Sunday, 24 November 2024, 09:20

gaulislam edisi 618/tahun ke-12 (25 Dzulhijjah 1440 H/ 26 Agustus 2019)

Wah, kayak gimana belajarnya, tuh? Jadi penasaran pengen tahu cara belajarnya. Eit, tapi jangan berpikir yang aneh-aneh, Bro en Sis. Edukasi tentang seks sebenarnya udah lama diberikan bagi kalangan remaja. Hanya saja, di negeri kita ini, umumnya tidak tuntas dan tidak jelas arahnya. Pernah tuh ada program yang bikin heboh soal bagi-bagi kondom kepada para pelajar. Konon kabarnya, itu untuk mengedukasi pelajar agar tidak kena virus HIV. Aneh kan? Harusnya dicegah seks bebasnya, malah terkesan seks dibiarkan tapi dikasih kondom, yang menurut penggagas program ini sebagai bagian dari pencegahan terhadap HIV. Duh, parah bingitz!

Sobat gaulislam, beberapa waktu lalu heboh film “Dua Garis Biru”, yang konon menurut penulisnya (dan juga sutradaranya) memiliki pesan seputar pendidikan seks. Khususnya bagi remaja. Tapi seperti pada program sebelumnya, pendidikan seks melalui film pun sekadar menangkap realitas, namun tak menyelesaikan masalah utama mengapa fakta itu bisa terjadi.

Di satu sisi film tersebut memang ada sedikit baiknya. Punya niat melakukan pendidikan seputar seks bagi remaja. Misalnya dalam film itu ingin digambarkan bahwa begitulah akibat pacaran yang kebablasan alias di luar kewajaran. Tapi, pemilihan kata “kebablasan” atau “di luar kewajaran”, sebenarnya menyisakan pengertian bahwa pacarannya boleh, yang dilarang adalah pacaran yang kebablasan atau di luar kewajaran. Padahal, pergaulan bebas bernama pacaran itulah yang menjadi akar masalah fakta di film tersebut. Hamil di luar nikah, lalu dinikahkan, muncul banyak problem dalam pernikahan seusia mereka. Orangtua jadi ikut ribet dan sebagainya yang sebenarnya sudah lumrah di zaman sekarang. Mestinya, sekalian aja dijelaskan bahwa akar masalahnya adalah pacaran. Jadi, bubarkan pacaran.

Wah, kalo solusinya begitu sih, kayaknya banyak yang ogah atau nggak siap. Gimana pun juga, pacaran udah jadi tradisi yang berurat berakar. Sulit dilepaskan. Jadinya, kalo pun ngasih solusi nggak jauh dari realitas yang sepertinya terus dinikmati. Idih, padahal udah tahu masalah utama tapi kok nggak dipotong aja langsung sumber masalah tersebut. Aneh, ya?

Kalo geregetan sih pastinya emang geregetan nih. Kok, cuma berputar or main-main di ranah realitas belaka tapi solusinya yang disodorkan sekadar tambal sulam. Kenapa nggak menyentuh isi permasalahan utama dan nggak ngasih solusinya yang emang jitu banget.

Jangan cuma salahkan keadaan

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kondisi masyarakat saat ini, termasuk kondisi kaum muslimin secara umum, memang secara fakta memprihatinkan. Pergaulan remaja di negeri ini banyak yang membahayakan. Nyerempet-nyerempet urusan seksual. Ya, awalnya pacaran, lalu sering ketemuan, lama-lama setan ngomporin, akhirnya berzina. Naudzubillahi min dzalik. Ngeri!

 Oya, maksud subjudul ini: “jangan cuma salahkan keadaan” itu maksudnya apa, ya? Gini, menyalahkan keadaan itu nggak menyelesaikan masalah. Maksudnya, suka ada yang bilang seperti ini, “Gue begini karena kondisi masyarakat gue begini. Ya udah, yang salah bukan cuma gue, tapi salahkan juga keadaan yang membuat gue begini.”

Cie..cie.. yang nggak mau disalahin sendirian, pengen ngaja-ngajak teman lainnya biar salahnya berjamaah. Waduh!

Sebenarnya apa yang disampaikan dalam contoh kasus di atas itu, ada benarnya. Nggak mau cuma dirinya yang disalahkan akibat kondisi yang membuatnya begitu, tapi salahkan juga keadaan tersebut. Ok. Sekadar tahu aja nih, kita dan masyarakat ini adalah korban dampak penerapan sistem kehidupan yang nggak islami. Ini kehidupan yang sekular-kapitalistik. Jauhi dari Islam. Kita semua korban, Bro en Sis.

Lha, terus gimana tuh subjudul ini masih ngeganjel. Iya. Maksudnya karena kita semua korban, ketika mau menyelesaikan masalah tersebut, harus diselesaikan kedua-duanya. Kalo kita salah, ya kita juga harus perbaiki diri. Lingkungan sih, secara umum emang salah. Tak islami. Jauh dari aturan Islam. Tetapi, coba deh tengok ke sekitar kita. Apakah semua orang jadi ikutan salah ketika mereka hidup di lingkungan atau keadaan lingkungan yang salah? Ternyata nggak juga. Banyak kok yang tetap beriman dan beramal shalih. Nggak ikut-ikutan dengan kondisi atau keadaan masyarakat yang rusak lalu otomatis jadi rusak. Nggak lah.

