gaulislam edisi 444/tahun ke-9 (17 Rajab 1437 H/ 25 April 2016)
Siapa yang nggak ngikutin kasus remaja di Medan yang ngancem polisi gara-gara konvoi mereka setelah UN diberhentikan? Hah, nggak tahu? Apa, lupa lagi? Kalo dengan kalimat ini: “Kutandai Kau, ya!” tahu nggak? Tetot! Hmm.. kalo kamu ada yang tak tahu sama sekali kasus ini, mungkin karena kamu sibuk dengan kegiatan lain. Sehingga terlewatkan kasus beginian. Bisa juga karena kamu nggak terlalu peduli dengan peristiwa yang ada di sekitar kita.
Ya, nama siswi yang mengancam polwan saat konvoi mereka diberhentikan adalah Sonya Ekarina Sembiring. Sebelumnya dia mengaku anak seorang jenderal polisi (Irjend Arman Depari) saat diberhentikan oleh seorang polwan karena dinilai konvoi pelajar itu membahayakan mereka dan pengguna jalan lainnnya. Mungkin, dia berpikir kalo ditakut-takuti dengan jabatan ayahnya, polwan tersebut mengkeret takut dan dirinya bersama teman-teman bebas dari razia. “Oke Bu, Saya tidak main-main ya, saya tandai Ibu. Saya anak Arman Depari,” katanya dengan menunjuk-nunjuk polwan tersebut, Rabu (6/4/2016)
Gara-gara sikapnya yang arogan itu, anak ini di-bully netizen dan masyarakat luas. Sampai-sampai sang ayah malu dan terkena serangan jantung, lalu meninggal dunia. Nah!
Sobat gaulislam, kasus di atas silakan mengetahuinya lebih kenyang, eh, lebih dalam di media massa saja ya. Di buletin ini sekadarnya saja, karena kami lebih tergelitik dengan perilaku remaja tersebut yang terkategori udah kehilangan adab.
Mengapa bisa tak beradab?
Nah, ini perlu dicari tahu penyebabnya. Tetapi, sebelum mencari tahu alasan mengapa ada orang yang tak beradab, ada baiknya kita mengetahui definisi dari adab itu sendiri.
KH Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya, ?dabul ?lim wal-Muta’allim, mengutip pendapat Imam Syafi’i yang menjelaskan begitu pentingnya kedudukan adab dalam Islam. Bahkan, Sang Imam menyatakan, beliau mengejar adab laksana seorang ibu yang mengejar anak satu-satunya yang hilang.
Lalu, Syeikh Hasyim Asy’ari mengutip pendapat sebahagian ulama: “at-Tawhîdu yûjibul îmâna, faman lâ îmâna lahû lâ tawhîda lahû; wal-îmânu yûjibu al-syarî’ata, faman lâ syarî’ata lahû, lâ îmâna lahû wa lâ tawhîda lahû; wa al-syarî’atu yûjibu al-adaba, faman lâ âdaba lahû, lâ syarî’ata lahû wa lâ îmâna lahû wa lâ tawhîda lahû.” (Hasyim Asy’ari, ?dabul ?lim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H. hlm. 11)
Jadi, secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakikatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.
Tuh, catet Bro en Sis. Adab ternyata erat kaitannya dengan syariat, keimanan, dan tauhid. Kalo lost adab, bisa dipastikan bahwa keterikatannya kepada syariat lemah, bisa dipastikan juga karena lemahnya iman dan minimnya hubungan dengan ketauhidan.
Sobat gaulislam, menjawab pertanyaan dalam subjudul ini insya Allah bisa lebih mudah: mengapa bisa tak beradab? Jawabannya adalah karena lemah tauhid, lemah iman, lemah terhadap syariat. Kalo ada muslim yang seperti itu, perlu segera memperbaiki tauhidnya, keimanannya dan keterikatannya kepada syariat. Itu sebabnya, mengherankan banget kalo sampe ada orang yang tak menghormati orang lain, tak menghargai orang lain. Sekolah udah belasan tahun (kalo dihitung dari PAUD sampai SMA), tetapi adabnya nggak nampak dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu sih bisa jadi dapet dan mungkin ada yang tinggi, tetapi adabnya minus (bukan lagi nol).
Adab sebelum ilmu
Banyak di antara kita yang sudah mapan ilmunya, banyak mempelajari tauhid, fikih dan hadits, al-Quran, bahkan ada yang hafal al-Quran dan ratusan hadits, namun tingkah laku terhadap orang tua, kerabat, teman, tetangga dan saudara muslim lainnya, bahkan terhadap guru sendiri jauh dari adab sebagai seorang mukmin. Prihatin juga melihatnya.
Ada tulisan menarik seputar adab dan para ulama. Saya kutip dari website muslim.or.id (dengan beberapa perubahan bahasa). Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Tuh, apalagi di zaman sekarang yang sulit mendapati orang-orang yang berilmu dan beradab sama bagusnya.
