gaulislam edisi 383/tahun ke-8 (4 Jumadil Ula 1436 H/ 23 Februari 2015)
Super sekali nih judul (pede banget!). Eh, tapi kamu ngeh nggak sih dengan judul ini? Jangan-jangan malah memantul sempurna alias nggak ngerti apa-apa. Hadeeeuhh, capek deh! Eits, ada yang angkat jari telunjuk. Mau jawab? Oke, jawaban kamu apa? “Gampang. Itu maksudnya hubungan antara remaja dan media massa, kan?” Yup! Betul sekali. Tetapi, belum tentu nyambung lho, kalo kamu nggak baca tuntas buletin kesayangan kamu ini. Apalagi kalo baru liat judulnya udah langsung dijadiin bungkus kacang nih buletin. Kalo itu yang kamu lakukan, dijamin nggak bakalan ngerti apa-apa. Waduh!
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Pengen tahu aja nih, kamu lebih banyak baca atau lebih banyak mendengar atau lebih banyak nonton? Silakan jawab sendiri ya. Saya beri penjelasan aja nih. Kalo kamu banyak baca, alhamdulillah. Berarti wawasan kamu (seharusnya) bertambah setiap kali membaca informasi dan opini. Begitu pula kalo mendengarkan informasi dan opini dari radio. Itu juga berlaku ketika kamu nonton acara televisi atau tayangan lainnya yang sifatnya audio-visual. Namun, yang perlu diperhatikan adalah isinya. Yup, apa yang kamu baca, apa yang kamu dengar dan apa yang kamu tonton amat berpengaruh nantinya kepada cara pandang kamu dan perilaku kamu. Kalo informasi dan opini yang benar dan bermanfaat, insya Allah akan berpengaruh baik pada cara pandang dan perilaku kamu. Bagaimana kalo informasi dan opini yang buruk dan salah? Ya, kamu bisa aja terpengaruh jadi jelek kalo nggak ngerti dan nggak punya filter buat nyaringnya. Tul nggak?
Nah, ngomongin soal media massa, itu artinya kamu sedang diajak untuk memasuki cara pandang orang-orang dalam berinteraksi dengan media massa. Memang sih, media massa itu ada yang baik dan ada yang buruk. Itu sebabnya, yang perlu diketahui adalah cara memperlakukan informasi dan opini di media massa tersebut. Prinsip sederhananya, jangan mudah menelan mentah-mentah informasi dan opini yang datangnya dari media massa. Siapa tahu informasi dan opini itu udah disusupi dengan kepentingan tertentu untuk merusak cara pandang dan perilaku masyarakat. Di sinilah pentingnya melek media, Bro en Sis.
Agenda setting dan framing
Sobat gaulislam, kamu perlu tahu beberapa teori dalam komunikasi massa nih. Supaya apa? Minimal kamu nggak bingung kalo berhadapan dengan pemberitaan dan opini yang dibuat oleh media massa yang ada. Ini artinya, kamu dituntut untuk selektif memilih dan memilah. Hati-hati ya.
Oke, yang pertama, saya kenalin teori agenda setting. Apa itu agenda setting? Menurut teori agenda setting, media menentukan apa yang perlu dan yang penting untuk dipikirkan pembaca atau masyarakat yang menggunakan media massa tersebut. Jadi nih, media massa membentuk citra tentang sesuatu dalam masyarakat, media massa mengubah persepsi masyarakat tentang sesuatu sesuai keinginan pemilik media.
Gimana, kamu ngerti maksud penjelasan tersebut? Kalo belum, saya jelaskan dikit ya. Maksudnya, teori agenda setting adalah bagian dari komunikasi massa yang bertujuan untuk memilihkan dan memilahkan informasi dan opini menurut kepentingan pemilik media massa atau pihak yang mengontrol media tersebut. Tujuannya agar masyarakat yang menerima informasi dan opini dari media tersebut akan terbentuk persepsinya sesuai dengan keinginan pemilik media atau pemilik kepentingan terhadap media massa tersebut.
Contoh nih, tentang kehidupan selebritas dunia hiburan. Media massa memberikan fakta atau gambaran kehidupan para selebritas di dunia hiburan dengan kesan: glamour, hedonis dan permisif. Sehingga tak perlu diteladani. Ini sudut pandang dari media massa yang mencitrakan bahwa selebritas dunia hiburan itu kurang bagus. Tetapi bagi media massa lain, bisa saja memberikan citra positif terhadap selebritas dunia hiburan dengan memberikan informasi dan opini bahwa itulah bagian dari tuntutan sebagai penghibur dan sah-sah saja mencari duit dari jalan tersebut. Lho, kok ada dua pendapat berbeda? Nah, di sinilah perlunya memahami isi informasi dan opini. Pembentukan persepsi inilah yang dimaksud sebagai agenda setting bahwa pembentukan persepsi atau citra dalam masyarakat dibantu oleh media massa. Semoga kamu paham ya tanpa perlu ngeden dan garuk-garuk tembok segala untuk bisa mengerti teori ini.
Sobat gaulislam, teori kedua yang perlu kamu ketahui dari teori komunikasi massa adalah teori framing. Apa itu framing? Semacam membingkai kah? Ya, mirip-mirip gitu. Oke, saya jelaskan dikit ya. Begini, dalam teori framing dikatakan bahwa media membentuk perspektif tertentu tentang berita yang disajikan oleh media tersebut. Nah, akibat sudah dibentuk itulah akan berpengaruh terhadap sikap publik tentang berita yang disajikan media tersebut. Berita yang disajikan jadi topik hangat karena terus-menerus diberitakan. Seolah masyarakat nggak boleh menerima informasi selain yang disajikan secara beruntun oleh media massa.