Tetapi memang, secara fakta juga banyak lho yang ikut menceburkan diri dalam keadaan atau kondisi masyarakat yang salah dengan anggapan, “gue begini karena masyarakat gue begini juga”. Padahal, secara fakta pula ada banyak orang yang tak terpengaruh jadi buruk atau salah meski berada di lingkungan atau keadaan alias kondisi masyarakat yang salah. Ya, kita-kita ini, tetap berdakwah (walau sekadar melalui tulisan) untuk mengedukasi masyarakat, khususnya kalangan remaja agar tak ikut larut dalam kesalahan masyarakat. Sekaligus, melawan berbagai tekanan yang memungkinkan kita jadi ikut salah. Itu artinya, tak selalu menyalahkan keadaan semata. Tetapi evaluasilah diri kita masing-masing. Sadar lalu berubah jadi generasi yang peduli dan cinta kebaikan. Sehingga bisa bersama-sama mengubah kondisi atau keadaan yang memang salah tersebut menjadi baik dan lebih baik. Semudah itu kan?

Ah, ribet kok. Nggak mudah. Soalnya, ini berurusan dengan manusia. Bukan mesin. Sehingga perlu penanganan dan perlakuan khusus agar bijak ambil sikap. Benar. Justru itu menjadikan kita semestinya bepikir bahwa masalah yang menimpa umat Islam ini sungguh berat sehingga nggak mungkin diselesaikan hanya oleh segelintir orang saja. Harus rame-rame, bersama-sama dan tujuannya sama. Permasalahan remaja seputar seks, sulit hanya diselesaikan melalui pendidikan seks—itu pun seringkali salah memaknai dan menggunakan caranya.

Perbaiki diri dulu, baru ajak yang lain

Bagus! Memang harus begitu. Supaya apa? Supaya orang lain yang diajak juga nggak bisa ngasih berbagai alasan yang intinya nggak mau. Itu sebabnya, kalo kita udah baik dan tahu cara memperbaiki diri, maka orang lain yang kita ajak agar jadi baik juga insya Allah akan berpandangan baik tersebab melihat kita sudah terlebih dahulu baik. Silakan bayangin deh, kalo kita belum baik, tapi ngajak ke orang lain agar berbuat baik. Sebenarnya bisa saja. Misalnya nih, nasihatin orang agar shalat walau diri jarang shalat. Termasuk melarang orang lain jangan pacaran, eh dianya sendiri malah pacaran. Apa dia nggak malu nantinya? Baik malu di hadapan manusia, apalagi malu di hadapan Allah Ta’ala.

Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata, “Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” (HR Tirmidzi)

Ini menunjukkan bahwa kita harus senantiasa memperbaiki diri, sembari mengajak orang lain untuk juga memperbaiki dirinya. Sama-sama belajar lah. Sehingga nggak ada alasan untuk menyalahkan keadaan atau minder dengan selalu menyalahkan diri sendiri.

Tapi, perlu juga diingat nih. Mereka yang diajak kepada kebaikan juga musti lapang dada. Jika memang faktanya salah dan diajak kepada kebenaran mustinya sadar diri, bukan malah jadi sombong nggak mau diingatkan, apalagi karena merasa apa yang dilakukannya benar. Padahal, secara fakta hukum jelas salah. Wah, ini sih berabe banget, dah!

Sebagai sesama muslim, mestinya sadar diri ya. Kalo diingatkan agar jadi baik itu mestinya jangan direspon negatif, Jangan juga merasa dirinya paling benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” (HR Bukhari)

Pendidikan seks menurut Islam

Sobat gaulislam, pendidikan seks menurut Islam tidak selalu identik dengan masalah reproduksi sebagaimana dipahami banyak orang, termasuk dalam beberapa media seperti film “Dua Garis Biru” yang diklaim sebagai sarana pendidikan seks, khususnya bagi remaja.

Dalam artikel di muslimah.or.id dijelaskan bahwa, pendidikan seksual dapat diberikan sejak usia dini, yaitu sejak masa bayi. Sangat sedikit orang tua yang menyadari bahwa mereka telah mulai melakukan penggolongan seks terhadap bayi mereka, seperti menentukan warna pink untuk selimut, popok atau pernak-pernik bayi perempuan, dan warna biru untuk bayi laki-laki. Mereka juga mengatur kamar bayi dan memberikan mainan-mainan sesuai dengan jenis kelamin anak. Lambat laun, anak-anak akan mulai belajar mengidentifikasi dan menyesuaikan perilakunya dengan peran seksual yang diberikan oleh orang tuanya serta lingkungannya.