Mengapa para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin al-Husain berkata, “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Catet sobat gaulislam. Ini penting banget karena orang yang berilmu tinggi tetapi tidak beradab, jadinya gimana ya, sia-sia lah ilmunya.
Ulama sekelas Imam Ibnul Mubarok mengatakan, “Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.” Bayangin sobat, berarti beliau belajar itu 50 tahun. Dari sekian banyak hitungan tahun itu, ternyata lebih dari 50 persen dihabiskan untuk mempelajari adab. Luar biasa!
Ibnu Sirin juga mengatakan, “Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”
Makhlad bin al-Husain pernah berkata pada Ibnul Mubarok, “Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari. Sebab, banyak di antara kita yang meskipun ilmunya top markotop, tapi adabnya nyaris di bawah angka nol. Miris, deh!
Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya adz-Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata, “Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.”
Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata, “Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.” Masya Allah. Seharusnya kita juga bisa meneladani generasi para ulama terdahulu yang hebat ilmunya, dan bagus adabnya. Semoga kita bisa meneladaninya.
Supaya kamu kenyang ilmunya, nih ada lagi teladan dalam soal adab. Ya, namanya Imam Abu Hanifah. Beliau lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, itulah yang kurang dari kita saat ini. Imam Abu Hanifah berkata, “Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (al-Madkhol, 1: 164)
Di antara yang mesti kita perhatikan adalah dalam hal pembicaraan, yaitu menjaga lisan. Luruskanlah lisan kita untuk berkata yang baik, santun dan bermanfaat. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan sedikit bicara kecuali dalam hal yang bermanfaat” Kata Ibnu Rajab, “Benarlah kata beliau. Kebanyakan manusia tidak menghitung perkataannya dari amalannya” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 291)
Tuh, kamu bisa membandingkan gimana kelakuan siswi yang ngancem polwan dan menakuti-nakuti dengan jabatan ayahnya (jika pun benar ayahnya, tetap tak beradab, apalagi ini udah ketahuan bohong. Hadeuuh). Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sering tuh melihat ada remaja yang nggak beradab kepada temannya, kepada orang tuanya, kepada kerabatnya, kepada gurunya. Buktinya banyak yang tak menghormati ortunya, nggak sedikit yang sombong di hadapan teman-temannya, malah banyak juga yang tak menghargai gurunya sendiri. Padahal, orang tua yang mendidik dan merawatnya hingga segede sekarang ini. Teman juga bagian dari kehidupan kita selama ini. Guru juga adalah orang-orang yang walau perannya sedikit ketimbang ortu, tetaplah orang yang berjasa dalam kehidupan mencari ilmu. Sangat nggak beradab kalo kita tak menghormati orang tua dan guru-guru kita. Gimana pun juga, usia mereka lebih tua dari kita dan pengalamannya lebih banyak. Walau bisa jadi ilmu kita bisa lebih tinggi dari mereka. Tetaplah beradab, kawan!
Pentingnya adab
Sobat gaulislam, saya kutipkan sebagian tulisan dari website inpasonline.com (dengan beberapa perubahan bahasa). Disebutkan bahwa dalam pendidikan etika, Islam memiliki konsep adab. Menurut Prof Naquib al-Attas, pendidikan Islam yang tepat itu adalah pendidikan ta’dib. ‘Ta’dib’, dan ‘adab’ berasal dari kata ‘adaba’.
Adab memiliki arti: kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti, menempatkan sesuatu pada tempatnya, jamuan dan lain-lain. Prof Naquib al-Attas memberi arti adab dengan mendisiplinkan jiwa dan pikiran. Maka ini merupakan uraian dari kata adab yang bermakna jamuan. Ia menyebut satu hadits, “Sesungguhnya Kitab Suci al-Qur’an ini adalah jamuan (ma’dabah) Allah di bumi, maka lalu belajarlah dengan sepenuhnya dari jamuan-Nya” (HR Ibn Mas’ud)
Dalam keterangannya, Prof Naquib al-Attas mengatakan bahwa adab itu mulia dan terhormat. Sebagaimana orang menjamu tamu. Berarti tamu itu adalah orang terhormat dan yang menjamu adalah mulia. Maksud dari keterangan itu adalah bahwasannya adab merupakan pelaksanaan perbuatan benar dan tepat, lawan dari perbuatan keliru. Adab menjadi benteng yang melindungi dari keaiban.
Maka orang beradab menurut al-Attas adalah orang yang baik yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Allah Yang Haq, memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.
Bisa dikatakan bahwa makna beradab secara sederhana adalah, tidak berbuat dzalim. Maksudnya, orang beradab adalah orang yang menggunakan epistemologi ilmu dengan benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil, dan mampu mengidentifikasi dan memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) yang salah. Setelah itu, metode untuk mencapai pengetahuan itu harus juga benar sesuai kaidah Islam. Sehingga, seorang yang beradab (insan adabi) mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa yang pernah mengikat janji dengan Allah Ta’ala sebagai jiwa bertauhid.
Nah, gimana? Semoga penjelasan singkat ini bikin kita tambah beradab. Insya Allah. [O. Solihin | Twitter @osolihin]