gaulislam edisi 502/tahun ke-10 (10 Ramadhan 1438 H/ 5 Juni 2017)
Setiap orang senang jika bisa cerdas atau minimal disebut cerdas (walau faktanya nggak). Istilah cerdas hampir semua orang tahu. Secara sederhana cerdas biasa dipahami sebagai istilah untuk menunjukkan kepandaian atau kepintaran seseorang. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dsb); tajam pikiran. Keren bukan?
Sobat gaulislam, rasa-rasanya bagi kamu yang aktif di media sosial, tiga pekan terakhir ini dihebohkan dengan tulisan yang jadi viral (atau sengaja diviralkan?) tentang “Warisan”. You know lah, siapa itu yang nulis. Ya, nama penanya Afi Nihaya Faradisa. Eh, ada lho netizen yang kreatif bikin terjemahannya sesuai kata per kata dalam bahasa Arab. Afi itu artinya “apakah di”; nihaya adalah “hari akhir” dan Faradisa, bisa jadi ‘plesetan’ dari firdaus yang berarti surga. Sehingga jika digabung jadi seperti ini: “Apakah di hari akhir ada surga?”. Waduh! Ini memang seperti mencocokkan, tetapi jika dihubungkan dengan tulisan anak umur 18 tahun ini bisa jadi benar. Kalo benar, bisa bahaya banget tuh, sebab nggak percaya adanya surga. Jadi kayak koar-koar John Lennon di lagu “Imagine” (1971), ya?
Emang lagu Imagine-nya John Lennon kayak gimana liriknya? Hmm.. kayak gini sebagian liriknya:
Imagine there’s no heaven
It’s easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today… Aha-ah…
Imagine there’s no countries
It isn’t hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion, too
Imagine all the people
Living life in peace… You…
Nah, mirip-mirip lah dengan isi tulisan Afi. Dia menulis bahwa dirinya tidak bisa memilih dari mana dia akan lahir dan di mana dia akan tinggal setelah dilahirkan. Kewarganegaraan menurutnya warisan, namanya warisan, dan agamanya juga warisan.
Dia mengaku belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena menurutnya mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
Menurut Afi, suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Hadeuh, berarti agama dianggap biang perpecahan ya? Lalu mengklaim semua agama sama supaya aman dan damai satu sama lain? Mengapa dipilih pemikiran semua agama sama untuk mendapatkan kedamaian (semu) seperti itu?
Banyak netizen yang sependapat dengan tulisan Afi, tetapi nggak sedikit juga yang berlawanan. Masing-masing punya argumen. Tetapi bisa dipetakakan kepada argumen yang benar dan argumen yang salah. Ada juga yang menggada-gadang kalo anak ini pinter dan cerdas karena bisa menulis sebagus itu. Tapi kalo saya lihat, mungkin saja benar anak ini cerdas, tetapi tidak bertakwa. Buktinya, cara nulisnya yang bagus itu isinya nggak islami. Berarti bukan pesan takwa yang disampaikan. Tapi kebatilan, keburukan. Jadi kesimpulannya, yang membenarkan isinya ya nggak jauh beda atau malah sama cara pandangnya dengan anak ini. Kasihan…
Akidah yang utama
Manusia yang berpikir, maka ia akan mencoba menganalisis tentang dirinya sendiri. Siapa sih dirinya, dari mana dia berasal, dan akan ke mana setelah kehidupan di dunia ini. Jawabannya bisa salah bisa benar, lho. Itu bergantung dari cara pandang dan juga tuntunan hidupnya.
Sobat gaulislam, bila pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kehidupannya (uqdatul kubra) bisa terjawab, maka dia akan berjalan dengan sebuah landasan, sekaligus tuntunan dan tujuan hidupnya. Memiliki prinsip hidup, bahkan punya aturan sesuai landasan yang ia pahami dan jadikan patokan. Bahkan, bisa ngajak orang lain untuk mengikuti landasan yang telah dipahaminya.
Kalo seseorang atau kaum dapetin jawaban tentang uqdatul kubra ini adalah dengan jawaban, “Di balik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/amanah kehidupan bagi manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia”, maka mereka akan hidup, berekenomi, berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Penciptanya. Standar baik-buruk berdasarkan aturan Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi standar amal yang harus ia pertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pencipta.
Untuk memantapkan jawaban dari uqdatul kubra ini, kita kudu belajar memahami akidah islamiyyah. Karena jawaban dari pertanyaan “aku berasal dari mana?; hidup di dunia untuk apa?; dan akan kemana setelah kematian?” adalah bagian dari pemahaman tentang akidah. Tepatnya, akidah islamiyyah adalah ‘alat’ untuk memecahkan uqdatul kubra.
Secara bahasa akidah berasal dari kata ‘Aqada-ya’qidu-‘aqdan, artinya tali/ikatan/simpul (‘aqdun). Misalnya, dalam kata ‘aqdul ba’i (ikatan jual-beli). Kemudian menurut istilah (makna syara’) akidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia, dan kehidupan; tentang apa yang ada sebelumnya dan yang ada sesudahnya; serta hubungannya dengan apa yang ada sebelumnya dan yang ada sesudahnya.
Jadi intinya nih, kalo akidah nggak berdasar keyakinan yang pasti, maka tuh akidah bakalan ngaco. Orang-orang kafir (yang mengingkari keimanan kepada Allah) dan orang-orang musyrik (para penyembah berhala/menyekutukan Allah Ta’ala) adalah contoh bahwa akidah mereka cacat. Cuma Islam yang benar. Firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imraan [3]: 19)
Juga Allah mempertegas tentang ruginya orang-orang yang nggak menjadikan Islam sebagai agamanya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imraan [3]: 85)
Jadi, cuma Islam agama kok yang benar, ngapain cari yang lain atau menyamakan semua agama benar? Tul nggak sih?
