gaulislam edisi 817/tahun ke-16 (1 Dzulhijjah 1444 H/ 19 Juni 2023)
Kekerasan yang dilakukan remaja seperti nggak ada putusnya. Berita model gini hampir tiap hari nyamperin di beranda akun medsos kita. Di Instagram, Tiktok, Twitter, Facebook, Youtube, dan platform media sosial lainnya. Ngeri, sih. Kesannya bahwa dunia remaja sedang tidak baik-baik saja. Sama kayak ruwetnya perpolitikan di negeri kita. Mau heran, tetapi sudah menjadi bagian keseharian di negeri kita. Namun yang pasti, kita kudu menghentikan diam kita. Udah saatnya bergerak menyampaikan pendapat dan mencari solusi tepat agar problematika yang ada segera dituntaskan. Nggak berlanjut terus.
Sekadar menyebut contoh dari kasus brutal dan sadisnya sebagian remaja di negeri kita, misalnya kasus terbaru atau baru aja terjadi alias belum lama. Ya, kasus 4 orang remaja yang menyiksa dan membunuh seorang ODGJ (orang dengan gangguan jiwa). Duh, jadi sebenarnya yang gangguan jiwa siapa? Kok tega-teganya menyiksa dan membunuh?
Berdasarkan pemberitaan yang udah beredar di media massa, Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Lebak AKBP Wiwin Setiawan mengatakan, korban dibunuh oleh pelaku pada Jumat (9/6/2023).
Tiga hari sebelumnya atau pada Selasa (6/6/2023), korban sempat disiksa oleh para pelaku secara berulang kali.
Penganiayaan hingga berujung pembunuhan tersebut dilakukan di dekat pantai di kawasan Kecamatan Bayah. “Para pelaku melakukan dugaan tindak pidana tersebut dengan cara mengikat korban dengan tali tampar warna biru, kemudian korban digiring ke arah pantai,” ujar Wiwin dalam keterangannya, Jumat (16/6/2023).
Mirisnya, dua di antara pelaku tersebut berstatus sebagai siswa kelas enam SD, sementara lainnya setingkat SMP. Ngeri, kecil-kecil jadi pembunuh. Naudzubillahi min dzalik.
Sebelumnya, ada juga yang nggak kalah serem. Kesal karena sering ditagih uang kas kelas, siswa SMP di Mojokerto tega membunuh temannya sendiri.
Aura Enjelie alias Rara (AE), 13, warga Desa Mojojajar, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto yang sempat dikabarkan hilang sejak 15 Mei 2023 lalu akhirnya ditemukan tewas mengenaskan, Senin (12/6) malam. Jasad Gadis SMP ini ditemukan membusuk terbungkus karung berwarna putih di dalam parit dekat rel kereta api Desa Mojoranu, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto.
Menurut informasi yang diberitakan di media massa, motif sementara AA bocah kelas IX E di salah satu SMP Kemlagi ini menyimpan dendam yang begitu mendalam ke teman sekelasnya AE. Dia jengkel ke bendahara kelas itu lantaran kerap ditagih tunggakan iuran kas kelas. Merasa tidak terima ketika dibangunkan di kelas dan ditagih iuran kas kelas selama 2 bulan yang nilainya seminggu Rp 5 ribu, jadi ada tunggakan Rp 40 ribu. Ditambah keinginan AA untuk kembali berpacaran ditolak oleh AE, bahkan beredar di sosial media kalau pelaku AA mengajak AE berhubungan badan namun ditolak oleh AE. Dia pun nekat membunuh mantan pacarnya itu lalu membuangnya ke parit dekat rel kereta api.
Awal tahun ini juga masyarakat dibikin kaget dengan kasus pembunuhan yang dilakukan dua remaja di Makassar. Motif mereka membunuh karena ingin menjual organ tubuh korban. Niatnya mau menjual via online, tapi nggak berhasil, lalu mereka panik. Akhirnya, membawa jasad korban dan membuangnya di sekitar Waduk Nipa-Nipa, Moncongloe, Maros.
