Buku yang pernah saya coba �kuliti’ dalam sebuah acara bedah buku di sebuah kampus di Jakarta awal Ramadhan ini, judulnya cukup menggelitik dan saya coba �plesetkan’ menjadi judul tulisan di buletin kesayangan kamu edisi pekan ini. Penulis muda yang baru berusia 19 tahun (ini seumuran Wayne Rooney, striker Manchester United yang baru saja membuat gol ke gawang Arsenal dan mengakhiri rekor tak terkalahkan dari Arsenal selama 49 pertandingan berturut-turut!). Nama penulisnya Shofwan Al Bana.
Sobat muda muslim, sengaja saya mengambil judul buku unik dan menarik isinya ini sebagai cantolan di awal tulisan ini. Kenapa unik? Judulnya saja menghentak, meski menurut pembedah lain judul ini misterius. Terlepas dari itu, tulisan anak muda asal Yogya ini sangat jelas menampar kebiasaan kita di bulan Ramadhan.
Gaya bertuturnya dan bahasa yang disajikan di bukunya tegas mengkritik dan memberi solusi. Intinya, dalam buku itu kita diajak untuk merenung. Betapa kita masih nggak rela meninggalkan hal-hal yang sia-sia bahkan maksiat meski di bulan suci Ramadhan. Betapa kita cuma menjadikan Ramadhan sebagai bulan yang, menurut istilah seorang pengamat media, Veven Sp. Wardhana sebagai “dalam rangka�, sehingga hanya alim saat di bulan Ramadhan. “Dalam rangka� menghormati bulan Ramadhan, televisi pun berubah jadi �mushola’ dengan beragam tayangan bernuansa islami. Masyarakat kita masih tergantung dengan “dalam rangka�, sehingga hanya bisa? masuk dan merasuk dalam tema tertentu saja. Begitu pendapat Direktur Institute for Media and Social Studies Jakarta ini, dalam tulisannya di Koran Tempo 23 Oktober 2004 lalu.
Ah, jika dari tahun ke tahun selalu begitu, nggak ada lagi nikmat yang kita reguk dari Ramadhan. Nggak terasa lagi beda yang nyata dan memberi pengaruh besar dalam hidup kita dari “gemerlap� cahaya Ramadhan ini. Malam-malam yang kita lalui nggak terasa lagi syahdu mengharap berkah, rahmat, dan ampunan dari Allah. Bahkan sebaliknya, malam-malam yang kita lalui nggak ada bedanya dengan nuansa pada bulan lainnya. Kelakuan dan kebiasaan kita masih “istiqomah� dengan cara lama sebelum Ramadhan. Cuma bungkusnya aja yang berganti, tapi isinya udah basi. Kalo begitu, rasanya wajar kalo bilang: Ramadhan Is Dead!� (seperti dalam bukunya teman kita Shofwan Al Bana itu).
Sobat muda muslim, seorang peserta bedah buku tersebut bertanya dan gelisah dengan maraknya tayangan televisi di bulan Ramadhan. Bukan tayangan yang sudah jelas rusaknya, tapi dia memprihatinkan ragam tayangan menjelang berbuka dan pengantar makan sahur yang seolah �melecehkan’ kesucian dari Ramadhan itu sendiri. Nggak usah disebutin nama acaranya, karena terlalu banyak dan semuanya juga begitu rupa.
Mungkin masyarakat kita udah terbiasa dengan humor, sehingga tayangan-tayangan tersebut pun rasanya tak elok alias nggak sedap dipandang mata kalo nggak nyelipin (sebenarnya bukan nyelipin definisinya, sebab faktanya humor ini jadi mayoritas di acara itu, dan justru ceramahnya yang nyempil). Hmm… acara taushiyah pun berubah jadi sebagai pelengkap acara. Benar-benar tragedi.
Kalo ada program acara yang kerasa kuat pesannya, tapi lagi-lagi dikemas dengan guyon. Lihat aja acara “Cece� alias Ceramah Ceria. Sebetulnya nggak masalah juga menyampaikan materi dengan rileks dan ringan, serta mengibur. Boleh jadi itu memang cara efektif untuk menyampaikan pesan kepada kalangan tertentu. Tapi, tentunya nggak elok kalo kemudian jadi kebanyakan guyonnya. Lebih celaka lagi kalo jamaahnya ditanya, “Materinya apa tadi?� Lucu! (cuma itu jawaban yang keluar). Ya, sangat boleh jadi, acara ini digelar pun mengikuti selera pasar (logika pengelola media sih dari dulu emang begitu karena sejatinya emang lagi mancing iklan—bukan ikan lho).