Memasuki usia pubertas atau baligh memang bukan sesuatu yang mudah bagi anak. Mereka akan merasa bingung, gelisah, takut dan cemas dengan berbagai perubahan yang mereka alami. Perubahan yang paling menggelisahkan bagi anak adalah perubahan fisik. Terdapat dua tanda ketika anak telah memasuki masa baligh:

Pertama, ihtilam, yaitu keluarnya mani baik karena mimpi maupun hal lainnya. “Dan apabila anak-anakmu telah sampai hulm (ihtilam), Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS an-Nuur [24]: 59)

Kedua, tumbuhnya rambut kemaluan. Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi menukilkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i (Sunan, 2450), al-Baihaqi (al-Kubra, 19155) dan Imam Ahmad (Musnad, 21532) dari ‘Athiyyah radhiallahu’anhu, “Kami dihadapkan kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pada hari Quraizhah (yaitu peristiwa pengkhianatan Bani Quraizhah), di situ orang yang telah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh, maka aku dibiarkan.”

Hadits tersebut menunjukkan bahwa tumbuhnya bulu kemaluan merupakan tanda balighnya seseorang yaitu telah dibebankan hukum syariat kepadanya, sehingga orang-orang dari Bani Quraizhah yang telah tumbuh bulu kemaluannya berhak dibunuh karena mereka telah mengkhianati Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Tanda-tanda baligh bagi anak perempuan sama seperti anak laki-laki, namun terdapat tanda khusus yang tidak dialami oleh anak laki-laki yaitu haidh.

Singkatnya begini. Islam udah mendidik kaum muslimin sejak anak-anak. Ada aturan kehidupan umum dan kehidupan khusus. Mereka harus tahu.

Pertama, anak harus meminta izin dengan cara mengetuk pintu ketika hendak memasuki kamar orangtua mereka. Jangan sembarangan masuk. Terutama pada tiga waktu, yakni: sebelum Subuh, saat siang hari ketika tidur siang, dan setelah shalat Isya. Why? Ya, pada ketiga waktu itu adalah waktu istirahat bagi orangtua. Bisa jadi pada saat itu sedang membuka auratnya sehingga tidak pantas dilihat orang lain, termasuk anaknya.

Melihat aurat orangtua (atau orang dewasa lainnya) akan membekas pada anak dan akan merusak jiwa dan syarafnya ketika dewasa (atau bahkan saat masih anak-anak sekalipun). Bahaya banget.

Kedua, anak diajarkan untuk menutup aurat dan menjaga pandangannya. Apalagi di zaman sekarang, banyak orang dewasa yang auratnya begitu mudah dilihat karena mereka seolah memamerkannya dengan mengenakan pakaian yang tidak islami. Jika ini dilihat setiap hari karena tak dicegah dengan perintah menundukkan pandangan, bisa bahaya. Ditambah pula bila tak diajarkan menutup aurat. Bahaya kuadrat!

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat’.” (QS an-Nuur [24]:30)

Ketiga, pisahkan tempat tidur mereka. Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika meninggalkannya apabila mereka telah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR Ahmad, no: 6467, sanad hasan)

Keempat, jauhkan dari lawan jenis (tidak ikhtilath alias bercampur-baur) dalam berbagai kondisi yang bisa membangkitkan syahwatnya.

Kelima, mengajarkan anak tentang kewajiban mandi dan sunah-sunahnya. Ketika anak sudah baligh, maka harus diajarkan cara thaharah (bersuci) dan mandi wajib.

Keenam, jika memang sudah siap dan mestinya memang harus disiapkan untuk bisa menikah meski di usia muda.

Jadi, singkat kata nih, pendidikan seks yang hanya diajarkan seperti dalam film “Dua Garis Biru” atau sejenisnya, belum menyentuh persoalan utama para remaja dalam pergaulan mereka. Pacaran, adalah pintu gerbang mendekati zina. Maka, yang harus dilarang adalah pacarannya. Kalo hanya membahas ketika sudah kejadian zina, lalu dinikahkan dan diungkap gimana ribetnya keluarga muda yang memang belum siap, lalu memberikan warning agar jangan sampe terjadi pezinaan, tapi pacarannya tetap dibiarkan alias tidak dilarang, ya percuma aja sih. Sama aja ngasih anak bedil-bedilan, sambil melarang jangan sampai melukai orang. Bukan diambil bedil-bedilannya, tapi diminta anak untuk bijak agar tidak sembarang nembak. Justru kalo begitu udah kelihatan bakal nambah masalah, kan? Sebab, usia mereka belum bisa berpikir sempurna.

So, kalo emang mau edukasi seks bagi remaja, mulailah dengan enam poin yang udah ditulis di atas. Kalo udah telat karena udah pada usia remaja, maka yang harus difokuskan pada larangan campur-baur laki dan perempuan, kewajiban menutup aurat dan menjaga pandangan, serta larang mereka pacaran. Jangan lupa, berikan kesempatan seluas-luasnya bagi remaja untuk belajar dan mengkaji Islam. Baik di kegiatan rohis sekolah, maupun pembinaan keislaman di masjid dan lingkungan sekitar. Semoga berbuah kebaikan dan keberkahan. [O. Solihin | IG @osolihin]