Cukup deh tiga fakta aja, ya. Kalo mau dijejalkan jadi banyak. Ini belum termasuk yang remaja cowok yang membunuh pacarnya, ya. Beberapa di antaranya karena nggak mau bertanggung jawab saat pacarnya hamil. Beritanya udah banyak di media massa, bikin ngeri. Semoga kita terhindar dari kondisi kayak gitu. Ngeri kalo sampai jadi korban, jangan juga jadi pelakunya. Naudzubillahi min dzalik.
Faktor penyebab
Sobat gaulislam, lebih dari 20 tahun lalu saya pernah menulis buku dan diterbitkan. Ya, tahun 2002 tepatnya. Judul bukunya, “Jangan Jadi Bebek”. Saat itu, dibahas juga tentang remaja yang melakukan kekerasan. Nah, kalo dipikir-pikir, berarti kasus kekerasan remaja itu bukan barang baru alias bukan sekarang doang. Ternyata udah lama banget. Bahkan kalo merunut sejarah, kekerasan bisa jadi setua umur manusia di bumi ini. Sejak lama banget udah ada. Walau tentu ada pada masa-sama tertentu kekerasan nggak semasif sekarang.
Nah, mengapa bisa terjadi seperti ini? Banyak faktor sih, dari literatur yang saya baca, menjelaskan bahwa perilaku brutal dan sadis pada remaja dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks. Psikolog telah mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap perilaku tersebut. Berikut adalah beberapa pandangan yang umum dikemukakan oleh para psikolog.
Pertama, adanya gangguan Mental. Betul. Beberapa remaja mungkin mengalami gangguan mental yang serius seperti gangguan kepribadian antisosial, psikopati, atau gangguan perilaku yang dapat menyebabkan mereka cenderung berperilaku brutal. Gangguan mental ini bisa menyebabkan kurangnya empati, kesulitan mengendalikan impuls, dan kurangnya penyesalan atas tindakan mereka. Aduh, kayaknya pendapat ini ada benarnya. Banyak remaja saat ini yang kurang empatinya terhadap sesama temannya.
Kedua, bisa disebabkan adanya pengalaman traumatis. Pengalaman traumatis, seperti kekerasan fisik, pelecehan seksual, atau pengabaian yang berkepanjangan, dapat berdampak negatif pada perkembangan remaja. Pengalaman-pengalaman ini dapat menyebabkan mereka mengembangkan sikap agresif dan kesulitan mengatur emosi mereka dengan sehat. Beberapa yang pernah saya lihat langsung memang menunjukkan gejala ini. Ngeri, Bro en Sis.
Ketiga, ketidakstabilan keluarga. Lingkungan keluarga yang tidak stabil, misalnya orang tua yang terlibat dalam kekerasan atau penyalahgunaan zat terlarang, dapat mempengaruhi perkembangan perilaku remaja. Kurangnya pengasuhan yang konsisten, kurangnya perhatian, atau kehilangan figur otoritas yang positif dapat menyebabkan remaja mengalami kesulitan mengendalikan emosi mereka dan menggunakan kekerasan sebagai bentuk penyelesaian masalah. Ada benarnya juga, nih. Beberapa yang pernah diamati, memang demikian faktanya.
Keempat, pengaruh lingkungan. Faktor lingkungan seperti kekerasan dalam media, pergaulan dengan teman sebaya yang antisosial, atau eksposur terhadap perilaku brutal melalui internet dapat mempengaruhi perilaku remaja. Remaja yang terpapar pada model perilaku kekerasan yang negatif lebih mungkin meniru perilaku tersebut. Ini bisa dalam bentuk game online yang bergenre kekerasan, atau konten-konten youtube yang isinya menormalisasi kekerasan dan kebrutalan. Dianggap wajar, bahkan ditoleransi dan didukung. Parah!
Kelima, kurangnya keterampilan sosial dan emosional. Beberapa remaja mungkin memiliki kesulitan dalam mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang sehat. Ini dapat mengakibatkan mereka kesulitan dalam mengelola emosi, menyelesaikan konflik dengan cara yang konstruktif, dan memahami konsekuensi dari tindakan mereka. Ini juga pernah melihat langsung remaja model gini. Hanya saja, karena dalam pengawasan, maka alhamdulillah bisa diredam walau belum berhasil optimal.