Mengapa kita tidak berubah?
AlvinToffler pernah menyampaikan bahwa: “Perubahan tak sekadar penting untuk kehidupan. Perubahan adalah hidup itu sendiri.� Nah, pertanyaannya kenapa kita masih malas untuk berubah dalam hidup ini? Tentunya berubah ke arah yang baik ya. Karena kalo berubahnya ke arah yang buruk rada gampang. Disenggol dikit aja ama Topi Nyengled alias Topi Miring, keimanan yang cuma nyangkut di KTP itu langsung goyang deh. Lalu rame-rame nenggak nama minuman keras tersebut. Gaswat!
Sobat muda muslim, menjadi baik itu nggak susah. Asal kita mau dan punya niat tulus untuk mengubah kebiasaan buruk kita. Apalagi kalo kita nyadar bahwa hidup ini cuma sekali, dan sementara pula. Apa yang bakal kita bawa sebagai bekal kalo tiba-tiba besok pagi Allah mengutus Malaikat Ijrail membawa surat perintah untuk mencabut nyawa kita? Cuma orang yang nekatz dan nggak tahu diri aja yang berani menghadap Allah dengan bekal amal baik yang minim. Jangan sampe deh ngalamin seperti itu. Jangan.
Seorang teman yang sering diundang untuk mengisi acara training motivasi punya motto: Be The Best, Not “Be-asa� (kira-kira begini artinya: Jadilah yang terbaik, jangan yang biasa). Bahkan ia menekankan: berubahlah 1 persen 1 hari (eh, kalo 100 persen berarti dalam 100 hari ya? Hehehe kayaknya cocok nih buat nguji kesungguhan Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan SBY. Ah, tapi kalo sistemnya masih kapitalisme yang diemban, mau seratus tahun juga nggak bakalan berubah jadi baik negeri ini!).
Kalo ngomongin soal perubahan, yang dekat dengan kita saat ini dan bisa nyambung, ya tentang Ramadhan. Sebenarnya perintah Allah jelas banget, bahwa diwajibkannya puasa buat kita, kaum mukminin, adalah untuk mendapatkan predikat takwa. Bukan yang lain. Firman Allah Swt:
?????§?£?????‘???‡???§ ?§?„?‘???°?????†?? ?????§?…???†???ˆ?§ ?ƒ???????¨?? ?¹???„?????’?ƒ???…?? ?§?„?µ?‘???????§?…?? ?ƒ???…???§ ?ƒ???????¨?? ?¹???„???‰ ?§?„?‘???°?????†?? ?…???†?’ ?‚???¨?’?„???ƒ???…?’ ?„???¹???„?‘???ƒ???…?’ ???????‘???‚???ˆ?†??
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,� (QS al-Baqarah [2]: 183)
Nah, ketakwaan inilah yang seharusnya menjadi target perubahan kita dalam menjalankan kewajiban puasa Ramadhan. Kompetisi kita dalam Ramadhan ini harus berhasil meraih gelar muttaqien alias orang-orang yang bertakwa. Kalo dalam bahasanya Shofwan Al Bana sang penulis buku “Ramadhan Is Dead?!�: Takwa adalah gelar paling keren yang bisa diraih oleh manusia.
Secara sederhana takwa itu artinya kita taat bin patuh melaksanakan perintah dari Allah Swt. juga berani dan ikhlas untuk menjauhi setiap larangan yang telah ditetapkan Allah Swt. Itu sebabnya, yuk kita jadiin Ramadhan sebagai akademi untuk menuju puncak takwa. Jangan sampe kita tereliminasi di sepuluh hari pertama, atau sepuluh hari kedua. Intinya, kita harus bisa sukses menuju final. Jadi persiapan kudu oke nih. Soalnya kita nggak bisa membujuk penonton untuk mendukung kita lewat SMS, karena �juri’ yang menilai dan menentukan puasa adalah Allah Swt. langsung. Betul?