Hidayah dalam Islam
Sobat gaulislam, teman kita Afi Nihaya perlu dapat jawaban ini. Dalam Islam ada konsep hidayah, maka pendapat dia bahwa agama itu warisan jadi memantul sempurna tuh. Hidayah alias petunjuk itu ada andil dari kita. Artinya, kitanya sendiri juga kudu berusaha meraihnya. Itu sebabnya, memang kudu ada upaya dari kita. Petunjuk alias hidayah itu sebetulnya udah banyak di kanan-kiri; depan-belakang; atas-bawah dalam hidup kita. Ada bacaan yang menuntun, ada ucapan orang-orang yang mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Tapi sayangnya, kita seringnya menyepelekan, ogah denger apalagi baca. Cuek banget, gitu lho. Padahal, itu jalan menuju hidayah.
Menurut Imam as-Sya’rawi, bahwa orang yang diberikan hidayah atau petunjuk itu seperti kita bertanya tentang alamat rumah seseorang, lalu diberitahu oleh orang yang kita tanya, dan kita langsung mengikuti petunjuk itu hingga sampai ke alamat rumah orang yang kita maksud. Jadi memang ada upaya juga dari kita. Tul nggak?
Soalnya aneh banget kan kalo misalnya kita nanya alamat rumah temen kita. Udah dikasih tahu, tapi kita malah nggak mengikuti petunjuknya, ya udah nggak bakalan ketemu tuh. Padahal itu hidayah udah nampak segede-gede gajah, keleess. Tapi kita cuek. Itu sebabnya, kalo ada anak cewek yang ditanya, “Kenapa kamu belum pake jilbab dan kerudung?”, lalu dia menjawab, “Waduh, saya belum dapat hidayah Mas!” Hmm.. ia sebetulnya bisa dibilang menyia-nyiakan hidayah. Karena yang ngasih tahu udah banyak, al-Quran juga udah turun semua ayatnya, mungkin ia juga rajin membacanya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Miftahu Daarissa’aadah menjelaskan bahwa mengikuti petunjuk Allah Ta’ala adalah membenarkan pemberitahuan-Nya tanpa menampakkan keraguan yang merusak pembenaran itu, serta melaksanakan perintah-Nya tanpa adanya hawa nafsu yang menjadi penghalang. Kedua hal ini merupakan inti keimanan, yaitu pembenaran berita dan ketaatan terhadap perintah. Kemudian kedua hal tersebut diikuti dua perkara. Yaitu meniadakan keraguan yang menghalangi dan mengotori kesempurnaan itu, serta menolak hawa nafsu yang menyesatkan dan menggoda yang menghalangi kesempurnaan pelaksanaan syariat-Nya.
Lebih lanjut Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa mengikuti petunjuk Allah Ta’ala mengandung empat perkara: Pertama, membenarkan pemberitahuan-Nya. Kedua, berusaha sekuat tenaga untuk menolak dan melawan segala keraguan yang dibisikkan setan-setan dari jenis jin dan manusia. Ketiga, menaati perintah-Nya. Keempat, melawan hawa nafsu yang menghalangi seorang hamba dalam menyempurnakan ketaatan.
Sobat gaulislam, jadi emang hidayah tuh nggak gratis, alias kita sendiri juga kudu terlibat untuk mencarinya. Itu sebabnya, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (al-Quran) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri.” (QS Yunus [10]: 108)
Bekal takwa
Pemahaman akidah yang benar akan melahirkan ketakwaan. Sederhananya, takwa itu taat. Nah, karena Islam memiliki syariat (aturan) maka seorang muslim yang akidahnya benar akan taat terhadap syariat. Benar-salah, baik-buruk, dan terpuji-tercela akan disesuaikan dengan Islam. Bukan berdasarkan hawa nafsunya.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju (ridha) Allah dengan hati dan keinginannya yang kuat, bukan (cuma sekadar) dengan (perbuatan) anggota badannya. Dan takwa yang hakiki adalah takwa (dalam) hati dan bukan takwa (pada) anggota badan (saja). Allah Ta’ala berfirman, “Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar (perintah dan larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan (dalam) hati.” (QS al-Hajj [22]: 32)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya semua hati manusia berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman (Allah Ta’ala), seperti hati yang satu, yang Dia akan membolak-balikkan hati tersebut sesuai dengan kehendak-Nya”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Wahai Allah Yang membolak-balikkan hati (manusia), palingkanlah hati kami untuk (selalu) taat kepada-Mu.” (HR Muslim, no. 2654)
Sobat gaulislam, cerdas aja nggak cukup. Wajib ditambah takwa. Belajar dari kasus tulisan Afi Nihaya kita berharap semoga dia sadar diri dan mendapat hidayah-Nya. Banyaknya dukungan terhadap tulisannya yang salah tidak lantas jadi benar kesalahan yang disampaikannya tersebut.
Sebelum menutup tulisan di edisi ini, ada baiknya kita dan termasuk Afi Nihaya menyimak hadits berikut ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Siapa saja yang mencontohkan perbuatan yang baik kemudian beramal dengannya, maka ia mendapat balasannya (pahala) dan balasan serupa dari orang yang beramal dengannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan siapa saja yang mencontohkan perbuatan yang buruk kemudian ia berbuat dengannya, maka ia mendapat balasannya dan balasan orang yang mengikutinya tanpa mengurangi balasan mereka sedikitpun,” (HR Ibnu Majah)
Idih, ngeri banget! Jadi, cerdas boleh aja, tapi takwa yang utama. Setuju? Harus! [O. Solihin | Twitter @osolihin]