Itu juga kalo sempet. Kantong belanjaan gosip dibongkar di mana saja, kapan saja, menggantikan lantunan ayat suci al-Quran. Kecanduannya hadir di acara-acara kajian Islam terlarut dalam hingar-bingar dunia gemerlap di pub atau diskotik. Jarak pergaulan cewek-cowok yang dipertahankan selama Ramadhan, diterobos hingga bebas tanpa batas. Pemikiran Islam tentang dosa, pahala, surga, atau neraka menguap ditelan budaya sekuler Barat yang individualis dan steril dari aturan agama.

Inilah tradisi “sholat� alias sholeh sesaat di kalangan remaja. Sholeh cuma pas Ramadhan doang. Bagian Syawal datang, kembali ke habitat awal. Semoga kamu-kamu nggak termasuk aktivis tradisi ini ya?

Meraih kemenangan Ramadhan
Sobat muda muslim, gimana rasanya setelah melewati Ramadhan? Biasa aja atau ada peningkatan dari sisi ketakwaan? Syukur kalo kamu rasakan ada peningkatan. Tapi kalo kamu ngerasa biasa aja, walah! Rugi banget tuh. Asli rugi.

Kita tahu sendiri, nggak ada bulan yang paling kondusif untuk menggembleng pengendalian hawa nafsu dalam diri kita selain di bulan Ramadhan. Allah begitu sayang ama kita hingga Dia mempermudah dengan membelenggu syetan. Lingkungan sekitar kita juga ikut terwarnai oleh cahaya Islam. Makanya rugi kalo bulan puasa kemaren cuma diisi rutinitas nahan lapar, haus atau formalitas nggak ngegosip serta hadir di pengajian doang. Soalnya, kalo puasa kita bener, bisa menyucikan badan dan mempersempit gerak setan sebagaimana hal ini dikemukakan dalam shahih Bukhari-Muslim (194): “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu sudah mampu memikul beban keluarga, maka kawinlah, dan barang siapa belum mampu maka berpuasalah karena itu merupakan benteng baginya.� (HR Bukhari-Muslim)

Aa Gym bilang, saat kita berpuasa Ramadhan, ibarat menjalani proses metamorfosis ulat dalam sebuah kepompong. Kalo proses metamorfosisnya berjalan sempurna, maka pasca Ramadhan kita akan menjadi manusia baru bergelar muttaqin layaknya seekor kupu-kupu yang indah dan cantik keluar dari kepompong.

Untuk itu, demi meraih kemenangan Ramadhan di bulan Syawal, kita manfaatin bener-bener modal yang kita kumpulin sewaktu puasa kemaren. Jangan sia-siakan usaha kita mengendalikan hawa nafsu, banyak bersabar, atau bersikap simpati dan empati terhadap orang lain. Jangan sesali kebiasaan kita baca al-Quran ba’da shalat fardhu dan di waktu senggang. Jangan disayangkan harta yang kita keluarkan untuk bersedekah. Karena semua itu akan menjadi penolong kita kelak di akhirat.

Yang bisa kita kerjain sekarang adalah merawat agar modal itu nggak keburu abis untuk menghadapi godaan syetan di sebelas bulan pasca Ramadhan. Bagian ini yang biasanya agak repot. Soalnya lingkungan yang selama Ramadhan mengenakan topeng kebaikan becorak Islam, mulai menampakkan wujud aslinya. Menjadi penyambung lidah dan perpanjangan tangan budaya dan pemikiran Barat yang sekuler.

Tapi kita nggak perlu khawatir bin takut terwarnai tradisi “sholat�, asal kita mau memelihara �kebiasaan’ yang udah kita bangun di bulan puasa kemaren. Caranya? Tetep semangat hadir di pengajian untuk meningkatkan wawasan Islam. Agar setiap perbuatan yang kamu lakukan bisa disesuaikan dengan aturan Islam. Selain itu, nggak boleh absen untuk mengkondisikan keimanan dalam diri kita. Kalo yang ini caranya bisa dengan bergaul di tengah orang yang baik-baik (sholeh or sholehah), biar terkondisikan oleh kebiasaan baik mereka. Juga tingkatkan amalan-amalan sunnah seperti membaca al-Quran, shaum sunnat, atau mengkaji sirah (riwayat) Rasulullah dan para sahabat untuk diteladani.

Mari kita bersama-sama meraih kemenangan Ramadhan. Isi lembaran baru dalam keseharian kita dengan identitas baru sebagai orang yang bertakwa. Kita bisa memulainya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal. Seperti diriwayatkan oleh jamaah ahli hadis, kecuali Bukhari dan Nasa’I, dari Abu Aiyub al-Anshari bahwa Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan diiringinya dengan enam hari bulan Syawal, maka seolah-olah ia telah berpuasa sepanjang masa.�

Menurut Ahmad dapat dilakukan berturut-turut atau tidak, dan tidak ada kelebihan yang satu dari yang lainnya. Sedang menurut golongan Hanafi dan Syafi’I lebih utama melakukannya secara berturut-turut sesudah hari raya. (Sayyid Sabbiq, Fikih Sunnah jilid 3).? 

Oke deh sobat, kita memang nggak bisa menahan agar Ramadhan selalu bersama kita. Tapi semangat Ramadhan udah seharusnya nggak pernah mati dalam dada kita. Semangat untuk mengkaji Islam. Semangat untuk menyuarakan Islam. Dan semangat untuk menjadi pembela Islam. Idul Fitri makan ketupat, azamkan di hati tetap semangat! Ramadhan Should Never Die! [hafidz]

(Buletin Studia – Edisi 220/Tahun ke-5/29 Nopember 2004)