Masih mual dan pusing memahami teori ini? Hehehe.. singkatnya gini deh. Kalo kamu disuguhi suatu berita di media massa secara sistematik, masif dan terstruktur (waduh, bahasa apa pula ini?), maka kamu akan cenderung memiliki perspektif terhadap suatu berita. Bila suatu peristiwa dikatakan salah oleh media, maka kamu dan individu lainnya di sebuah masyarakat juga besar kemungkinan bakalan menyalahkan peristiwa tersebut. Inilah yang disebut framing atau pembingkaian. Kamu dibuat nggak punya pilihan informasi dan opini. Ini bisa bahaya juga lho, kalo isi informasi dan opininya memang merugikan dan berbahaya.
Contoh nih, waktu penembakan awak redaksi dan kartunis majalah Charlie Hebdo di Perancis awal Januari lalu, media massa lalu beramai-ramai membela Charlie Hebdo yang menyuarakan kebebasan berekspresi dan menyalahkan para pelaku penembakan—apalagi para pelaku tersebut adalah muslim. Langsung deh citra yang dibuat media massa pro kebebasan dan benci Islam adalah memberikan gambaran buruk terhadap kaum muslimin. Mereka lupa bahwa Charlie Hebdo adalah media yang memulai melakukan penghinaan kepada Islam dan kaum muslimin melalui kartun-kartun yang diterbitkannya. Masyarakat muslim di sini, ada juga yang cara pandang dan perilakunya jadi terpola sesuai informasi dan opini yang dibuat media massa anti-Islam tersebut. Bahaya!
Sebaliknya, media massa Barat (khususnya yang anti-Islam) kembali membuat framing yang merugikan umat Islam saat mereka lebih banyak yang bungkam ketika pada 10 Februari 2015 lalu terjadi penembakan yang menewaskan tiga orag mahasiswa muslim di Chapel Hill, dekat University of North Carolina. Jangankan medianya, Obama aja yang orang nomor satu di Amrik sono malah membisu. Namun, setelah reaksi di beberapa negara, barulah mereka mau memberitakan, itupun sekadarnya saja. Halah!
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Masih banyak teori yang digunakan dalam komunikasi massa. Tetapi kali ini dicukupkan dua aja ya supaya kamu nggak kelenger (hehehe…). Oya, saya perlu jelasin bahwa teori agenda setting dan teori framing ini ada bedanya, lho. Bedanya hanya pada tahapan saja. Secara sederhana, kalo agenda setting dilakukan di awal, sementara framing melanjutkan agenda setting. Keduanya saling melengkapi. Di sinilah kamu perlu memahaminya agar tak mudah terkecoh, apalagi tertipu oleh pemberitaan media massa. Waspadalah!
Muslihat propaganda media massa
Nah lho, jangan sampe nama subjudul ini bikin kamu puyeng tujuh keliling lapangan sepakbola skala internasional. Woles aja Bro en Sis, nggak usah sutris, eh, stres dengan istilah ini. Memang, kalo kamu biasanya nerima pesan ringan di televisi seputar pacaran atau gosip seleb dan ngomongin musik mulu ya nggak bakalan ngeh dengan istilah-istilah di media massa. Padahal, yang kamu tonton, yang kamu dengar dan yang kamu baca juga kamu dapatkan dari media massa. So, seharusnya udah mulai berpikir cerdas dan nggak asal nerima informasi dan opini begitu saja dari media yang kamu dapatkan.
Secara singkat ada memang muslihat atau upaya yang lebih mirip—kecenderungannya negatif, yakni menipu, yang dilakukan oleh pengelola media massa tertentu. Jadi, waspadalah sebelum ‘menelan’ berita. Nah, contoh muslihat propaganda di media massa adalah name calling (penggunaan nama ejekan). Name calling memberikan nama-nama ejekan kepada suatu ide, kepercayaan, jabatan, kelompok, bangsa, ras dan lain-lain agar khalayak menolak atau mencercanya tanpa mengkaji kebenarannya. Sebagai contoh: ekstrimis, teroris, atau radikal.
Selain name calling, muslihat propagana di media massa berkaitan dengan pemalsuan bukti atau menutupi kebenaran. Maka dikembangkanlah istilah card stacking. Secara harfiah berarti “penumpukan kartu”. Secara maknawi berarti upaya menutupi hal-hal yang faktual atau sebenarnya seraya mengemukakan bukti-bukti palsu sehingga khalayak terkecoh. Contohnya, udah jelas bahwa miras dan rokok itu berbahaya, tetapi media massa liberal tetap aja menampilkan fakta bahwa miras dan rokok tak berbahaya bagi sebagian orang, hanya karena masih ada yang mengkonsumsi. Begitu juga dengan seks bebas dan pacaran. Udah jelas pacaran itu membawa malapetaka, tetapi media massa mainstream secara gencar mengajak remaja untuk pacaran dan seks bebas melalui tayangan sinetron, film dan buku-buku serta majalah.
Bingung? Nggak usah. Bagi kita, umat Islam, udah ada patokannya. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS al-Hujuraat [49]: 6)
Sobat gaulislam, mulai sekarang jangan mudah percaya terhadap informasi dan opini dari media massa yang memusuhi Islam dan kaum muslimin. Cobalah lakukan seleksi dan cermati sebelum menerima informasi dan opini tersebut. Patokannya, dalam fakta kita harus obyektif, tetapi dalam penilaian suatu peristiwa, wajib subyektif, yakni dinilai dengan menggunakan sudut pandang Islam. GImana, sudah paham, kan? Waspadalah! Waspadalah! [O. Solihin | Twitter @osolihin]