Kerjasama banyak pihak
Nah, menyelesaikan problematika yang cukup kompleks dan rumit ini nggak bisa sendiri, dan nggak bisa masing-masing jalan sesuai maunya. Nggak gitu aturannya. Namun, ini perlu dirumuskan bersama, dibuat kerjasama banyak pihak dan menentukan cara serta target dan solusi terbaiknya.
Saya pernah membaca penjelasan bahwa mestinya ada kerjasama di keluarga, masyarakat, dan negara. Keluarga mestinya bisa memberikan pendidikan pertama dan utama selama anak masih dalam pengawasan dan pembinaan orang tua. Usia sebelum baligh. Ditanamkan nilai-nilai agama, dikuatkan keimanannya, dan dikokohkan ketakwaannya. Nah, takwa individu yang terbentuk di keluarga akan menjadi benteng awal saat mengarungi kehidupan setelah lepas atau berkurang dari pengawasan keluarga.
Oya, peran masyarakat juga nggak kalah penting, yakni menjadi penjaga. Adanya kontrol masyarakat akan ikut menjadi pilar kedua yang akan memperkokoh keterikatan individu dengan masyarakat dan agamanya. Bisa jadi di rumah aman, udah dididik sama ortu masing-masing. Namun, ketika bergaul dengan banyak teman di lingkungan sekitar (sekolah dan sejenisnya), maka sangat mungkin akan terpengaruh. Celakanya kalo yang berpengaruh adalah yang buruk. Itu sebabnya, dibutuhkan kontrol masyarakat yang akan mengawal dan mengawasi perilaku remaja yang menyimpang.
Takwa individu dan kontrol masyarakat ada batasnya. Selain nggak kuat bertahan lama, juga terkendala wewenang dan tanggung jawab. Maka, peran negara sebagai pilar terakhir sangat diperlukan. Penerapan aturan dan sanksi oleh negara akan memberikan kekuatan hukum yang mengikat dan efektif.
Idealnya memang ketiganya bagus. Takwa individunya kokoh, kontrol masyarakatnya kuat, dan penerapan aturan dan sanksi oleh negara benar-benar dijalankan. Nggak sekadar wacana doang. Idealnya begitu. Namun, adakalanya memang kita terbentur kondisi, ada yang takwa individunya lemah, sehingga masih bisa ditangani dengan kontrol masyarakat. Kalo takwa individu lemah, kontrol masyarakat kendor, maka harapan berikutnya adalah kepada negara. Nah, yang jadi masalah berikutnya adalah, negaranya juga nggak hadir dengan penerapan aturan dan sanksi yang tegas. Jadinya? Ya, seperti sekarang. Banyak remaja yang brutal dan sadis.
Padahal, dalam Islam nyawa begitu dihargai, maka kalo ada yang nekat melenyapkan nyawa orang lain tanpa sebab dan hak, akan langsung di-qishash alias dibalas dengan pembalasan setimpal. Kalo seseorang membunuh orang lain, maka dalam Islam dengan tegas akan memberikan hukuman bunuh juga kepada pelaku.
Oya, sekadar kamu tahu aja, bahwa untuk kasus pembunuhan ini dalam Islam dimasukkan ke dalam pembahasan jinaayaat. Jinaayaat adalah bentuk jama’ alias plural dari jinaayah. Menurut bahasa, jinaayaat bermakna penganiayaan terhadap badan, harta, atau jiwa. Sedangkan menurut istilah, jinaayaat adalah pelanggaran terhadap badan yang di dalamnya mewajibkan qishash atau harta (diyaat). Juga bermakna sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap tindakan penganiayaan. Pendek kata, tindak penganiayaan itu sendiri dan sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan atas badan disebut dengan jinaayaat.