Oke, saatnya kita jadikan Ramadhan menjadi momentum perubahan kita menuju level ketakwaan yang lebih tinggi (jangan cuma semangat naikkin level kalo main gim Gunbound atau Ragnarok aja hehehe). Yuk, berlomba menjadi yang terbaik. Itu sebabnya ubah kebiasaan, khususnya kebiasaan buruk. Pokoknya, seperti kata Linkin Park: “Breaking the Habit�. Huhuy!
Jangan kubur Ramadhan!
Sobat muda muslim, emang kesel, risih, gemes, sebel dan entah kosakata apalagi untuk menggambarkan keprihatinan kita tentang kondisi kaum muslimin saat ini, khususnya di bulan suci Ramadhan. Gimana nggak kesel, gimana nggak sebel, kalo Ramadhan nggak bisa membekas dalam kehidupan kita. Cuma numpang lewat dalam hidup kita. Kalo pun kita berupaya menyambutnya, tapi itu pun sekadar “dalam rangka�. Jadi ketika Ramadhan berlalu, kita balik lagi ke selera asal. Bah!
Itu sebabnya, mumpung belum kelewat, jangan kubur Ramadhan. Karena ia belum mati. Kitalah yang menjadikan Ramadhan mati. Ramadhan akan tetap hidup bersama orang-orang yang merindukannya. Mereka akan tetap bermesraan dengan Ramadhan di setiap detik yang ia lewati, di setiap menit yang ia lalui, dan di setiap malam yang selalu membuatnya terjaga untuk senantiasa mengisinya dengan ibadah. Ramadhan memang tidak akan pernah mati, ia akan hidup terus bersama orang-orang beriman yang mencintainya.
Kalo sekarang Ramadhan tampak seperti mati (karena memang nggak kerasa banget nuansanya), maka sebenarnya kitalah yang membuatnya mati dan bahkan sudah menguburkannya dalam-dalam. Itu sebabnya jangan heran jika masih banyak kaum muslimin yang anteng aja makan dan minum di siang hari tanpa sedikit pun merasa takut kepada ancaman Allah. Dan tanpa sedikit pun merasa sayang mencampakkan beragam kemuliaan di dalamnya. Padahal, itu cuma diberikan sebulan dalam setahun oleh Allah. Hmm… bener-bener nggak tahu diri (maaf lho saya nyebutin begini, jika ada kata yang lebih pantas dan dahsyat lagi dari ini untuk menggambarkan orang-orang durhaka bolehlah diucapkan).
Sekali lagi, jangan kubur Ramadhan. Karena ia masih hidup. Sebaliknya, kita nyalakan semangat dan ceriakan Ramadhan dengan amal sholeh yang berlimpah. Deras mengalir dari setiap ucapan dan perbuatan kita. Agar banjir nikmatnya terasa sampe membekas dalam hidup kita selamanya.
Sobat muda muslim, memang kaum muslimin nggak salah-salah banget dalam kondisi ini. Karena kelakuannya pun lebih banyak disetir oleh sistem kehidupan saat ini. Sistem kehidupan kapitalisme-sekularisme yang udah berurat-berakar ini menjadikan kaum muslim banyak yang nggak kenal dengan ajaran agamanya sendiri. Banyak di antara kita yang lebih patuh dan ridho diatur oleh kenyataan saat ini, ketimbang mempertahankan akidah Islam kita. Itu sebabnya, nggak berlebihan dan memang pantas dan pas kalo kita mulai mencintai Islam. Ramadhan ini saat yang ideal untuk come back kepada Islam. Mempelajarinya, memahaminya, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari sambil berupaya keras agar Islam diterapkan sebagai ideologi negara dalam bingkai Negara Khilafah Islamiyah. Iya nggak?
Sobat, sumpah kita udah nyeri, sakit, dan pedih hidup dalam sistem kehidupan bobrok ini. Cuma Islam yang bisa menyelamatkan kita. Jangan cintai kapitalisme-sekularisme, jangan pula nekat berselingkuh dengan sosialisme-komunisme. Berbahaya! (dan juga berdosa)
Semoga Ramadhan kali ini (dan juga seterusnya) memberikan kekuatan yang besar dalam hidup kita untuk mengubah kebiasaan buruk kita. Berubah menjadi lebih baik. Karena Ramadhan memang belum mati. Akan tetap hidup bersama orang-orang beriman yang ikhlas menjalankan syariatNya. [solihin]
(Buletin Studia – Edisi 219/Tahun ke-5/1 Nopember 2004)