Islam udah ngasih rambu-rambu, pokoknya kalo ngelanggar, ya ada sanksinya. Misalnya aja Allah Ta’ala menjelaskan tentang sanksi bagi orang yang membunuh orang lain (yang artinya): “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya..” (QS al-Israa [17]: 33)
Oya, kamu perlu tahu bahwa perintah tentang hukuman qishaash ini Allah jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS al-Baqarah [2]: 178)
But, kalo pun utang nyawa dibayar dengan nyawa lagi, bukan berarti dalam Islam tuh asal-asalan aja. Bukan maksud Islam menyia-nyiakan nyawa orang, tapi justru untuk memelihara kehidupan. Artinya, kalo ada orang nekat membunuh orang lain tanpa sebab, maka ia akan dikenakan hukuman dibunuh kembali. Untuk apa? Untuk memelihara kehidupan. Kamu bisa bayangin sendiri gimana jadinya kalo para pembunuh itu nggak dihukum berat dengan dibunuh lagi. Bila demikian, maka si pembunuh akan menjadikan aktivitas membunuhnya sebagai hobi atau malah pekerjaan.
Selain ada hukuman qishash, juga bisa dicari jalan keluar jika keluarga korban memaafkan, yakni dengan membayar diyaat. Dalam kasus pembunuhan ini emang ada dua pilihan bagi pihak keluarga korban: meminta negara untuk membunuh pelaku pembunuhan terhadap salah satu anggota keluarganya atau jika keluarga memaafkan, maka si pembunuh wajib membayar diyaat (semacam denda, gitu).
Apa denda bagi orang yang membunuh jika keluarga korban memaafkan? Hmm.. pelaku kudu bayar diyaat berupa unta. Dari Abdullah bin ‘Amru bahwa Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): “Perhatikan, bahwa orang yang terbunuh karena mirip dengan disengaja, baik terbunuh dengan cambuk, atau tongkat, diyatnya 100 ekor unta, 40 ekor di antaranya sedang bunting.”
Waaah, bisa tekor juga dong ya? Bayangin aja, gimana membeli unta sebanyak itu? Pasti tuh orang ngerogoh koceknya sampe dalam banget. Ehm, karena harga unta tuh mahal, plus susah nyarinya karena unta hanya ada di tempat tertentu.
Oya, jika dibayar dengan uang, maka besarnya adalah 1000 dinar, atau 12.000 dirham. Dinar syar’i itu senilai 4,25 gram emas. Dirham syar’i setara dengan 2,975 gram perak. Jadi, kalo mo bayar dengan uang maka nilainya wajib setara dengan itu. Kalo 1000 dinar maka jika dibayar dengan uang jumlahnya setara dengan 4.250 gram emas (4,25 kg) atau 35.700 gram perak (35,7 kg).
Waduh, kalo harga 1 gram emas sekarang (anggap aja deh) Rp 500.000, maka diyat yang harus dibayar adalah: Rp 500.000 x 4.250 gram emas= Rp 2.125.000.000 alias lebih dari 2 miliar rupiah. Besar juga, ya? Nah, jadi meskipun dimaafkan, tetapi nggak bisa lenggang kangkung aja berlalu. Karena wajib membayar diyaat yang sangat besar.
Sobat gaulislam, inilah pemeliharaan Islam terhadap jiwa manusia. Diterapkannya syariat Islam, maka jiwa setiap orang terjaga, mulai dari janin hingga dewasa. Dengan syariat Islam setiap warga negara Islam apa pun suku, ras dan agamanya dipelihara dan dijamin keselamatan jiwanya.
Sekarang, coba deh bandingin dengan harga murah nyawa manusia dalam sistem Kapitalisme-Sekularisme dengan instrumen politiknya bernama demokrasi. Bagi yang membunuh aman-aman aja di penjara. Nggak dihukum mati. Kalo pun keluarganya memaafkan, eh, malah enak aja nggak bayar diyaat. Pantes aja orang jadi nggak takut hukuman kalo ngebunuh orang lain. Karena hukumannya kelewat ringan. Ah, ini keterlaluan banget. Jadinya, masih tetap brutal dan sadis. Bikin miris. Itu sebabnya, kita butuh penerapan Islam sebagai ideologi negara. Wis wayahe alias sudah saatnya. [O. Solihin | IG @osolihin]